Siapa yang belum kenal Anthony de Mello? Inilah penjelasan singkat tentang dia. Mello adalah pastor yang berkarya di India. Bukunya dibaca kalangan lintas pemeluk iman seluruh dunia.
Oleh Vatican pikiran Anthony de Mello pernah dikecam karena tak sejalan dengan iman Katolik.
Pengagum Mello membuat jaringan milis yang disebarkan ke siapa saja yang berminat dengan pikiran-pikiran Mello, dari soal-soal sepele hingga soal-soal yang berat. Ah, mungkin kurang tepat memisahkan soal sepele dan berat dalam konteks pemikiran Mello. Apa yang tampaknya sepele bisa begitu berat. Begitu juga sebaliknya.
Membaca Mello sama saja membaca khasanah pemikiran para bijak bestari dari kalangan iman mana pun. Dia mengutip sufi, rahib dan spiritualis dari mana pun. Buah pikiran Mello yang merupakan meditasi terakhir tentang hidup dan maknanya telah dibukukan dalam "The Way to Love" dan diindonesiakan dengan judul sama oleh Gramedia, 2011.
Yang menarik dalam pemikiran Mello adalah sudut pandangnya yang berkebalikan dengan kebanyakan orang dalam mengupas persoalan. Pertanyaan esensial seperti : Kenapa banyak orang tak bahagia dalam hidup di dunia ini? Orang awam akan menjawab: karena kurang sabar, karena kurang beruntung secara material, karena dirundung penyakit yang tak tersembuhkan, karena kurang iman dan lain-lain.
Mello tidak memandang semua persoalan itu sebagai halangan manusia untuk berbahagia. Dia melihat bahwa ketakbahagiaan itu muncul karena manusia menetapkan syarat yang berat untuk berbahagia. Ini konjol menurut Mello. Di mata Mello, untuk bahagia itu tidak perlu syarat tapi orang kebanyakan justru menetapkan syarat-syaratnya. Contoh yang lumrah adalah pengakuan berikut: "Saya akan bahagia jika punya uang banyak, punya istri yang sabar, punya kedudukan sosial dan lain-lain."
Pengakuan semacam ini aneh, menurut Mello. Itu sama saja dengan mengatakan: "Saya tak mau bahagia kalau tidak memperoleh apa yang saya inginkan". Persoalannya: keinginan itu tak pernah ada titik jedanya. Selalu dan selalu berkembang biak.
Keinginan memperanakkan keinginan yang lain. Begitu anda ingin jadi presiden misalnya, dan keinginan anda itu terpenuhi, maka keinginan lain muncul: ingin menjadi presiden kedua kalinya. Ketika keinginan itu tercapai, anda masih dikejar oleh hasrat untuk ingin menjadi presiden yang terbaik di antara presiden yang pernah ada. Begitulah keinginan terus berbiak-dan berbiak. Tak ada keinginan puncak yang menghentikan langkahnya untuk terus melaju.
Mello mengatakan, persoalan paling gawat pada manusia adalah bahwa dia tidak begitu mudah untuk diam. Diam dalam pengertian yang luas: diam dalam arus yang mengombang-ambingkan kesadarannya di tengah gelombang badai hasrat dan keinginan. Mello tak membatasi keinginan pada ranah duniawi.
Keinginan untuk menjadi suci pun bisa membahayakan. Apalagi jika untuk sampai ke kesucian itu harus dilewati dengan mengikuti doktrin-doktrin iman secara membabi buta. Doktrinasi adalah musuh utama dalam metodologi meditasi Mello.
Untuk membaca Mello, pembaca bisa mulai dengan tulisan-tulisannya yang berbentuk dialog pendek-pendek antarpengikut budis, atau yang dituangkan dalam bentuk fabel.
Jika orang sedang berada dalam kesadaran yang penuh, demikian salah satu kredo Mello, orang lain tak akan mampu merobohkan benteng kesadaran itu, dengan penghinaan sekeji apapun. Taruhlah orang yang lagi sadar itu dicaci maki mitra bicaranya dengan kalimat yang pedas: "Sungguh kau ini anak haram jadah!" Kalau dia tak punya kesadaran atau tak berada dalam kesadaran penuh, dia akan membalas kecaman jahat itu, dengan kecaman yang setimpal.
Namun, jika dia dalam kesadaran penuh, dia akan berpikir dalam benaknya: Benarkan aku ini anak haram jadah? Kalau tidak benar, ya ...berarti caci-maki itu tidak mengandung kebenaran sama sekali! Buat apa meladeni omongan yang tak berdasar kebenaran!"
Namun siatuasi sebaliknya bisa terjadi. Bila orang yang dicaci itu memang benar-benar anak yang lahir tanpa diketahui orangtua laki-lakinya, maka mekanisme psikis orang yang sadar akan sampai pada pikiran berikut: "Ya, kau benar, aku memang anak haram jadah. Tapi apa salahnya menjadi anak haram. Itu bukan kesalahanku bukan?"
Yang menjadi soal di sini adalah: Mello tak memberikan jalan praktis untuk sampai pada kesadaran yang penuh itu. Jalan itu harus ditemukan sendiri oleh tiap orang. Makanya Mello tak pernah berpretensi menulis kiat praktis menjadi orang yang berkesdaran penuh.
Begitulah Mello, salah satu penulis yang banyak dibaca kaum lintas pengikut iman yang inklusif itu. (M020)
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2012
Oleh Vatican pikiran Anthony de Mello pernah dikecam karena tak sejalan dengan iman Katolik.
