Pria berusia 60 tahun itu tampak tegar. Dengan langkah pasti ia memasuki ruang sidang Pengadilan Negeri Tais, Kabupaten Seluma, Provinsi Bengkulu.

Namun, rasa gugup dan khawatir tak bisa disembunyikannya saat duduk di kursi pesakitan. Hari itu, 20 September 2016, ia menghadapi sidang perdana kasus pencurian sawit yang dilaporkan pihak perusahaan perkebunan sawit swasta.

Nurdin, begitulah nama pria yang disidangkan dengan dakwaan mencuri 24 tandan buah sawit hingga mengakibatkan perusahaan perkebunan PT Agri Andalas rugi sebesar Rp740 ribu.

Kronologi kejahatan Nurdin dibacakan Jaksa Penuntut Umum (JPU), Deti Susanti di hadapan majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Tais.

Dalam surat dakwaan dengan nomor perkara PDM-41 itu menjelaskan bahwa pada Minggu 7 Agustus 2016, Nurdin bersama anaknya, Jopa yang berusia 14 tahun, mengendarai sepeda motor ke kebunnya.

Disebutkan, kebun Nurdin bersebelahan dengan lokasi perkebunan sawit PT Agri Andalas, tepatnya Blok P9 Afdeling Seluma 03. Saat tiba di kebun, Nurdin dituduh memasuki lahan perkebunan dan mengambil buah sawit sebanyak 24 tandan.

Setelah mengambil sawit dari kebun perusahaan, Nurdin memindahkan buah sawit tersebut ke kebunnya. Saat buah sawit itu terkumpul dan hendak dibawa untuk dijual, saat itulah perbuatan terdakwa diketahui petugas keamanan perkebunan.

Atas perbuatannya, ayah empat anak itu didakwa melanggar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pasal 362 dengan ancaman lima tahun penjara atau denda Rp900 ribu.

Setelah dakwaannya dibacakan, majelis hakim yang dipimpin Yudistira Adi Nugraha meminta tanggapan Nurdin.

"Saya tidak mencuri sawit seperti yang dituduhkan. Justru saat itu saya sedang memanen sawit di kebun saya sendiri," kata Nurdin.

Menurut Nurdin, ia dan Jopa putra bungsunya memanen buah sawit di kebun mereka yang berjarak lebih 500 meter dari kebun perusahaan.

Saat memanen sawit di kebunnya sendiri, tiba-tiba enam orang karyawan perusahaan bersama seorang polisi mendatangi Nurdin di kebunnya dan menuduh dia telah memanen sawit dari perkebunan.

Seorang saksi mata, Syafrin, pengolah kebun di dekat kebun sawit Nurdin mengatakan saat "penggerebekan" oleh karyawan perusahaan, ia menyaksikan Nurdin dan anaknya Jopa tengah berada di kebunnya sendiri.

"Saya mendengar bunyi letupan (tembakan, red) dua kali dari arah kebun sawit Nurdin, ketika saya mendatangi lokasi ada tujuh orang yang mendatangi Nurdin dan menuduhnya mencuri buah sawit," ucap Syafrin.

Dari lahan kurang lebih satu hektare miliknya itu, Nurdin memanen 200 kilogram sawit dan membawa pulang untuk dijual.

Tiga hari setelah peristiwa itu, ia didatangi anggota kepolisian dengan tuduhan pencurian dan ditahan di Lembaga Pemasyarakatan Bentiring, Kota Bengkulu.

Kasus Nurdin menarik perhatian dari sejumlah pengacara yang tergerak memberikan pendampingan hukum secara sukarela. Enam orang pengacara dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Respublica yakni Fitriansyah, Firnandes Maurisya, Fahmi Arisandi, Arie Elcaputra, Irvan Yudha Oktara dan Rodiansyah Tristaputra mendampingi Nurdin.



Konflik Agraria

Tuduhan pencurian terhadap petani yang memiliki lahan di sekitar lokasi perkebunan PT Agri Andalas ternyata kerap terjadi. Dalam catatan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Bengkulu, kasus Nurdin merupakan yang ke-15.

Manajer Advokasi Walhi Bengkulu, Sony Taurus menyebutkan para petani itu telah dikriminalisasi tanpa mengurai akar masalah yaitu konflik agraria.

"Kami minta polisi menghentikan penangkapan para petani yang memanen sawit mereka sendiri tapi dituduh mencuri buah sawit perusahaan," kata Sony.

Termasuk penangkapan Nurdin yang memanen sawit di atas lahannya sendiri dituduh pencuri, kemudian ditangkap polisi atas laporan pihak perusahaan.

Polisi, kata Sony, seharusnya mengungkap akar masalahnya, yakni sengketa lahan antara warga dan perusahaan perkebunan di wilayah itu.

Ia mengatakan ada lebih 200 warga Desa Rawa Indah dan Desa Penago Baru yang memiliki sertifikat lahan transmigrasi yang arealnya diklaim perusahaan masuk dalam wilayah hak guna usaha (HGU).

