Pengamat ekonomi dari lembaga kajian Center of Reform on Economics (Core) Yusuf Rendy Manilet menilai tanpa memasukkan faktor kenaikan harga Pertalite dan elpiji, tekanan inflasi sudah relatif tinggi karena dipengaruhi oleh beragam hal, termasuk di dalamnya kenaikan harga energi global, kebijakan tarif PPN, harga Pertamax yang sudah naik terlebih dahulu, dan pola musiman ketika bulan Ramadhan.
"Sekarang ditambah wacana kenaikan Pertalite dan elpiji tentu tekanan terhadap inflasi di tahun ini berpeluang semakin lebih tinggi," ujarnya saat dihubungi di Jakarta, Kamis.
Yusuf mengatakan hal yang perlu diwaspadai apakah kenaikan inflasi ini masih bisa dikompensasi oleh daya beli masyarakat atau tidak.
Jika berbicara kelas pendapatan, lanjutnya, kenaikan harga Pertalite dan elpiji pada kelas pendapatan menengah hanya akan memberikan dampak yang relatif kecil, namun yang perlu diperhatikan adalah kelompok pendapatan menengah ke bawah.
"Tekanan inflasi akan terasa lebih berat untuk kelompok ini, apalagi mereka yang belum sepenuhnya bisa pulih dari pandemi akibat misalnya belum masuk lapangan kerja utama. Padahal tengah tahun masih termasuk dalam kuartal II, di mana pertumbuhan kuartal ini bisa didorong tinggi, karena terdapat momentum Ramadhan," jelasnya.
Adapun Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada Fahmy Radhi memandang wacana kenaikan harga Pertalite dan elpiji tiga kilogram berpotensi menyulut kepanikan berbelanja atau panic buying.
Menurutnya, kelangkaan Pertalite yang terjadi di sejumlah SPBU kemungkinan akibat masyarakat mengalami kepanikan berbelanja setelah mengetahui wacana kenaikan tersebut.
Fahmy meminta supaya harga Pertalite dan elpiji tiga kilogram tidak dinaikkan dalam waktu dekat. Pemerintah perlu menunggu sampai harga minyak dunia sudah mencapai keseimbangan pasar.
"Kenaikan Pertalite dan gas melon akan menaikkan inflasi dan makin memperburuk daya beli masyarakat serta memperberat beban rakyat, terutama rakyat miskin," pungkasnya.