Jakarta (Antara) - Sejarawan Institut Sejarah Sosial Indonesia Hilmar Farid mengecam tindakan sekelompok orang yang membubarkan acara bedah buku berjudul "Tan Malaka, Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia" Jilid IV, karya Harry A. Poeze di Surabaya pada Jumat (7/2).
"Itu (pembubaran,red,) tindakan aneh dan tidak ada relevansinya karena diskusi itu mengenalkan tokoh sejarah lalu dihambat dengan alasan yang sama digunakan orde baru," kata Hilmar Farid di Jakarta, Sabtu.
Hilmar Farid atau Fay mengatakan tindakan pembubaran itu mencerminkan "hantu" Orde Baru masih berkeliaran mengancam kebebasan berekspresi masyarakat Indonesia.
Menurut dia, tindakan itu membawa masyarakat Indonesia mundur dalam perjalanan bangsa yang saat ini sudah masuk dalam era demokrasi.
"Kebebasan sudah dimiliki masyarakat dan itu identik dengan kedewasaan bangsa menghadapi perselisihan dan perbedaan pendapat yang bisa diselesaikan dalam ruang diskusi," katanya.
Fay menjelaskan tindakan pembubaran dan pelarangan diskusi mengenai Tan Malaka sangat tidak relevan karena yang bersangkutan adalah tokoh bangsa dan pahlawan nasional.
Dia melihat sosok Tan Malaka sebagai tokoh yang ikut mendirikan Republik Indonesia dan diskusi itu ingin melihat kembali sejarah yang selama ini didistorsi oleh rezim Orba.
"Ada keinginan untuk melihat kembali sejarah namun dihalang-halangi. Berbagai capaian demokrasi mau dianulir dengan sikap-sikap seperti itu," ujarnya.
Dia menilai apabila alasan pembubaran itu disebabkan kekhawatiran penyebaran ideologi komunisme-marxisme maka hal tersebut tidak masuk akal.
Menurut dia, ideologi tersebut sudah dapat dipelajari melalui media internet, bukan hanya terbatas di dalam acara diskusi.
"Marxisme saat ini sudah bisa dibaca di internet dan tidak perlu dari diskusi (untuk mempelajarinya). Apabila masalahnya terjadi kekhawatiran itu (penyebaran ideologi marxisme-komunisme) lalu bagaimana mereka membatasi informasi," katanya.
Menurut dia, perkembangan pemikiran pada abad ke-21 sudah semakin maju sehingga tindakan pembubaran itu hanya ingin menarik sejarah ke era perang dingin.
Acara diskusi dan bedah buku "Tan Malaka, Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia" Jilid IV dijadwalkan berlangsung di Perpustakaan C2O, Surabaya pada Jumat (7/2) malam dengan mendatangkan penulis buku itu yang berasal dari Belanda, Harry A. Poeze.
Namun acara itu dibatalkan karena pihak kepolisian tidak memberikan izin karena alasan keamanan. Polisi khawatir ada pembubaran paksa oleh kelompok tertentu. (Antara)
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2014
"Itu (pembubaran,red,) tindakan aneh dan tidak ada relevansinya karena diskusi itu mengenalkan tokoh sejarah lalu dihambat dengan alasan yang sama digunakan orde baru," kata Hilmar Farid di Jakarta, Sabtu.
Hilmar Farid atau Fay mengatakan tindakan pembubaran itu mencerminkan "hantu" Orde Baru masih berkeliaran mengancam kebebasan berekspresi masyarakat Indonesia.
Menurut dia, tindakan itu membawa masyarakat Indonesia mundur dalam perjalanan bangsa yang saat ini sudah masuk dalam era demokrasi.
"Kebebasan sudah dimiliki masyarakat dan itu identik dengan kedewasaan bangsa menghadapi perselisihan dan perbedaan pendapat yang bisa diselesaikan dalam ruang diskusi," katanya.
Fay menjelaskan tindakan pembubaran dan pelarangan diskusi mengenai Tan Malaka sangat tidak relevan karena yang bersangkutan adalah tokoh bangsa dan pahlawan nasional.
Dia melihat sosok Tan Malaka sebagai tokoh yang ikut mendirikan Republik Indonesia dan diskusi itu ingin melihat kembali sejarah yang selama ini didistorsi oleh rezim Orba.
"Ada keinginan untuk melihat kembali sejarah namun dihalang-halangi. Berbagai capaian demokrasi mau dianulir dengan sikap-sikap seperti itu," ujarnya.
Dia menilai apabila alasan pembubaran itu disebabkan kekhawatiran penyebaran ideologi komunisme-marxisme maka hal tersebut tidak masuk akal.
Menurut dia, ideologi tersebut sudah dapat dipelajari melalui media internet, bukan hanya terbatas di dalam acara diskusi.
"Marxisme saat ini sudah bisa dibaca di internet dan tidak perlu dari diskusi (untuk mempelajarinya). Apabila masalahnya terjadi kekhawatiran itu (penyebaran ideologi marxisme-komunisme) lalu bagaimana mereka membatasi informasi," katanya.
Menurut dia, perkembangan pemikiran pada abad ke-21 sudah semakin maju sehingga tindakan pembubaran itu hanya ingin menarik sejarah ke era perang dingin.
Acara diskusi dan bedah buku "Tan Malaka, Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia" Jilid IV dijadwalkan berlangsung di Perpustakaan C2O, Surabaya pada Jumat (7/2) malam dengan mendatangkan penulis buku itu yang berasal dari Belanda, Harry A. Poeze.
Namun acara itu dibatalkan karena pihak kepolisian tidak memberikan izin karena alasan keamanan. Polisi khawatir ada pembubaran paksa oleh kelompok tertentu. (Antara)
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2014