Walhi, kata Sony, berupaya mengurai persoalan yang dihadapi petani di wilayah itu dengan meminta dokumen HGU sejumlah perusahaan perkebunan ke Badan Pertanahan Nasional (BPN) Provinsi Bengkulu.

Untuk mendapatkan dokumen HGU tersebut, Walhi bersama masyarakat harus melalui rangkaian panjang mulai dari sengketa informasi di Komisi Informasi Publik (KIP) hingga ke Mahkamah Agung yang memenangkan gugatan warga.

"Ada tiga perkebunan swasta besar yang berkonflik dengan masyarakat yang saat ini kami tangani, termasuk petani Rawa Indah dan Penago Baru yang bersengketa dengan PT Agri Andalas," ucapnya.

Sengketa lahan antara petani Desa Rawa Indah dan Penago Baru dengan PT Agri Andalas dimulai pada 2011 saat pekerja perusahaan itu menanami sawit di lahan warga.

Menurut pihak perusahaan, lahan yang sudah berisi sawit petani itu masuk dalam areal HGU perkebunan itu.

"Pekerja perkebunan menanami sawit di bawah batang sawit milik petani, jadi saat ini ada dua versi tumbuhan dalam satu lahan," ujar Sony.

Meski di atas lahan itu sudah ditanami sawit perusahaan, para petani pemilik lahan tersebut tetap merawat dan memanen sawit mereka yang berusia lebih 10 tahun.

Saat petani memanen hasil sawit di lahannya sendiri, pihak perusahaan melaporkan ke polisi dengan tuduhan pencurian sawit, lalu polisi langsung menangkap petani tersebut.

"Polisi tidak pernah melihat persoalan secara jernih bahwa di lokasi itu ada warga yang sudah menanam sawit dan mereka memanen sawitnya sendiri," ujarnya.


Reforma Agraria

Sony memperkirakan, konflik lahan di Bengkulu akan terus merebak bila pemerintah tidak segera merealiasikan reforma agraria yakni reditribusi tanah kepada petani.

Ia menjelaskan kondisi Bengkulu yang sudah dikuasai seluas 224.525 hektare oleh perkebunan besar dengan komoditas utama yakni karet dan kelapa sawit. Sedangkan penguasaan lahan tambang mencapai 299.767 hektare.

Sehingga lahan untuk kepentingan umum seperti perkantoran, jalan, permukiman dan pertanian masyarakat hanya seluas 530.254 hektare.

Bila dibandingkan dengan jumlah penduduk Provinsi Bengkulu yang saat ini mencapai angka 2 juta jiwa, maka setiap orang hanya dapat mengelola 0,2 hektare.

Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Iwan Nurdin menyebutkan kasus Nurdin merupakan potret buram penguasaan lahan yang terjadi di Bengkulu.

KPA yang turut memberikan dukungan moril kepada Nurdin menyebutkan akar masalah yang berujung pada tuduhan pidana itu adalah ketidakadilan agraria.

"Solusinya adalah pemerintah segera mewujudkan reforma agraria. Hentikan perampasan tanah rakyat dan kembalikan ruang kelola petani," kata dia.

Reforma agrarian, kata Nurdin, berarti penataan ulang atau restrukturisasi pemilikan, penguasaan, dan penggunaan sumber-sumber daya agraria, terutama tanah untuk kepentingan petani, buruh tani, dan rakyat kecil atau golongan ekonomi lemah pada umumnya.

Bertepatan memperingati Hari Tani Nasional pada 24 September 2016 sekaligus peringatan lahirnya UU Pokok Agraria 1960, pihaknya kembali mendesak pemerintah segera mewujudkan pembaruan agraria yakni "landreform" yaitu redistribusi kepemilikan dan penguasaan tanah.

Meskipun demikian landreform tidak akan berhasil jika tidak didukung oleh program-program penunjang seperti pengairan, perkreditan, penyuluhan, pendidikan, pemasaran, dan sebagainya.

"Jadi pembaruan agraria adalah `landreform` plus," ucapnya.

Sementara Kepala Bappenas, Sofyan Djalil mengatakan hingga tahun 2019 nanti, pihaknya menargetkan bisa membereskan 9 juta hektare lahan untuk kepentingan masyarakat kurang mampu.

"Totalnya 9 juta hektare, yang terdiri dari 0,6 juta hektare tanah transmigrasi yang belum bersertifikat, 3,9 juta hektare tanah legalisasi aset masyarakat, 0,4 juta hektare tanah terlantar dan 4,1 hektare tanah pelepasan kawasan hutan," kata Sofyan, Sabtu (25/9).

Reforma agraria, kata dia, juga menjadi bagian dari target percepatan legalisasi 23,21 juta bidang. Alasan percepatan tersebut ialah sering munculnya ketidakpastian hukum yang memicu sengketa dan konflik.

Selain itu, berdasar konsep gini rasio hanya sekitar 1 persen penduduk yang menguasai 59 persen sumber daya agraria, tanah dan ruang.

"Terdapat ketimpangan dalam penguasaan dan kepemilikan tanah," katanya. ***2**

Pewarta: Helti Marini Sipayung

Editor : Musriadi


COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2016