Bengkulu (Antara Bengkulu) - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi)
Bengkulu meminta Pemerintah Provinsi Bengkulu segera mengatasi kerusakan
lingkungan di daerah itu terutama ekosistem Pulau Tikus dan Sungai
Bengkulu.
"Kerusakan dua ekosistem tidak lepas dari aktivitas sektor batubara yang mengakibatkan kerusakan dari hulu hingga ke hilir," kata Ketua Divisi Penguatan Jaringan dan Organisasi Walhi Bengkulu, Fery Vandalis di Kantor Gubernur, Senin.
Ia mengatakan hal itu saat berdialog dan diskusi tentang kerusakan Pulau Tikus dan Sungai Bengkulu dengan Gubernur Bengkulu Junaidi Hamsyah, Kepala Bappeda Edy Waluyo, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Renaldi dan Kepala Badan Lingkungan Hidup Iskandar.
Kerusakan ekosistem perairan Pulau Tikus menurut Walhi Bengkulu tidak lepas dari aktivitas bongkar muat batubara di sekitar perairan itu.
"Meski izin bongkar muat sudah dicabut tapi kerusakan yang ditimbulkan hingga saat ini dampaknya masih terlihat di lapangan," katanya.
Vandalis menambahkan, mengutip data Rafflesia Bengkulu Diving Club (RBDC) yang menyebutkan sekitar 30 persen terumbu karang di Pulau Tikus rusak akibat aktivitas bongkar muat kapal pengangkut batubara.
Dari 30 persen terumbu karang yang mengalami kerusakan, 95 persen diantaranya sudah tergolong mati sehingga sangat mengganggu ekosistem laut di sekitar Pulau Tikus.
Kerusakan itu mengakibatkan kerugian bagi para nelayan tradisional Kota Bengkulu, karena ekosistem tempat berkembang biak ikan sudah rusak.
Sementara kerusakan Daerah Aliran Sungai (DAS) Bengkulu menurut Walhi dikarenakan aktivitas merusak yang dilakukan tujuh perusahaan tambang batubara dan pabrik karet.
Lima perusahaan yang bergerak di sektor tambang batubara yakni PT Danau Mas Hitam, PT Inti Bara Perdana, PT Bukit Sunur, PT Emerat Treden Agency (ETA) dan PT Bio Energi.
Sedangkan dua perusahaan pabrik pengolah karet yang diduga mencemari air Sungai Bengkulu itu adalah kontribusi dari PT Bukit Angkasa Makmur dan PT Batang Hari.
Gubernur Bengkulu Junaidi Hamsyah mengatakan penghentian izin bongkar muat batubara di perairan Pulau Tikus merupakan upaya konkret pemerintah daerah untuk melindungi Pulau Tikus.
"Kami komitmen menyelamatkan Pulau Tikus sehingga izin bongkar muat dicabut pemerintah daerah," katanya.
Ke depan kata dia, pemerintah daerah berupaya merehabilitasi terumbu karang Pulau Tikus dengan mengadopsi sejumlah praktik serupa dari Bali.
Sementara tentang Sungai Bengkulu, Gubernur mengatakan pengawasan, evaluasi hingga pencabutan izin merupakan kewenangan pemerintah Kabupaten Bengkulu Tengah.
"Pemerintah Provinsi Bengkulu bertanggungjawab mengawasi, dan sudah dilakukan Badan Lingkungan Hidup melalui Proper," katanya.
Dari pembahasan tersebut disepakati pentingnya sejumlah tindakan nyata untuk menyelamatkan Pulau Tikus dan DAS Bengkulu.
Gubernur mengatakan tetap membutuhkan masukan dan saran dari Walhi dan lembaga lainnya di daerah ini untuk perbaikan lingkungan.
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2013
"Kerusakan dua ekosistem tidak lepas dari aktivitas sektor batubara yang mengakibatkan kerusakan dari hulu hingga ke hilir," kata Ketua Divisi Penguatan Jaringan dan Organisasi Walhi Bengkulu, Fery Vandalis di Kantor Gubernur, Senin.
Ia mengatakan hal itu saat berdialog dan diskusi tentang kerusakan Pulau Tikus dan Sungai Bengkulu dengan Gubernur Bengkulu Junaidi Hamsyah, Kepala Bappeda Edy Waluyo, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Renaldi dan Kepala Badan Lingkungan Hidup Iskandar.
Kerusakan ekosistem perairan Pulau Tikus menurut Walhi Bengkulu tidak lepas dari aktivitas bongkar muat batubara di sekitar perairan itu.
"Meski izin bongkar muat sudah dicabut tapi kerusakan yang ditimbulkan hingga saat ini dampaknya masih terlihat di lapangan," katanya.
Vandalis menambahkan, mengutip data Rafflesia Bengkulu Diving Club (RBDC) yang menyebutkan sekitar 30 persen terumbu karang di Pulau Tikus rusak akibat aktivitas bongkar muat kapal pengangkut batubara.
Dari 30 persen terumbu karang yang mengalami kerusakan, 95 persen diantaranya sudah tergolong mati sehingga sangat mengganggu ekosistem laut di sekitar Pulau Tikus.
Kerusakan itu mengakibatkan kerugian bagi para nelayan tradisional Kota Bengkulu, karena ekosistem tempat berkembang biak ikan sudah rusak.
Sementara kerusakan Daerah Aliran Sungai (DAS) Bengkulu menurut Walhi dikarenakan aktivitas merusak yang dilakukan tujuh perusahaan tambang batubara dan pabrik karet.
Lima perusahaan yang bergerak di sektor tambang batubara yakni PT Danau Mas Hitam, PT Inti Bara Perdana, PT Bukit Sunur, PT Emerat Treden Agency (ETA) dan PT Bio Energi.
Sedangkan dua perusahaan pabrik pengolah karet yang diduga mencemari air Sungai Bengkulu itu adalah kontribusi dari PT Bukit Angkasa Makmur dan PT Batang Hari.
Gubernur Bengkulu Junaidi Hamsyah mengatakan penghentian izin bongkar muat batubara di perairan Pulau Tikus merupakan upaya konkret pemerintah daerah untuk melindungi Pulau Tikus.
"Kami komitmen menyelamatkan Pulau Tikus sehingga izin bongkar muat dicabut pemerintah daerah," katanya.
Ke depan kata dia, pemerintah daerah berupaya merehabilitasi terumbu karang Pulau Tikus dengan mengadopsi sejumlah praktik serupa dari Bali.
Sementara tentang Sungai Bengkulu, Gubernur mengatakan pengawasan, evaluasi hingga pencabutan izin merupakan kewenangan pemerintah Kabupaten Bengkulu Tengah.
"Pemerintah Provinsi Bengkulu bertanggungjawab mengawasi, dan sudah dilakukan Badan Lingkungan Hidup melalui Proper," katanya.
Dari pembahasan tersebut disepakati pentingnya sejumlah tindakan nyata untuk menyelamatkan Pulau Tikus dan DAS Bengkulu.
Gubernur mengatakan tetap membutuhkan masukan dan saran dari Walhi dan lembaga lainnya di daerah ini untuk perbaikan lingkungan.
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2013