Nurkholis Sastro menjadi penggiat pengurangan risiko bencana (PBR) berawal dari gempa bumi pada tahun 2000 yang terjadi di provinsi kelahirannya, Bengkulu.

Saat itu, ia yang sudah aktif di Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Provinsi Bengkulu didaulat sebagai koordinator lapangan dalam penanggulangan bencana dari organisasinya.

Lelaki kelahiran Datarantinggi, Lebong, Provinsi Bengkulu 2 April 1974 itu, memang sejak sekolah menengah sudah aktif di dunia lingkungan hidup.

Ketika bencana kembali melanda daerahnya yakni gempa bumi tahun 2007, semakin membangkitkan kesadaran baru pada dirinya.

"Bahwa Kita atau lembaga yang tinggal di Bengkulu tidak bisa lagi hanya mengurusi `emergency respont` tetapi harus juga mengurusi pengurangan risiko bencana atau PRB," katanya.

Sejak tahun 2008, ujar dia, konsersium mulai melakukan PRB di dua desa di Bengkulu utara dan dua desa yang kini masuk Kabupaten Bengkulu Tengah (Benteng).

"Kita melihat pemerintah masih lamban melakukan kegiatan PRB, mereka masih sibuk mengurusi proyek fisik atau sibuk membenahi kelembagaan BPBD-nya," kata dia.

Karena itu, lanjutnya, PRB di komunitas menjadi pilihan jalan pintas untuk melakukan penyadaran dan penguatan kapasitas guna membentuk budaya berketahanan dalam PRB.

"Sejak itu kita mulai mengembangkan diri untuk memperluas desa-desa yang difasilitasi PRB," kata Sastro.

Sementara itu, ujar suami aktivis perempuan di Bengkulu, Tety Sumeri, pemerintah belum menempatkan mereka dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bekerja untuk PRB sebagai aset, dan sebaliknya dilihat sebagai pesaing.

"Itu pikiran sesat. Karena mandat utama untuk PRB itu harus dilakukan oleh pemerintah. Sampai saat ini pemerintah sendiri belum memiliki desa-desa yang bagus untuk kegiatan PRB. Sementara Lembaga Swadaya Masyarakat dan ormas di Bengkulu telah melakukan dan berjalan di 108 desa," katanya.

Ia pun mengakui, belum ada dukungan yang serius atas kegiatan di 108 desa tersebut, terbukti belum ada integrasi program di sana.

Nurkholis Sastro, yang kerap disapa oleh rekan-rekannya dengan Sastro, memiliki pengalaman organisasinya yakni tahun 1995-1997 belajar sebagai asisten koordinator untuk program penjangkauan di CCRR Bengkulu. Tahun 1997-2002 menjadi Deputi Walhi Bengkulu, dan tahun 2002-sekarang sebagai Koordinator Komunitas Indonesia WARSI Daerah Bengkulu.

Kemudian, sebagai Koordinator Program DRR di Konsersium yang dilekatkan di lembaga Cahaya perempuan WCC Bengkulu, juga dipercaya menjadi Ketua Forum PRB Provinsi Bengkulu.

Sastro pun di kelompok olahraga off road dipercaya sebagai Koordinator Lingkungan dan Penanggulangan Bencana IOF Daerah Bengkulu.

                                             Pilihan Hidup

Nurkholis Sastro yang mendapat dukungan penuh dari sang istri mengaku selalu bersemangat kalau dapat memfasilitasi masyarakat untuk melakukan aksi dan menyusun dokumen kebencanaan di desa/kelurahan atau sekolah.

"Pekerjaan ini telah menjadi pilihan hidup sejak mulai mengenal dunia LSM tahun 1992 keika masih kelas 3 SMA lalu," terang dia.

Ia pun menegaskan, kian tahun intensitas dan daya hancur bencana semakin besar. Misalnya kegempaan di Bengkulu dari tahun ke tahun kian bertambah, demikian juga banjir, kekeringan dan kerusakan lingkungan.

