Pesan larangan judi tidak hanya dilontarkan oleh Raja Dangdut Rhoma Irama melalui lirik lagunya yang populer berjudul "Judi" pada tahun 1987. Lagu ini menyampaikan pesan tentang praktik perjudian yang membawa kehancuran hidup manusia.

Jauh sebelum lagu Raja Dangdut itu populer di masyarakat Indonesia, sekitar 6,5 abad lalu, pesan larangan judi sudah disampaikan seorang raja dari Kerajaan Galuh, yakni Prabu Niskala Wastu Kancana, bertakhta 1371 sampai 1475, melalui prasastinya yang memperingatkan kepada rakyatnya untuk tidak berjudi.

Peringatan raja itu ditulis dalam batu andesit dengan tulisan pahat naskah kuno Sunda yakni "Ini petinggal nu atisti ayama nu ngeusi dayeuh ieu ulah botoh bisi kokoro" yang diartikan oleh Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Jawa Barat "Ini peninggalan dari yang astiti dari rasa yang ada yang menghuni kota ini, jangan berjudi bisa sengsara".

Batu prasasti tercatat sebagai Prasasti VI yang khusus menyampaikan larangan judi itu ditemukan dan dievakuasi pada 3 Oktober 1995 di kawasan Situs Astana Gede, Kecamatan Kawali, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat, dan sampai saat ini masih berada di kawasan itu dan terjaga dengan baik.

Bagi siapa saja yang datang ke sana bisa melihat langsung prasasti batu tulisan pahat naskah kuno Sunda maupun bisa melihat terjemahan dari tulisan tersebut melalui papan yang dipasang oleh pengelola Situs Astana Gede.

Keberadaan batu prasasti yang terakhir ditemukan di kawasan situs itu menjadi daya tarik yang unik karena isi pesannya berbeda dengan prasasti lainnya yang menegaskan larangan berjudi bagi rakyat atau mereka yang tinggal di tataran Kerajaan Galuh.

Larangan raja itu tentunya tanpa pengecualian, ada penekanan khusus dari raja kepada rakyatnya, dan makna di balik larangan judi di masa itu di mana raja tidak mau rakyatnya sengsara karena judi.

Peringatan raja yang disampaikan melalui prasasti itu tentunya tidak hanya berlaku pada kondisi masyarakat di masa itu. Pesan moral raja itu akan terus abadi dan relevan untuk diterapkan di tengah kondisi masyarakat saat ini yang dihadapkan dengan maraknya judi online.

Seperti dikisahkan pegiat sejarah Ciamis juga pemandu wisata sejarah Astana Gede Kawali, Seno Agus Rulianto, bahwa Prabu Niskala Wastu Kancana merupakan raja keempat dari tujuh raja yang berhasil membawa kemakmuran rakyat di kerajaan ini setelah kondisinya tidak stabil akibat ayahnya, Prabu Maharaja Linggabuana, gugur dalam Perang Bubat tahun 1357.

Saat Prabu Niskala Wastu Kancana diangkat menjadi Raja Galuh pada 1371 itu telah membawa Kerajaan Galuh dalam masa zaman keemasan, kemakmuran, dan ketenteraman karena berhasil menata sistem kerajaannya yang tertulis dalam Prasasti I yang juga tersimpan di Astana Gede Kawali.

Tidak hanya itu, Prasasti II menyampaikan tentang karakteristik orang Sunda, kemudian Prasasti III dan Prasasti IV membahas tentang peristiwa Perang Bubat, dan membahas kepahlawanan, Prasasti V menyampaikan tentang perhitungan kalender maupun simbol.

Selanjutnya yang terakhir ditemukan Prasasti VI yang beda dari pada prasasti sebelumnya. Prasasti yang menyampaikan larangan perjudian kepada rakyatnya itu tidak ada pada prasasti di tempat lain, hanya ada dalam peninggalan Raja Galuh di Astana Gede Kawali.

"Yang ada di Astana Gede ada enam prasasti, semua prasasti itu dibuat Prabu Wastu Kancana sebagai bukti keberhasilannya, dan banyak prasasti yang ditemukan, dan prasasti ini (keenam) justru berbeda, membahas tentang perjudian," kata Seno.

Prabu Niskali Wastu Kancana tentuya tidak asal menuliskan pesan tentang larangan judi bagi rakyatnya itu. Pesan itu tidak sembarangan ditulis, pasti berdasarkan hasil pemikiran dengan ilmu pengetahuan dan kondisi masyarakat di zaman itu.

Persoalan judi pada waktu itu menjadi perhatian raja agar rakyatnya selamat dan tidak sengsara akibat judi sehingga raja pun menyiapkan hukuman bagi yang melanggarnya.


