Bengkulu (Antaranews Bengkulu) - Organisasi lingkungan Kanopi Bengkulu menyatakan hak-hak pekerja perempuan terutama upah layak dan perlindungan kesehatan masih diabaikan oleh sejumlah perusahaan di Provinsi Bengkulu.
"Kami menemukan hak-hak perempuan untuk mendapat upah layak dan perlindungan kesehatan kerja masih diabaikan perusahaan," kata Staf Kajian dan Kampanye Kanopi Bengkulu Feni Oktavera, di Bengkulu, Kamis.
Ia mencontohkan pekerja perempuan pada area penumpukan batu bara di kawasan Pelabuhan Pulau Baai, Kota Bengkulu. Upah mereka masih di bawah angka yang ditetapkan pemerintah daerah melalui Upah Minimum Provinsi (UMP).
Diketahui, angka UMP Provinsi Bengkulu ditetapkan sebesar Rp1,8 juta per bulan. Sedangkan para pekerja perempuan tersebut masih digaji Rp50 ribu per hari.
Selain upah rendah, para perempuan yang bekerja memilah batu bara dengan batu sungai itu, juga tidak mendapatkan alat pelindung diri yang memadai.
"Padahal pekerjaan mereka berisiko tinggi. Batu bara bila dihirup dalam jangka lama akan menyebabkan paru-paru menghitam," ujar Feni.
Dukungan bagi para perempuan tersebut, Kanopi Bengkulu membentuk Aliansi Tolak Paru Hitam dan menggalang dana publik guna pengadaan masker standar bagi pekerja perempuan di sejumlah stockpile batu bara.
Tidak hanya di sektor pertambangan, pengabaian hak-hak pekerja perempuan juga terjadi di sektor perkebunan kelapa sawit.
Ia mencontohkan pada salah satu perusahaan perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Seluma, pekerja pria diwajibkan membawa istrinya bekerja memanen sawit tapi tidak diupah.
Karena itu, memperingati Hari Perempuan Internasional 2018, Kanopi mendesak pemerintah daerah memenuhi hak-hak para pekerja tersebut dengan mendesak pihak perusahaan menjalankan kewajibannya.
Pemerintah, kata Feni, juga wajib menyediakan lapangan pekerjaan yang lebih layak bagi perempuan kerap menjadi tulang punggung perekonomian keluarga.
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2018
"Kami menemukan hak-hak perempuan untuk mendapat upah layak dan perlindungan kesehatan kerja masih diabaikan perusahaan," kata Staf Kajian dan Kampanye Kanopi Bengkulu Feni Oktavera, di Bengkulu, Kamis.
Ia mencontohkan pekerja perempuan pada area penumpukan batu bara di kawasan Pelabuhan Pulau Baai, Kota Bengkulu. Upah mereka masih di bawah angka yang ditetapkan pemerintah daerah melalui Upah Minimum Provinsi (UMP).
Diketahui, angka UMP Provinsi Bengkulu ditetapkan sebesar Rp1,8 juta per bulan. Sedangkan para pekerja perempuan tersebut masih digaji Rp50 ribu per hari.
Selain upah rendah, para perempuan yang bekerja memilah batu bara dengan batu sungai itu, juga tidak mendapatkan alat pelindung diri yang memadai.
"Padahal pekerjaan mereka berisiko tinggi. Batu bara bila dihirup dalam jangka lama akan menyebabkan paru-paru menghitam," ujar Feni.
Dukungan bagi para perempuan tersebut, Kanopi Bengkulu membentuk Aliansi Tolak Paru Hitam dan menggalang dana publik guna pengadaan masker standar bagi pekerja perempuan di sejumlah stockpile batu bara.
Tidak hanya di sektor pertambangan, pengabaian hak-hak pekerja perempuan juga terjadi di sektor perkebunan kelapa sawit.
Ia mencontohkan pada salah satu perusahaan perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Seluma, pekerja pria diwajibkan membawa istrinya bekerja memanen sawit tapi tidak diupah.
Karena itu, memperingati Hari Perempuan Internasional 2018, Kanopi mendesak pemerintah daerah memenuhi hak-hak para pekerja tersebut dengan mendesak pihak perusahaan menjalankan kewajibannya.
Pemerintah, kata Feni, juga wajib menyediakan lapangan pekerjaan yang lebih layak bagi perempuan kerap menjadi tulang punggung perekonomian keluarga.
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2018