Malam kedua Festival Lima Gunung XII terkesan menjadi momentum pergelaran kesenian dan peristiwa budaya yang khusus untuk girang hati anak-anak kawasan Gunung Andong, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.
Guru Bahasa Indonesia di salah satu SMP swasta Kota Magelang Wicahyanti Rejeki yang membawakan acara itu membuat suasana pementasan bagai menjadi milik anak-anak Dusun Mantran, Desa Girirejo, Kecamatan Ngablak.
Dusun berpenduduk sekitar 550 jiwa atau 142 kepala keluarga yang hampir semuanya bekerja sebagai petani sayuran itu menjadi tuan rumah festival tahunan seniman petani yang tergabung dalam Komunitas Lima Gunung (Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh).
Masyarakat memadati arena pementasan di panggung terbuka festival yang berhiaskan instalasi dari bahan alami, seperti anyaman jerami dan bambu, tebon (batang pohon jagung), serta ranting kering tanaman cabai.
Mereka yang menonton pementasan pada hari Sabtu (29/6) malam itu tampak senang menyaksikan anak-anak dusun secara khusus berpentas kesenian dalam rangkaian Festival Lima Gunung XII pada tanggal 28--30 Juni 2013.
Rangkaian agenda kebudayaan Festival Lima Gunung XII selama tiga hari di dusun setempat, antara lain tradisi ziarah makam, kenduri warga, arak-arakan seniman petani, serta pentas tarian tradisional dan kontemporer.
Selain itu, pentas wayang kulit, wayang beber, performa seni, ketoprak, pentas anak-anak, pembacaan puisi, peluncuran buku Komunitas Lima Gunung berjudul "Sendang Sungsang", pemukulan Gong Gunung, pelepasan burung merpati, dan orasi budaya.
Para penyuguh pementasan, selain seniman petani berbagai kelompok yang tergabung dalam komunitas itu, juga relasi mereka dari beberapa kota, dan sejumlah grup kesenian sekitar Dusun Mantran Wetan.
Setelah berturut-turut mengantarkan anak-anak secara bergantian menyuguhkan pementasan, baik dalam kelompok maupun individu, antara lain drama, pembacaan puisi dan cerita pendek, dan tarian kreasi dusun, secara tiba-tiba Wicahyanti yang juga pegiat Komunitas Lima Gunung tersebut memanggil budayawan Yogyakarta Romo G. Budi Subanar untuk masuk panggung terbuka tersebut.
Yang dipanggil tak segera masuk panggung karena sedang berada di tengah-tengah jubelan masyarakat yang baru saja selesai menonton sekelompok anak yang tergabung dalam "Kumpul Bocah Mantran" itu, mementaskan drama berjudul "Tuyul", karya W.S. Renda.
Wicahyanti yang juga melatih anak-anak untuk pentas drama karya penyair besar Indonesia tersebut, kemudian melanjutkan mengantarkan acara dengan pementasan oleh anak-anak yang lainnya.
Berbagai pementasan mereka yang terkesan diantarkan oleh Wicahyanti secara dialogis dengan menggunakan peraga berupa boneka tangan, antara lain pembacaan puisi "Surat dari Ibu" (Asrul Sani) secara kolaboratif oleh dua anak Mantran Wetan, yakni Anjar dan Rohayati, musik puisi "Festival Lima Gunung untuk Pak Tanto" (Wicahyanti) disuguhkan oleh Munir Syalala dan Radja Restu Hardiyan.
Selain itu, pembacaan cerita pendek "Selimut Dik Rani" (Wicahyanti) oleh penyair remaja Studio Mendut, Atika, tarian kreasi gunung berjudul "Sekar Gumadhung" (Gianto) oleh delapan anak putri Mantran Wetan dan tarian "Warok Bocah" oleh 14 anak putra setempat.
Pementasan anak-anak dusun secara polos itu, selain terlihat membuat girang hati mereka juga membuat para penonton yang berjubel mengelilingi panggung setempat tertawa geli dan bertepuk tangan riuh rendah. Anak-anak itu umumnya berusia sekolah dasar.
Kehadiran Romo Banar malam itu ke lokasi festival tahunan seniman petani memang terkesan mengejutkan sejumlah orang, setidaknya terlihat dari raut wajah Ketua Komunitas Lima Gunung Supadi Haryanto yang telah akrab mengenal pengajar program pascasarjana Ilmu Budaya dan Religi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta itu.
Dia datang dari Yogyakarta ke dusun setempat dengan mengendarai sepeda motor untuk selanjutnya menyaksikan pementasan anak-anak, lalu menginap di rumah warga Mantran Wetan, Darwadi, guna mengikuti puncak Festival Lima Gunung XII bertema "Mulat Kahanan Sungsang" (Refleksi batin seniman petani komunitas itu atas berbagai sendi kehidupan yang serba terbalik dari situasi normal, akhir-akhir ini) pada hari Minggu (30/6).