Kerajaan dipertaruhkan

Seno mengisahkan, hasil kajian kenapa Prabu Niskala Wastu Kancana melarang judi kepada rakyatnya karena Kerajaan Galuh memiliki peristiwa merugikan yang terjadi pada leluhurnya, yakni judi sabung ayam pada peristiwa Ciung Wanara.


Kisah Ciung Wanara tersebut sampai saat ini masih diabadikan termasuk tempat sabung ayam masih ada di Situs Ciung Wanara Karangkamulyan, Ciamis, yang diyakini sebagai tempat peninggalan Kerajaan Galuh pada tahun 612, sebelum pindah ke Kawali.

Peristiwa itu mengisahkan tentang bagaimana judi membawa kehancuran. Pada waktu itu kerajaan dipertaruhkan dalam praktik judi sabung ayam. Ayam milik raja diadukan dengan ayam milik Ciung Wanara, yang akhirnya ayam milik raja kalah.

"Saking gelapnya judi, kerajaan pun dipertaruhkan. Itu yang terjadi dalam peristiwa Ciung Wanara," kata Seno.

Adanya peristiwa itu, maka Prabu Niskala Wastu Kancana menjadikan contoh agar peristiwa perjudian itu tidak terjadi lagi, caranya dengan membuat aturan larangan judi kepada rakyatnya agar tidak sengsara.

Saking pentingnya larangan judi itu maka raja menuliskannya pada batu yang diharapkan menjadi perhatian untuk rakyat Kerajaan Galuh pada waktu itu, maupun anak cucu dan keturunannya di masa yang akan datang, termasuk menjadi perhatian bagi masyarakat di masa kini.

Ketika raja menuliskan pesan sesuatu pada batu berarti ada pesan yang ingin diabadikan untuk diketahui oleh banyak orang dan dipatuhi pesan raja tersebut. Pesan itu juga masih relevan untuk mengingatkan kepada kehidupan masyarakat masa kini, khususnya di Jawa Barat tentang gempuran judi online.

"Tulisan dalam prasasti itu sangat penting, prasasti itu berkaitan dengan aturan, memberitahukan kepada anak cucunya sampai keturunannya untuk tidak berjudi, seperti terjadi di zaman sekarang agar tidak terjerumus judi online," katanya.


Sebarkan larangan judi

Pemerintah Kabupaten Ciamis melalui Dinas Pariwisata Ciamis menilai pesan prasasti Prabu Niskala Wastu Kancana yang beda daripada lainnya tentang larangan berjudi bagi rakyat saat itu, merupakan pesan yang harus disebarluaskan ke banyak orang, tidak hanya mereka yang berkunjung ke Astana Gede di Kawali.


Kepala Bidang Destinasi Dinas Pariwisata Ciamis Dian Udeng menyatakan pihaknya
menerjemahkan tulisan prasasti itu, bagaimana masyarakat itu hidup, bisa sejahtera, aman, memiliki ekonomi yang cukup dengan bekerja sungguh-sungguh, namun tidak dengan berjudi. Pesan ini ada di prasasti di Kawali.

Menurut Dian, terlalu sempit apabila pesan larangan judi hanya bisa diketahui oleh pengunjung Situs Astana Gede. Pesan moral itu harus bisa diketahui oleh masyarakat luas karena isinya relevan diimplementasikan di zaman sekarang dengan maraknya judi online.

Pesan larangan judi dari Raja Galuh itu oleh Dinas Pariwisata dipublikasikan melalui berbagai media massa, dan juga media sosial yang dikelola Pemerintah, maupun menjadi cenderamata berupa baju dengan gambar sablon batu prasasti bertuliskan pesan dari Raja Galuh itu dengan harapan banyak yang membacanya dan tidak berjudi di masa sekarang.

"Kita sekarang terus memberikan informasi-informasi itu, apa yang dituliskan pendahulu kita di tahun 1300-an itu sudah melarang yang namanya judi, baik itu judi pada zaman itu, dan di zaman sekarang dengan judi online, tetap semuanya sama-sama dilarang," kata Dian.

Prasasti Prabu Niskala Wastu Kancana itu menjadi pesan yang abadi dan relevan di setiap zamannya untuk mengingatkan seluruh umat manusia agar tidak berjudi.

Pesan dalam prasasti itu juga menegaskan bahwa perjudian tidak dibenarkan dalam konteks budaya karena bakal mengantarkan pemainnya pada kesengsaraan hidup. 

Editor: Achmad Zaenal M

Pewarta: Feri Purnama

Editor : Musriadi


COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2024