Bengkulu,  (Antara) - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Persiapan Bengkulu menggelar diskusi bertemakan "Masyarakat Adat dalam Konstitusi dan Media".

Ketua AJI Persiapan Bengkulu Dedek Hendry di Kota Bengkulu, Jumat menjelaskan ada bias pemahaman atas masyarakat adat, sehingga mengerucut pada belum adanya pengakuan secara penuh atas masyarakat adat Indonesia.

Beragam istilah dan pemahaman tentang masyarakat adat, lanjut dia, pun bermunculan. Termasuk dalam peraturan perundang-undangan, terbitlah istilah yang sesungguhnya sama atau yang hampir sama tentang masyarakat adat.

Misalnya, lanjut dia, tentang masyarakat hukum adat, kesatuan masyarakat hukum adat, masyarakat tradisional, komunitas adat terpencil, masyarakat adat yang terpencil, sampai pada istilah desa atau nama lainnya.

Alhasil, banyak kalangan baik itu masyarakat awam, jurnalis, bahkan akademisi kerap rancu dalam mendefinisikan istilah tersebut sehingga arah konsepsi pemahaman menjadi bias.

"Ada pula yang beranggapan masyarakat adat hanya berupa sekumpulan tata laku dengan simbol tarian, musik, alat budaya dan lainnya," kata dia.

Kerancuan konsepsi itu kerap menjadikan masyarakat adat terpinggirkan ketika mereka terbentur pada beberapa aturan konstitusi nasional yang relatif belum berpihak semisal dengan UU perkebunan, pertambangan, kehutanan dan lainnya.

"Masyarakat adat kerap menjadi tak dihitung dalam kalkulasi pembangunan, tak jarang mereka dianggap sebagai perambah, kerumunan dan komunitas liar melanggar hukum nasional," ujar dia.

Ia menjelaskan, di Bengkulu belum lama ini polemik tersebut meletup saat masyarakat adat Suku Semende Banding Agung Kabupaten Kaur, dianggap menempati Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) mereka ditangkap, diusir bahkan dipenjara.

Dari sisi pemerintah mereka dianggap perambah, namun di sisi lain mereka justeru lebih dahulu menempati kawasan tersebut sebelum TNBBS dikukuhkan oleh Negara.

Kesimpangsiuran cara pandang tersebut, lanjut dia, perlu dibenahi. Apalagi saat ini pemerintah kembali menerbitkan UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, yang sekali lagi makin menegaskan ruang bebas dan eksistensi bagi masyarakat adat di Indonesia.

"Lantas, seberapa jauh pula penyelenggara negara, masyarakat adat itu sendiri termasuk jurnalis memahami konstitusi tersebut," kata dia.

Sebab, lanjutnya, tak jarang dari sisi jurnalis dan media kesalahan memberikan julukan bagi masyarakat adat sebagai "perambah" juga kerap menjadi kritikan tersendiri dari beberapa lembaga penggiat masyarakat adat.

"Ini terjadi akibat beda konsep dan pemahaman jurnalis di lapangan, sehingga perlunya AJI menggelar diskusi bertema tersebut," katanya.

Sekretaris AJI Persiapan Bengkulu Komi Kendy S menambahkan tujuan kegiatan tersebut untuk menemukan kesamaan cara pandang tentang apa itu masyarakat adat, memahami dan menemukan eksistensi masyarakat adat yang diakui negara, serta membahas dan sosialisasi UU Desa.

"Kegiatan kita pada Sabtu besok, diikuti oleh anggota AJI Persiapan Bengkulu, jurnalis, aktivis NGO, mahasiswa, anggota dewan, perwakilan pemprov dan pemkot, serta jika memungkinkan Masyarakat Adat Semende Banding Agung," katanya.

***1***

Pewarta:

Editor : Triono Subagyo


COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2014