Bengkulu,  (Antara) - Gubernur Bengkulu Junaidi Hamsyah masih berharap dapat maju sebagai petahana (incumbent) pada pemilihan gubernur pada Desember 2015, meski sudah ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi RSUD M Yunus, Bengkulu.

"Klien kami tetap berharap bisa maju pilkada karena sampai saat ini belum ada partai yang menyatakan menolak Junaidi Hamsyah," kata pengacara Junaidi Hamsyah, Muspani di Bengkulu.

Ia mengatakan ada tiga partai politik yang sebelumnya telah melakukan uji kepatutan dan kelayakan terhadap Junaidi yakni Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Amanat Nasional dan Partai Demokrat.

Menurut Muspani, keputusan untuk mengusung Junaidi sebagai calon gubernur berada di tangan pengurus partai politik. Hingga saat ini kata dia belum ada partai yang memutuskan akan mendukung atau tidak mendukung Junaidi.

Sementara Ketua DPD PDIP Provinsi Bengkulu, Elva Hartati mengatakan hingga saat ini belum ada keputusan pengurus pusat tentang calon gubernur yang diusung partai itu.

"Biasanya satu hari sebelum pendaftaran ke KPU sudah ada keputusan dari pengurus pusat," katanya.

Pendaftaran calon kepala daerah dari partai politik ke KPU Provinsi Bengkulu akan digelar pada 27 Juli 2015.

Sebelumnya Mabes Polri menetapkan Gubernur Bengkulu Junaidi Hamsyah sebagai tersangka dugaan korupsi pada Selasa (14/7).

Junaidi diduga telah menyalahgunakan wewenang selaku gubernur dengan mengeluarkan SK Gubernur Nomor Z.17.XXXVII Tahun 2011 Tentang Tim Pembina Manajemen RSUD M. Yunus.

Penerbitan SK tersebut menurut Polri bertentangan dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 61 Tahun 2007 tentang Badan Layanan Umum Daerah (BLUD).

Polri menduga negara telah dirugikan sebesar Rp359 juta akibat penerbitan SK tersebut.

Atas perbuatannya, Gubernur Bengkulu disangkakan telah melanggar Pasal 2 dan Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam Pasal 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Namun, menurut Muspani, kasus ini merupakan sengketa kewenangan sehingga seharusnya diselesaikan secara perdata, bukan hukum pidana.

"Berdasarkan Undang-Undang nomor 30 tahun 2014 menyebutkan Polri tidak berwenang menilai sebuah keputusan, dalam hal ini SK Gubernur, karena itu seharusnya diselesaikan lewat perdata, karena ini sengketa kewenangan," pungkasnya.*

Pewarta: Helti Marini Sipayung

Editor : Triono Subagyo


COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2015