Luas lahan kakao di Sumatera Barat terus menurun setiap tahun seiring berkurangnya minat petani untuk memelihara komoditas tersebut karena rentan hama dan penyakit.
"Luas lahan perkebunan rakyat untuk komoditas kakao di Sumbar pada 2020 tinggal 84.942 hektare dengan produksi 43.209 ton per tahun, turun drastis dari tahun 2019 yang mencapai 145.735 hektare dengan jumlah produksi 66.917 ton per tahun," kata Kepala Dinas Tanaman Pangan Hortikultura dan Perkebunan Sumbar Syafrizal di Padang, Selasa.
Ia mengatakan berkurangnya luas lahan kakao tersebut bukan karena harga komoditas yang turun, namun karena hama dan pemeliharaan tanaman yang cukup merepotkan.
"Harga kakao cukup bagus di pasaran, bisa mencapai Rp25.000 per kilogramnya. Tapi karena pemeliharaan yang rumit serta hama membuat petani memilih untuk beralih pada komoditas pangan lain," ujarnya.
Rumitnya perawatan tersebut karena petani harus rajin dan intens untuk memantau dahan-dahan yang harus dipangkas. Tanpa pemangkasan kakao sulit untuk berbuah lebat.
Pemangkasan tersebut juga harus memperhatikan banyak hal diantaranya tidak memangkas dahan yang berpotensi untuk berbunga dan berbuah.
"Persoalannya jika dilakukan pemangkasan, maka hama tupai akan lebih mudah untuk memakan buah kakao sehingga petani menjadi rugi," katanya.
Syafrizal menyayangkan berkurangnya lahan kakao di Sumbar karena komoditas itu selama ini menjadi salah satu komoditas pertanian yang bisa menembus pasar ekspor dengan negara tujuan di Eropa, Amerika, China, Rusia, India, Jepang dan Timur Tengah.
Ia menyebut telah melakukan sosialisasi kepada petani kakao untuk bertahan bahkan meningkatkan produktivitas karena pasar yang tersedia sangat luas. Namun setiap tahun luas kebun kakao di daerah itu tetap menurun.
Sementara salah seorang petani asal Padang Pariaman Rusli (45) mengatakan petani kesulitan dalam mengendalikan hama tupai yang membuat produksi terus menurun. Belum lagi soal pemeliharaan dan perlakuan pascapanen.
"Biji kakao harus dijemur untuk mendapatkan kekeringan yang baik untuk mendapatkan harga yang sesuai. Berbeda dengan komoditas lain seperti ubi atau jagung yang bisa langsung dijual sehabis panen. Karena itu banyak petani yang beralih dari tanaman kakao," ujarnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2021
"Luas lahan perkebunan rakyat untuk komoditas kakao di Sumbar pada 2020 tinggal 84.942 hektare dengan produksi 43.209 ton per tahun, turun drastis dari tahun 2019 yang mencapai 145.735 hektare dengan jumlah produksi 66.917 ton per tahun," kata Kepala Dinas Tanaman Pangan Hortikultura dan Perkebunan Sumbar Syafrizal di Padang, Selasa.
Ia mengatakan berkurangnya luas lahan kakao tersebut bukan karena harga komoditas yang turun, namun karena hama dan pemeliharaan tanaman yang cukup merepotkan.
"Harga kakao cukup bagus di pasaran, bisa mencapai Rp25.000 per kilogramnya. Tapi karena pemeliharaan yang rumit serta hama membuat petani memilih untuk beralih pada komoditas pangan lain," ujarnya.
Rumitnya perawatan tersebut karena petani harus rajin dan intens untuk memantau dahan-dahan yang harus dipangkas. Tanpa pemangkasan kakao sulit untuk berbuah lebat.
Pemangkasan tersebut juga harus memperhatikan banyak hal diantaranya tidak memangkas dahan yang berpotensi untuk berbunga dan berbuah.
"Persoalannya jika dilakukan pemangkasan, maka hama tupai akan lebih mudah untuk memakan buah kakao sehingga petani menjadi rugi," katanya.
Syafrizal menyayangkan berkurangnya lahan kakao di Sumbar karena komoditas itu selama ini menjadi salah satu komoditas pertanian yang bisa menembus pasar ekspor dengan negara tujuan di Eropa, Amerika, China, Rusia, India, Jepang dan Timur Tengah.
Ia menyebut telah melakukan sosialisasi kepada petani kakao untuk bertahan bahkan meningkatkan produktivitas karena pasar yang tersedia sangat luas. Namun setiap tahun luas kebun kakao di daerah itu tetap menurun.
Sementara salah seorang petani asal Padang Pariaman Rusli (45) mengatakan petani kesulitan dalam mengendalikan hama tupai yang membuat produksi terus menurun. Belum lagi soal pemeliharaan dan perlakuan pascapanen.
"Biji kakao harus dijemur untuk mendapatkan kekeringan yang baik untuk mendapatkan harga yang sesuai. Berbeda dengan komoditas lain seperti ubi atau jagung yang bisa langsung dijual sehabis panen. Karena itu banyak petani yang beralih dari tanaman kakao," ujarnya.
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2021