Saking terkenalnya sebagai warga yang baik hati, sikap dan perilaku WNI mudah dikenali di luar negeri. Ketika di Kuala Lumpur, Malaysia, misalnya, ada pemilik toko oleh-oleh yang lagi kerepotan melayani pengunjung seraya menjaga anak balitanya di atas ayunan di pojok ruang toko. Balita itu tiba-tiba menangis dan membuat sang ibu panik, sehingga dagangan yang hendak diambilnya dari rak tinggi jatuh berhamburan. Salah satu pengunjung spontan membantu memungut dan merapikan barang-barang itu ke tempatnya semula. Si pemilik toko pun bertanya: “Ibu dari Indonesia ya?”
Berkat nilai luhur yang diwariskan nenek moyang, juga nilai religiusitas yang kental, masyarakat kita tumbuh sebagai bangsa berbudi luhur. Selain itu, ada pula sejumlah faktor yang mendorong masyarakat hobi berbagi.
Pertama, kesadaran berzakat. Berdasarkan laporan The Royal Islamic Strategic Studies Centre (RISSC) yang bertajuk The Muslim 500: The World's 500 Most Influential Muslims 2024, Indonesia merupakan negara dengan populasi Muslim terbanyak di dunia. Jumlah populasi Muslim di Indonesia mencapai 240,62 juta jiwa pada 2023 atau setara 86,7 persen dari total populasi nasional sebanyak 277,53 juta jiwa.
Baca juga: Satu tahun Tragedi Kanjuruhan
Setiap Muslim yang memiliki penghasilan mencapai nisab berkewajiban mengeluarkan zakat sebesar 2,5 persen dari hartanya. Namun pada umumnya, seorang Muslim dermawan tidak hanya mengeluarkan 2,5 persen karena merasa itu teramat sedikit. Dalam rumus pengelolaan keuangan yang lazim diterapkan, alokasi anggaran untuk amal kebaikan sebesar 10 persen dari penghasilan.
Itulah mengapa, kegiatan bederma begitu masif di tengah masyarakat, karena salah satunya atas alasan menunaikan zakat dan menyalurkan anggaran kebaikan. Bagi Muslim taat, menyalurkan sebagian harta untuk bederma layaknya kebutuhan "buang hajat" yang begitu mendesak untuk ditunaikan, oleh sebab kesadaran bahwa sebagian harta kita adalah hak mereka yang kurang beruntung.
Kedua, keajaiban memberi. Hidup itu tentang cinta, dan cinta itu artinya memberi. Dengan kesadaran spiritualitas yang tinggi, seseorang akan memperoleh kesenangan hati saat memberi. Memberi tanpa pamrih akan mengundang datangnya kebaikan dari alam semesta. Ada yang memiliki banyak harta, tapi tak pernah merasa cukup karena sedikit berbagi. Sementara ada yang memiliki sedikit, namun banyak memberi, dan ajaibnya itu tak membuatnya jatuh miskin. Ketika kita memulai untuk memberi, maka terhubung dengan aliran alami kehidupan. Saat berkontribusi pada kehidupan, maka kita merasa lebih kaya dan hidup akan dipenuhi dengan kelimpahan.
Ketiga, landasan keikhlasan. Tak peduli akan disalahgunakan atau diselewengkan, banyak juga orang yang berpendirian bahwa memberi sekadar menggugurkan kewajiban, menyalurkan harta yang merupakan hak para dhuafa dan mustahik lainnya. Bila kenyataanya amal kasih itu disalahgunakan, baik oleh pengelola dana sosial atau pengemis palsu yang sesungguhnya tidak berhak memperoleh sedekah, si pemberi tak ambil pusing, karena, menurutnya, itu menjadi urusan dan dosa mereka sendiri.
Manfaat berkelanjutan
Berbaik hati boleh saja, tapi tanpa kritis memilih lembaga pengelola dana sosial yang amanah atau sasaran penerima yang tepat, sedekah kita akan sia-sia dan mereka yang betul-betul membutuhkan kemungkinan tidak memperoleh haknya. Karenanya, penting juga untuk memastikan bahwa kita bederma kepada mereka yang memang pantas menerima atau menitipkan pada lembaga pengelola zakat, infak, sedekah atau dana sosial yang amanah.
Lebih aman lagi bila kita menyalurkannya kepada lembaga resmi milik pemerintah, seperti Baznas. Akuntabilitas pengelolaan dana sosial membuat anggaran kebaikan kita terkelola dengan baik, tepat guna dan sasaran, serta mendatangkan kebermanfaatan secara berkelanjutan.
Baca juga: Melestarikan tulisan tangan saat teknologi menawarkan kemudahan
Bila kita bersedekah langsung pada penerima, cenderung hanya untuk kebutuhan konsumtif, berbeda halnya ketika kita salurkan pada lembaga resmi. Umumnya mereka akan menggunakannya untuk program pemberdayaan para mustahik, sehingga lebih bersifat jangka panjang.
Memang, saat bederma kepada penerima langsung, kita dapat menikmati ekspresi kegembiraan mereka dan itu menularkan kebahagiaan bagi kita yang memberi. Sayangnya pemberian instan seperti itu hanya berdampak sesaat, sehingga sedekah dalam jumlah besar, sebaiknya dipercayakan pada lembaga resmi.
Jika anda bersikap masa bodoh, asal salur rezeki tanpa memilih sasaran yang tepat atau lembaga tepercaya, bisa jadi anggaran kebaikan kita hanya dimakan oleh orang-orang rakus, sedangkan kaum papa tetap dalam penderitaannya.