Pengagum Mello membuat jaringan milis yang disebarkan ke siapa saja yang berminat dengan pikiran-pikiran Mello, dari soal-soal sepele hingga soal-soal yang berat. Ah, mungkin kurang tepat memisahkan soal sepele dan berat dalam konteks pemikiran Mello. Apa yang tampaknya sepele bisa begitu berat. Begitu juga sebaliknya.
Membaca Mello sama saja membaca khasanah pemikiran para bijak bestari dari kalangan iman mana pun. Dia mengutip sufi, rahib dan spiritualis dari mana pun. Buah pikiran Mello yang merupakan meditasi terakhir tentang hidup dan maknanya telah dibukukan dalam "The Way to Love" dan diindonesiakan dengan judul sama oleh Gramedia, 2011.
Yang menarik dalam pemikiran Mello adalah sudut pandangnya yang berkebalikan dengan kebanyakan orang dalam mengupas persoalan. Pertanyaan esensial seperti : Kenapa banyak orang tak bahagia dalam hidup di dunia ini? Orang awam akan menjawab: karena kurang sabar, karena kurang beruntung secara material, karena dirundung penyakit yang tak tersembuhkan, karena kurang iman dan lain-lain.
Mello tidak memandang semua persoalan itu sebagai halangan manusia untuk berbahagia. Dia melihat bahwa ketakbahagiaan itu muncul karena manusia menetapkan syarat yang berat untuk berbahagia. Ini konjol menurut Mello. Di mata Mello, untuk bahagia itu tidak perlu syarat tapi orang kebanyakan justru menetapkan syarat-syaratnya. Contoh yang lumrah adalah pengakuan berikut: "Saya akan bahagia jika punya uang banyak, punya istri yang sabar, punya kedudukan sosial dan lain-lain."
Pengakuan semacam ini aneh, menurut Mello. Itu sama saja dengan mengatakan: "Saya tak mau bahagia kalau tidak memperoleh apa yang saya inginkan". Persoalannya: keinginan itu tak pernah ada titik jedanya. Selalu dan selalu berkembang biak.
Keinginan memperanakkan keinginan yang lain. Begitu anda ingin jadi presiden misalnya, dan keinginan anda itu terpenuhi, maka keinginan lain muncul: ingin menjadi presiden kedua kalinya. Ketika keinginan itu tercapai, anda masih dikejar oleh hasrat untuk ingin menjadi presiden yang terbaik di antara presiden yang pernah ada. Begitulah keinginan terus berbiak-dan berbiak. Tak ada keinginan puncak yang menghentikan langkahnya untuk terus melaju.
Kesadaran
Kata kunci lain yang bisa dipetik dari pikiran-pikiran Mello adalah kesadaran. Dalam kosmologi Jawa, kata kunci itu bernama "eling", ingat. Muslim menggunakan leksikon "zikir". Kalau seseorang sudah mencapai kesadaran dalam segala situasi, dia sudah di ambang zona nyaman secara spiritual.Mello mengatakan, persoalan paling gawat pada manusia adalah bahwa dia tidak begitu mudah untuk diam. Diam dalam pengertian yang luas: diam dalam arus yang mengombang-ambingkan kesadarannya di tengah gelombang badai hasrat dan keinginan. Mello tak membatasi keinginan pada ranah duniawi.
Keinginan untuk menjadi suci pun bisa membahayakan. Apalagi jika untuk sampai ke kesucian itu harus dilewati dengan mengikuti doktrin-doktrin iman secara membabi buta. Doktrinasi adalah musuh utama dalam metodologi meditasi Mello.
Untuk membaca Mello, pembaca bisa mulai dengan tulisan-tulisannya yang berbentuk dialog pendek-pendek antarpengikut budis, atau yang dituangkan dalam bentuk fabel.
Jika orang sedang berada dalam kesadaran yang penuh, demikian salah satu kredo Mello, orang lain tak akan mampu merobohkan benteng kesadaran itu, dengan penghinaan sekeji apapun. Taruhlah orang yang lagi sadar itu dicaci maki mitra bicaranya dengan kalimat yang pedas: "Sungguh kau ini anak haram jadah!" Kalau dia tak punya kesadaran atau tak berada dalam kesadaran penuh, dia akan membalas kecaman jahat itu, dengan kecaman yang setimpal.
Namun, jika dia dalam kesadaran penuh, dia akan berpikir dalam benaknya: Benarkan aku ini anak haram jadah? Kalau tidak benar, ya ...berarti caci-maki itu tidak mengandung kebenaran sama sekali! Buat apa meladeni omongan yang tak berdasar kebenaran!"
Namun siatuasi sebaliknya bisa terjadi. Bila orang yang dicaci itu memang benar-benar anak yang lahir tanpa diketahui orangtua laki-lakinya, maka mekanisme psikis orang yang sadar akan sampai pada pikiran berikut: "Ya, kau benar, aku memang anak haram jadah. Tapi apa salahnya menjadi anak haram. Itu bukan kesalahanku bukan?"
Yang menjadi soal di sini adalah: Mello tak memberikan jalan praktis untuk sampai pada kesadaran yang penuh itu. Jalan itu harus ditemukan sendiri oleh tiap orang. Makanya Mello tak pernah berpretensi menulis kiat praktis menjadi orang yang berkesdaran penuh.
Begitulah Mello, salah satu penulis yang banyak dibaca kaum lintas pengikut iman yang inklusif itu. (M020)
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2012