Yayasan Hutan, Alam dan lingkungan Aceh (HAkA), sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) bidang konservasi lingkungan hidup meminta masyarakat Aceh, khususnya Kabupaten Aceh Timur, menghentikan perburuan satwa dilindungi.
"Perburuan secara terus menerus akan mengancam keseimbangan alam dan terjadinya konflik satwa dengan manusia," kata Nurul Ikhsan, aktivis lingkungan hidup dari Yayasan Hutan, Alam dan lingkungan Aceh (HAkA) di Aceh Timur, Jumat.
Nurul Ikhsan mengatakan perburuan satwa dilindungi seperti gajah dan harimau sering terjadi di Aceh. Hal itu bisa dilihat dari pengungkapan kasus yang ditangani lembaga penegak hukum.
Seperti kematian gajah yang ditemukan tanpa kepala di Kabupaten Aceh Timur beberapa bulan lalu. Gajah jantan tersebut merupakan korban perburuan untuk diambil gadingnya dan kemudian diperjualbelikan.
Menurut Nurul Ikhsan, pembunuhan gajah sumatra tersebut menjadi perhatian dunia konservasi. Kasus pembunuhan gajah tersebut kini memasuki persidangan di pengadilan di Kabupaten Aceh Timur dengan lima terdakwa.
"Kami akan kawal kasus pembunuhan gajah ini sampai vonis pengadilan. Kami berharap pembunuhan gajah ini menjadi kasus terakhir dari perburuan satwa dilindungi di Aceh," kata Nurul Ikhsan.
Selain itu, Nurul Ikhsan mengajak para pemangku kepentingan melakukan pencegahan-pencegahan preventif terkait perburuan satwa dilindungi, sehingga keseimbangan alam tidak terganggu.
"Pencegahan ini tidak sebatas di pemerintah daerah dan lembaga-lembaga konservasi, tetapi kewajiban mutlak semua pihak dan elemen sipil dalam menjaga dan melestarikan alam dan habitat di dalamnya," kata Nurul Ikhsan.
Oleh karenanya, Nurul Ikhsan mengharapkan tidak ada lagi perburuan satwa dilindungi baik itu gajah, harimau dan lainnya di masa mendatang. Sebab, satwa dilindungi tersebut selain penyeimbang ekosistem juga harus diwariskan kepada generasi masa depan Aceh.
"Masyarakat harus bersyukur bahwa Aceh, khususnya Aceh Timur, masih memiliki empat satwa kunci yaitu gajah sumatra, harimau sumatra, orang utan dan badak sumatra. Keberadaan mereka harus terus dijaga," kata Nurul Ikhsan.
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2021
"Perburuan secara terus menerus akan mengancam keseimbangan alam dan terjadinya konflik satwa dengan manusia," kata Nurul Ikhsan, aktivis lingkungan hidup dari Yayasan Hutan, Alam dan lingkungan Aceh (HAkA) di Aceh Timur, Jumat.
Nurul Ikhsan mengatakan perburuan satwa dilindungi seperti gajah dan harimau sering terjadi di Aceh. Hal itu bisa dilihat dari pengungkapan kasus yang ditangani lembaga penegak hukum.
Seperti kematian gajah yang ditemukan tanpa kepala di Kabupaten Aceh Timur beberapa bulan lalu. Gajah jantan tersebut merupakan korban perburuan untuk diambil gadingnya dan kemudian diperjualbelikan.
Menurut Nurul Ikhsan, pembunuhan gajah sumatra tersebut menjadi perhatian dunia konservasi. Kasus pembunuhan gajah tersebut kini memasuki persidangan di pengadilan di Kabupaten Aceh Timur dengan lima terdakwa.
"Kami akan kawal kasus pembunuhan gajah ini sampai vonis pengadilan. Kami berharap pembunuhan gajah ini menjadi kasus terakhir dari perburuan satwa dilindungi di Aceh," kata Nurul Ikhsan.
Selain itu, Nurul Ikhsan mengajak para pemangku kepentingan melakukan pencegahan-pencegahan preventif terkait perburuan satwa dilindungi, sehingga keseimbangan alam tidak terganggu.
"Pencegahan ini tidak sebatas di pemerintah daerah dan lembaga-lembaga konservasi, tetapi kewajiban mutlak semua pihak dan elemen sipil dalam menjaga dan melestarikan alam dan habitat di dalamnya," kata Nurul Ikhsan.
Oleh karenanya, Nurul Ikhsan mengharapkan tidak ada lagi perburuan satwa dilindungi baik itu gajah, harimau dan lainnya di masa mendatang. Sebab, satwa dilindungi tersebut selain penyeimbang ekosistem juga harus diwariskan kepada generasi masa depan Aceh.
"Masyarakat harus bersyukur bahwa Aceh, khususnya Aceh Timur, masih memiliki empat satwa kunci yaitu gajah sumatra, harimau sumatra, orang utan dan badak sumatra. Keberadaan mereka harus terus dijaga," kata Nurul Ikhsan.
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2021