Panggilan kedua dari pembawa acara terhadap Romo Banar, seakan tak kuasa lagi ditolaknya. Dia memang tidak teragenda untuk maju dalam pementasan itu. Romo Banar pun masuk panggung terbuka dan secara singkat memperkenalkan diri kepada para penonton, serta mengapresiasi festival tahunan tersebut yang pada tahun 2013 di Gunung Andong.
Ia kemudian memanggil anak-anak untuk maju mendekatinya. Mereka yang dengan berani, beranjak dari tempat duduk di tepi panggung untuk memenuhi panggilan Romo Banar, antara lain Afifah, Isman, Giyati, Yuli, Dea, Muhlasin, Mbodo, dan Wida. Beberapa pertanyaan ringan dilontarkan kepada anak-anak itu.
"Gunung apa yang paling kamu senangi?" tanyanya yang direspons oleh anak-anak dengan jawaban,"Gunung Andong". Romo Banar pun membenarkan jawaban itu karena gunung yang tak jauh dari tempat tinggal mereka sebagai sumber penghidupan sehari-hari.
"Karena Gunung Andong yang memberikan makan dan minum kalian," katanya.
Kemudian, Romo Banar meminta mereka menirukan lagu dengan syair pendek yang agaknya memang dikarangnya saat itu juga, di panggung pementasan.
"Aku ini anak-anak pemberani. Dari Gunung Andong asalnya. Kecil-kecil tetapi setia. Pada Tanah Air dan bangsanya," begitu syair lagu yang kemudian ditembangkan berulang-ulang oleh anak-anak dengan diiringi keyboard dipadu tabuhan kendang dan perkusi oleh sejumlah pemuda Mantran Wetan.
Masyarakat menepukkan tangan dengan raut wajah mereka gembira saat melihat anak-anak menembangkan lagu tersebut.
Apalagi Romo Banar kemudian menimpali dengan menari-nari di hadapan mereka, seirama tembang yang dikumandangkan berulang-ulang oleh anak-anak dusun setempat.
Anak-anak kemudian diminta Romo Banar untuk "kontes menari" secara berkelompok, masing-masing selama beberapa saat.
Tabuhan gamelan secara spontan oleh para pemuda setempat mengiring tiada henti selama anak-anak itu "kontes menari". Penonton pun dibuatnya terpingkal-pingkal oleh gerakan tarian spontan yang luwes dibawakan anak-anak.
Suasana malam di kawasan Gunung Andong yang berhawa dingin, seakan berubah menjadi terasa hangat oleh suguhan pementasan anak-anaknya. Festival Lima Gunung tahun ini telah membawa anak-anak dusun tersebut bergirang hati.
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2013
Guru Bahasa Indonesia di salah satu SMP swasta Kota Magelang Wicahyanti Rejeki yang membawakan acara itu membuat suasana pementasan bagai menjadi milik anak-anak Dusun Mantran, Desa Girirejo, Kecamatan Ngablak.
Dusun berpenduduk sekitar 550 jiwa atau 142 kepala keluarga yang hampir semuanya bekerja sebagai petani sayuran itu menjadi tuan rumah festival tahunan seniman petani yang tergabung dalam Komunitas Lima Gunung (Merapi, Merbabu, Andong, Sumbing, dan Menoreh).
Masyarakat memadati arena pementasan di panggung terbuka festival yang berhiaskan instalasi dari bahan alami, seperti anyaman jerami dan bambu, tebon (batang pohon jagung), serta ranting kering tanaman cabai.
Mereka yang menonton pementasan pada hari Sabtu (29/6) malam itu tampak senang menyaksikan anak-anak dusun secara khusus berpentas kesenian dalam rangkaian Festival Lima Gunung XII pada tanggal 28--30 Juni 2013.
Rangkaian agenda kebudayaan Festival Lima Gunung XII selama tiga hari di dusun setempat, antara lain tradisi ziarah makam, kenduri warga, arak-arakan seniman petani, serta pentas tarian tradisional dan kontemporer.
Selain itu, pentas wayang kulit, wayang beber, performa seni, ketoprak, pentas anak-anak, pembacaan puisi, peluncuran buku Komunitas Lima Gunung berjudul "Sendang Sungsang", pemukulan Gong Gunung, pelepasan burung merpati, dan orasi budaya.
Para penyuguh pementasan, selain seniman petani berbagai kelompok yang tergabung dalam komunitas itu, juga relasi mereka dari beberapa kota, dan sejumlah grup kesenian sekitar Dusun Mantran Wetan.
Setelah berturut-turut mengantarkan anak-anak secara bergantian menyuguhkan pementasan, baik dalam kelompok maupun individu, antara lain drama, pembacaan puisi dan cerita pendek, dan tarian kreasi dusun, secara tiba-tiba Wicahyanti yang juga pegiat Komunitas Lima Gunung tersebut memanggil budayawan Yogyakarta Romo G. Budi Subanar untuk masuk panggung terbuka tersebut.
