Ketua Yayasan Kanopi Hijau Indonesia Ali Akbar menyebut penghapusan limbah batu bara hasil pembakaran atau Fly Ash dan Bottom Ash (FABA) dari kategori limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) akan mengancam keselamatan lingkungan hidup di Bengkulu.

Kebijakan yang merupakan turunan dari Undang-undang Cipta Kerja yakni UU nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup ini diprediksi akan mempercepat kerusakan lingkungan, terutama dikawasan sekitar pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara Bengkulu.

"Sebanyak 82 persen PLTU batu bara berada di kawasan pesisir, maka operasi dan limbah yang dihasilkan akan meracuni biota dan pangan laut pesisir yang kembali akan dikonsumsi warga," kata Ali dalam keterangan tertulisnya, Selasa.

Menurut Ali, sudah banyak laporan dan fakta terjadinya perubahan dan penurunan kondisi lingkungan dan kesehatan warga yang bermukim di sekitar PLTU di banyak daerah.

Diantaranya warga dan petani di Mpanau Sulawesi Tengah, Cilacap Jawa Tengah, Indramayu dan Cirebon Jawa Barat, Celukan Bawang Bali, Ombilin Sumatera Barat, Muara Maung dan Muara Enim Sumatera Selatan, dan Suralaya Banten.

Derita serupa juga dialami warga di banyak kampung di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur, termasuk di Morowali Sulawesi Tengah, dimana terdapat smelter nikel, PLTU mulut tambang dan kawasan industri yang listriknya berasal dari batubara.

Ali menilai, dampak yang akan ditimbulkan akibat terbitnya kebijakan penghapusan limbah batu bara dari limbah B3 akan dialami kelompok perempuan dan kelompok rentan lainnya seperti anak-anak dan kelompok paling dekat seperti nelayan dan masyarakat adat.

"Dan itu akan segera dialami petani dan warga di Teluk Sepang, Bengkulu dan banyak daerah lain yang akan dibangun pembangkit batu bara," demikian Ali Akbar.

Pewarta: Carminanda

Editor : Musriadi


COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2021