"KBS menyatakan bahwa negara harus membuka informasi secara lengkap atas kondisi hutan dan segera melakukan penindakan terhadap kejahatan satwa gajah," kata Ketua Kanopi Indonesia Ali Akbar di Bengkulu, Sabtu.
Baca juga: Konsorsium BS: Satu ekor Gajah Sumatra terbunuh di Mukomuko
Baca juga: Konsorsium BS: Satu ekor Gajah Sumatra terbunuh di Mukomuko
Dia juga menyampaikan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) perlu melakukan tindakan untuk memastikan tidak terjadi lagi kematian gajah non-alami, apalagi kematian gajah yang sekarang terindikasi dibunuh.
Seekor gajah sumatra (Elephas maximus sumatranus) liar berjenis kelamin betina (induk dewasa berumur 20 tahun) ditemukan mati pada 31 Desember 2023 sekira pukul 11.47 WIB, dengan posisi tertelungkup.
Gajah ini ditemukan tak jauh dari jalan loging dalam kawasan Hutan Produksi Terbatas Air Ipuh 1 register 65, sekitar 3,5 kilometer dari batas Taman Nasional Kerinci Seblat, di Kabupaten Mukomuko, Provinsi Bengkulu.
"Pada tengkorak bangkai gajah terdapat lubang, diduga akibat tembakan peluru senjata api. Lubang sebesar kurang lebih 1,5 cm itu tembus dari bagian bawah rahang sampai ke os frontalis (tengkorak bagian depan atau dahi)," ucapnya.
Ali Akbar menyatakan kondisi tutupan lahan di Bentang Alam Seblat saat ini menunjukkan ketidakseriusan dalam mengamankan kawasan hutan. Hal itu dibuktikan dengan tingginya aktivitas perambahan dan penguasaan hutan di Bentang Alam Seblat.
Baca juga: BKSDA Bengkulu lanjutkan perjalanan untuk autopsi bangkai gajah
Baca juga: BKSDA Bengkulu lanjutkan perjalanan untuk autopsi bangkai gajah
Di Bentang Alam Seblat, kata dia, lahan tak berhutan itu didominasi oleh perkebunan sawit seluas 15 ribu hektare (48,1 persen), kemudian semak belukar 7,9 ribu hektar (25,6 persen), perkebunan perusahaan 5,4 ribu hektar (17,5 persen), dan lahan terbuka dua ribu hektare (6,6 persen).
Dia menjelaskan dilihat dari data analisis periode 2020-2023, tutupan hutan Bentang Alam Seblat telah hilang seluas 8,8 ribu hektare. Tutupan lahan sekunder menjadi yang paling besar, seluas 8,8 ribu hektare, dimana 5,6 ribu hektar atau 64,5 persen dirambah menjadi lahan pertanian sawit.
Kondisi tersebut akhirnya membuat "rumah" gajah sumatra Elephas Maximus Sumatranus di Bengkulu semakin hilang. Karena habitat gajah semakin terdesak, hal itu tentu juga menjadi ancaman nyata kepunahan bagi spesies gajah sumatra Elephas Maximus Sumatranus.
Oleh karena itu, butuh upaya dari berbagai pihak untuk memastikan rumah bagi gajah sumatra Elephas Maximus Sumatranus di Bengkulu tetap terjaga dengan baik, dan terhindar dari perambahan, penebangan, serta tidak terjadinya alih fungsi hutan lindung habitat gajah menjadi perkebunan maupun lahan tambang.*