"Di sisi lain masyarakat kian menjadi objek dari dampak bencana. Yang menjadi pangkal persoalan utamanya adalah di kebijakan dan keseriusan pemerintah kita sampai saat ini kita di Bengkulu, belum ada satu pun Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) yang memiliki perda penyelenggaraan bencana daerah yg seharusnya menjadi payung hukum untuk menyusun program dan anggaran," katanya.

Kemudian, juga belum memiliki RPB rencana penaggulangan bencana yang setelah itu diturunkan menjadi RAK rencana aksi daerah sebagai kegiatan per tahun.

"Bayangkan saja telah dua hingga tiga tahun lebih berdiri BPBD tidak juga memiliki perangkat kebijakan itu. Bagaimana mereka bisa melakukan PRB kalau tidak ada perangkat kebijakannya. Ini namanya pembiaran terhadap risiko yang kian mengancam warga," katanya.

Sastro pun menceritakan pengalaman di Kota Bengkulu dan Kabupaten Mukomuko bahwa masyarakat sangat senang bila ada kegiatan secara reguler tentang PRB.

"Sampai mereka menyebut sekolah bencana, karena kita minimal dua kali dalam satu bulan berdiskusi dengan masyarakat," kata dia, yang kini tinggal di Kota Bengkulu.

Ia pun menegaskan kegiatan untuk PRB terus dilakukan apalagi di Kota Bengkulu ada 22 kelurahan yang rawan tsunami.

"Ada 22 kelurahan di pesisir pantai barat Kota Bengkulu yang rawan tsunami karena hanya satu sampai empat meter di atas permukaan laut," kata dia.

Ia mengatakan 22 kelurahan tersebut terdapat di enam kecamatan yakni Kampungmelayu, Muarabangkahulu, Ratuagung, Ratusamban, Sungaiserut dan Teluksegara.

Kelurahan yang berada pada zona rawan tsunami di Kecamatan Kampungmelayu yakni Kandangmas, Muaradua, Padangserai, Sumberjaya, Teluksepang dan Kandang.

Sedangkan di Kecamatan Muarabangkahulu terdapat Kelurahan Bentiringpermai, Beringinraya, Rawamakmur, Rawamakmur Permai, Kandanglimun dan Bentiring.

Selanjutnya di Kecamatan Ratuagung terdapat Kelurahan Kebunbeler dan Lempung, Kecamatan Ratusamban yakni Kelurahan Anggutbawah, Penurunan dan Belakangpondok.

Sementara di Kecamatan Sungaiserut terdapat Kelurahan Pasarbengkulu, Semarang, Surabaya, Tanjungagung, Tanjungjaya dan Kampungkelawi dan sebagian wilayah Sukamerindu.

"Ancaman untuk wilayah ini karena berada di sempadan Sungai Bengkulu yang sudah dekat ke muara," katanya.

Sedangkan di Kecamatan Teluksegara terdapat Kelurahan Sumurmeleleh, Berkas, Pondokbesi dan Malabero.

Pada 2013 kata dia, KKI Warsi dan Mercy Corps mendampingi empat kelurahan untuk program ketahanan lingkungan dengan inisiatif aktif pengurangan resiko bencana.

"Kami memilih empat kelurahan yaitu Pondokbesi, Padangserai, Kandang dan Penurunan," katanya.

Alasan pemilihan empat kelurahan tersebut, selain padat penduduk, mencapai 10 ribu jiwa lebih, juga untuk menghindari tumpang tindih dengan program pengurangan risiko bencana yang digelar lembaga lain.

Ia mengatakan masyarakat akan dilatih untuk tiga tujuan utama yakni peningkatan pengetahuan dan keterampilan teknis tentang penanganan bencana.

"Tujuan lain agar masyarakat membangun kelembagaan yang mampu menangani masalah kebencanaan. Selain itu, warga diharapkan mampu membangun kesepakatan-kesepakatan tentang rencana aksi untuk pengurangan risiko bencana.," katanya.

*

Pewarta: Oleh Triono Subagyo

Editor : Helti Marini S


COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2013