Yang dipanggil tak segera masuk panggung karena sedang berada di tengah-tengah jubelan masyarakat yang baru saja selesai menonton sekelompok anak yang tergabung dalam "Kumpul Bocah Mantran" itu, mementaskan drama berjudul "Tuyul", karya W.S. Renda.
Wicahyanti yang juga melatih anak-anak untuk pentas drama karya penyair besar Indonesia tersebut, kemudian melanjutkan mengantarkan acara dengan pementasan oleh anak-anak yang lainnya.
Berbagai pementasan mereka yang terkesan diantarkan oleh Wicahyanti secara dialogis dengan menggunakan peraga berupa boneka tangan, antara lain pembacaan puisi "Surat dari Ibu" (Asrul Sani) secara kolaboratif oleh dua anak Mantran Wetan, yakni Anjar dan Rohayati, musik puisi "Festival Lima Gunung untuk Pak Tanto" (Wicahyanti) disuguhkan oleh Munir Syalala dan Radja Restu Hardiyan.
Selain itu, pembacaan cerita pendek "Selimut Dik Rani" (Wicahyanti) oleh penyair remaja Studio Mendut, Atika, tarian kreasi gunung berjudul "Sekar Gumadhung" (Gianto) oleh delapan anak putri Mantran Wetan dan tarian "Warok Bocah" oleh 14 anak putra setempat.
Pementasan anak-anak dusun secara polos itu, selain terlihat membuat girang hati mereka juga membuat para penonton yang berjubel mengelilingi panggung setempat tertawa geli dan bertepuk tangan riuh rendah. Anak-anak itu umumnya berusia sekolah dasar.
Kehadiran Romo Banar malam itu ke lokasi festival tahunan seniman petani memang terkesan mengejutkan sejumlah orang, setidaknya terlihat dari raut wajah Ketua Komunitas Lima Gunung Supadi Haryanto yang telah akrab mengenal pengajar program pascasarjana Ilmu Budaya dan Religi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta itu.
Dia datang dari Yogyakarta ke dusun setempat dengan mengendarai sepeda motor untuk selanjutnya menyaksikan pementasan anak-anak, lalu menginap di rumah warga Mantran Wetan, Darwadi, guna mengikuti puncak Festival Lima Gunung XII bertema "Mulat Kahanan Sungsang" (Refleksi batin seniman petani komunitas itu atas berbagai sendi kehidupan yang serba terbalik dari situasi normal, akhir-akhir ini) pada hari Minggu (30/6).
Panggilan kedua dari pembawa acara terhadap Romo Banar, seakan tak kuasa lagi ditolaknya. Dia memang tidak teragenda untuk maju dalam pementasan itu. Romo Banar pun masuk panggung terbuka dan secara singkat memperkenalkan diri kepada para penonton, serta mengapresiasi festival tahunan tersebut yang pada tahun 2013 di Gunung Andong.
Ia kemudian memanggil anak-anak untuk maju mendekatinya. Mereka yang dengan berani, beranjak dari tempat duduk di tepi panggung untuk memenuhi panggilan Romo Banar, antara lain Afifah, Isman, Giyati, Yuli, Dea, Muhlasin, Mbodo, dan Wida. Beberapa pertanyaan ringan dilontarkan kepada anak-anak itu.
"Gunung apa yang paling kamu senangi?" tanyanya yang direspons oleh anak-anak dengan jawaban,"Gunung Andong". Romo Banar pun membenarkan jawaban itu karena gunung yang tak jauh dari tempat tinggal mereka sebagai sumber penghidupan sehari-hari.
"Karena Gunung Andong yang memberikan makan dan minum kalian," katanya.
Kemudian, Romo Banar meminta mereka menirukan lagu dengan syair pendek yang agaknya memang dikarangnya saat itu juga, di panggung pementasan.
"Aku ini anak-anak pemberani. Dari Gunung Andong asalnya. Kecil-kecil tetapi setia. Pada Tanah Air dan bangsanya," begitu syair lagu yang kemudian ditembangkan berulang-ulang oleh anak-anak dengan diiringi keyboard dipadu tabuhan kendang dan perkusi oleh sejumlah pemuda Mantran Wetan.
Masyarakat menepukkan tangan dengan raut wajah mereka gembira saat melihat anak-anak menembangkan lagu tersebut.
Apalagi Romo Banar kemudian menimpali dengan menari-nari di hadapan mereka, seirama tembang yang dikumandangkan berulang-ulang oleh anak-anak dusun setempat.
Anak-anak kemudian diminta Romo Banar untuk "kontes menari" secara berkelompok, masing-masing selama beberapa saat.
Tabuhan gamelan secara spontan oleh para pemuda setempat mengiring tiada henti selama anak-anak itu "kontes menari". Penonton pun dibuatnya terpingkal-pingkal oleh gerakan tarian spontan yang luwes dibawakan anak-anak.
Suasana malam di kawasan Gunung Andong yang berhawa dingin, seakan berubah menjadi terasa hangat oleh suguhan pementasan anak-anaknya. Festival Lima Gunung tahun ini telah membawa anak-anak dusun tersebut bergirang hati.
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2013