Surabaya (ANTARA) - Restorative justice (keadilan restoratif) adalah aspek hukum yang paling mudah untuk menjelaskan bahwa penegakan hukum itu bukan hanya persoalan keadilan, namun di dalamnya juga ada kearifan.
Adalah pakar hukum tata negara Prof Mahfud MD yang menyoal keadilan dan kearifan dalam akun media sosial pada awal Oktober 2025, untuk menyikapi Musibah Runtuhnya mushalla di Pesantren Al-Khoziny, Buduran, Sidoarjo, Jawa Timur (29/9/2025).
Pakar hukum dan mantan Menteri Koordinator bidang Politik Hukum, dan Keamanan (Polhukam) yang juga santri itu tahu persis bahwa pesantren tidak dibangun dalam sekali jadi, sebab dananya berasal dari sumbangan yang tidak datang langsung utuh untuk satu bangunan.
Pengerjaan bangunan di pesantren bertahap, karena bantuannya juga bertahap. Terkadang hanya bisa untuk satu ruang atau kadang juga hanya cukup untuk satu lantai saja. Karena itu, maka proses pembangunan cenderung tidak ada perencanaan, kecuali kalau dibantu pemerintah dalam sekali jadi.
Restorative justice adalah pendekatan penyelesaian tindak pidana yang mengutamakan pemulihan, bukan pembalasan, dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga, dan masyarakat untuk mencapai perdamaian dan memulihkan kondisi semula.
Misalnya, pengguna/pengedar narkotika merupakan contoh yang mudah untuk menyodorkan pada dua pilihan, manakah yang efektif antara sanksi hukum atas kejahatannya atau sanksi rehabilitasi untuk proses penyadaran hingga penyembuhan dari ketergantungan?
Nah, sanksi rehabilitasi untuk kepentingan penyembuhan dari ketergantungan narkotika juga bisa menjadi pilihan polisi yang juga diatur dalam Peraturan Polri Nomor 8 Tahun 2021, yang memungkinkan penyelesaian kasus pidana ringan melalui mekanisme musyawarah mufakat di antara para pihak yang berkepentingan.
Itulah keadilan restoratif yang melihat hukum bukan hanya penegakan keadilan, tapi juga menunjuk pada kearifan hukum, atau mementingkan pemulihan korban daripada penjara yang justru akan memperparah korban. Hal itu bukan berarti menghentikan proses hukum, tapi justru menghentikan kejahatan berkembang terus.
Upaya menghentikan kejahatan melalui kearifan dalam hukum itu bukan tanpa alasan, namun hal itu karena menyadari bahwa Indonesia adalah negara dengan masyarakat majemuk dari beragam suku, ras, agama, budaya, serta strata sosial (tradisional atau modern).
Tentu saja, kemajemukan ini butuh dikelola dengan baik untuk terwujudnya kondisi hidup yang tenteram, damai, dan harmonis. Menurut pakar ilmu pemerintahan Prof M Mas’ud Said, MM, PhD, konflik sosial adalah suatu keniscayaan, apalagi di masyarakat majemuk.
Hukum pun harus dilihat dalam konteks kearifan, apalagi terkait dengan dukungan pesantren kepada republik ini dalam mendidik anak bangsa secara murah, bahkan pesantren juga banyak mencetak tokoh bangsa yang memiliki jasa besar, termasuk kemerdekaan adalah bagian dari kontribusi pesantren pada republik ini.
Artinya, keadilan restoratif adalah pendekatan penyelesaian perkara pidana yang fokus pada tiga kepentingan, yakni memperbaiki kerugian yang disebabkan oleh kejahatan (melibatkan korban), melihat pertanggungjawaban pelaku, dan mencegah terjadinya kerugian yang serupa di masa mendatang.
Dalam aspek kepolisian, keadilan restoratif itu sejalan dengan konsep COP community oriented policing (COP) dan POP problem oriented policing (POP). COP itu terkait kerja sama polisi-masyarakat untuk menumbuhkan kepercayaan, sedang POP itu terkait interaksi polisi-masyarakat untuk stabilitas. COP-POP ini mengedepankan peran Bhabinkamtibmas.
Era digital
Merujuk pada pendapat Prof M Mas’ud Said tentang konflik, perdamaian dan resolusinya, konflik itu tidak mungkin dihilangkan, kecuali dikelola dengan dua pilihan/cara untuk mewujudkan perdamaian, yakni keadilan (pendekatan hukum) atau kearifan (pendekatan demokratis untuk menghormati perbedaan/kemajemukan).
