Ternate (Antara Bengkulu) - Aliansi Masyarakat Adat Nusantara Maluku Utara (Aman) menyelenggarakan pelatihan fasilitator pemetaan partisipatif (TFPP), di Desa Gemaf, Kecamatan Weda Utara, Kabupaten Halteng guna mengantisipasi dikuasai wilayah adat oleh orang lain.

"TFPP serupa, sebelumnya telah dilakukan di beberapa komunitas dalam wilayah masyarakat adat Malut, karena perjuangan masyarakat adat selama ini patut diapresiasikan, dimana dengan bukti perjuangan masyarakat adat yang merespons keputusan Mahkamah Konstitusi tentang pemisahan status hutan, yakni hutan negara dan hutan adat," kata Bupati Halteng, Al Yasin Ali di Ternate, Senin.

Oleh karena itu, dirinya meminta agar tak menjual tanah kepada investor asing dan kita berkomitmen terkait dengan perjuangan 100 tahun kelahiran PNU Gemaf, karena Damar Kolano sebagai bukti sejarah peninggalan para leluhur.

Akan tetapi, pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah lebih berpihak kepada pengusaha tambang, sehingga seringkali terjadi penyerobotan lahan, tumpang tindih kawasan, ketidakjelasan tapal batas, yang dirasakan masyarakat adat setempat.

Sementara itu, Sekretaris Aman, Munadi Kilkoda ketika dikonfirmasi mengatakan, selama ini pemerintah kurang melibatkan masyarakat adat, dalam menentukan pemanfaatan suatu wilayah.

Dimana, tujuan pengelolaan, pemanfaatan, dan pemeliharaan  sumber daya alam, tidak hanya digunakan untuk kepentingan ekonomi saja, karena dengan begitu sumber daya alam akan cepat rusak dan habis.

"Kalau begitu penting bagi kita untuk menentukan perencanaan wilayah desa kita, karena kita sangat tergantung pada sumber daya alam yang terkandung di wilayah kita, demi kesejahteraan kita dan anak cucu kita ke depannya," ungkapnya.

Selain itu, masyarakat adat memiliki hak atas tanah dan sumber daya alam yang diwarisi secara turun-temurun yang dijamin Undang-undang dasar.

Ia menjelaskan, perampasan tanah dan sumber daya alam, serta  Pemukiman desa Gemaf saat ini, masuk dalam wilayah konsesi PT. Weda Bay Nicel.

"Satu kali saat kita akan direlokasi. Olehnya itu  langkah-langkah yang harus disiapkan untuk merebut kembali hak-hak yang dikuasai oleh pihak luar yakni pemetaan wilayah adat sebelum dipetakan orang lain," imbuhnya.  

"Pemukiman desa Gemaf dibentuk sejak 1913-an dengan jumlah 10 KK kala itu, agama belum ada dan leluhur kami hanya mengenal adat saja. Tahun ini tepat 100 tahun, tiba-tiba negara mengklaim kalau  tanah ini milik negara, saya sangat sesalkan jika adat itu dikesampingkan," katanya. (Antara)

Pewarta: Oleh Abdul Fatah

Editor : Helti Marini S


COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2013