Bengkulu (Antaranews Bengkulu) - Organisasi lingkungan, Kanopi Bengkulu mengupas penyimpangan Analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara Teluk Sepang dalam seminar dan lokakarya yang diikuti para pihak.
"Kami memaparkan penyimpangan Andal yang tidak sesuai dengan fakta lapangan," kata Ketua Kanopi Bengkulu, Ali Akbar di Bengkulu, Rabu.
Dalam seminar yang digelar Kanopi Bengkulu untuk menyusun rencana aksi untuk menggugat izin lingkungan PLTU batu bara berkapasitas 2x100 MW tersebut.
Ketidaksesuaian antara dokumen Andal PLTU batu bara Teluk Sepang dengan fakta di lapangan mulai dari proses pergantian tanam tumbuh milik petani yang tidak sesuai dengan Peraturan Gubernur (Pergub) No 27 tahun 2016 tentang pedoman ganti rugi tanam tumbuh pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum.
Selain itu sebanyak 92 persen masyarakat Teluk Sepang disebutkan setuju dengan proyek PLTU batu bara sedangkan 8 persen nya ragu-ragu.
Padahal, sejak awal sosialisasi proyek pembangunan PLTU telah terjadi penolakan yang dibuktikan dengan adanya 429 tanda tangan penolakan dari masyarakat sekitar. Bahkan saat peletakan batu pertama proyek, warga menggelar aksi blokade jalan.
Selain itu, dalam dokumen AMDAL disebutkan sebanyak 590 warga lokal akan mendapatkan lapangan pekerjaan, faktanya hanya 25 orang warga Teluk Sepang yang bekerja di proyek tersebut. Sedangkan sisanya adalah tenaga kerja asing (TKA) asal China.
Karena itu masyarakat Teluk Sepang mendirikan posko perlawanan dan perjuangan masyarakat atas lingkungan sehat di daerah Teluk Sepang dengan nama Posko Langit Biru.
Pendirian PLTU batu bara lanjut Ali diduga memiliki indikasi pelanggaran hukum karena melanggar Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) kota dan provinsi. Hal ini dikuatkan dosen Hukum Lingkungan Universitas Bengkulu Nur Sulistyowati yang membedah Perda RTRW kota dan provinsi Bengkulu.
Menurut Nur, dalam RTRW Provinsi Bengkulu 2012-2023 pasal 23 ayat (1) D berbunyi jika pembangunan listrik pembangkit baru PLTU batu bara terdapat di Napal Putih, Bengkulu Utara.
Karena itu menurut dia, mengacu pada peraturan yang ada maka proyek PLTU batu bara yang berada di kawasan Teluk Sepang menyalahi tata ruang.
Sementara dalam rekomendasi RTRW yang diterbitkan Bappeda Provinsi Bengkulu yang menjadi dasar penyusunan Amdal PLTU disebutkan bahwa pembangkit listrik yang dibangun untuk memenuhi kebutuhan listrik daerah merupakan pembangkit yang berasal dari energi terbarukan. Padahal pembangkit yang dibangun di PLTU batu bara adalah energi fosil atau energi kotor.
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2019
"Kami memaparkan penyimpangan Andal yang tidak sesuai dengan fakta lapangan," kata Ketua Kanopi Bengkulu, Ali Akbar di Bengkulu, Rabu.
Dalam seminar yang digelar Kanopi Bengkulu untuk menyusun rencana aksi untuk menggugat izin lingkungan PLTU batu bara berkapasitas 2x100 MW tersebut.
Ketidaksesuaian antara dokumen Andal PLTU batu bara Teluk Sepang dengan fakta di lapangan mulai dari proses pergantian tanam tumbuh milik petani yang tidak sesuai dengan Peraturan Gubernur (Pergub) No 27 tahun 2016 tentang pedoman ganti rugi tanam tumbuh pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum.
Selain itu sebanyak 92 persen masyarakat Teluk Sepang disebutkan setuju dengan proyek PLTU batu bara sedangkan 8 persen nya ragu-ragu.
Padahal, sejak awal sosialisasi proyek pembangunan PLTU telah terjadi penolakan yang dibuktikan dengan adanya 429 tanda tangan penolakan dari masyarakat sekitar. Bahkan saat peletakan batu pertama proyek, warga menggelar aksi blokade jalan.
Selain itu, dalam dokumen AMDAL disebutkan sebanyak 590 warga lokal akan mendapatkan lapangan pekerjaan, faktanya hanya 25 orang warga Teluk Sepang yang bekerja di proyek tersebut. Sedangkan sisanya adalah tenaga kerja asing (TKA) asal China.
Karena itu masyarakat Teluk Sepang mendirikan posko perlawanan dan perjuangan masyarakat atas lingkungan sehat di daerah Teluk Sepang dengan nama Posko Langit Biru.
Pendirian PLTU batu bara lanjut Ali diduga memiliki indikasi pelanggaran hukum karena melanggar Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) kota dan provinsi. Hal ini dikuatkan dosen Hukum Lingkungan Universitas Bengkulu Nur Sulistyowati yang membedah Perda RTRW kota dan provinsi Bengkulu.
Menurut Nur, dalam RTRW Provinsi Bengkulu 2012-2023 pasal 23 ayat (1) D berbunyi jika pembangunan listrik pembangkit baru PLTU batu bara terdapat di Napal Putih, Bengkulu Utara.
Karena itu menurut dia, mengacu pada peraturan yang ada maka proyek PLTU batu bara yang berada di kawasan Teluk Sepang menyalahi tata ruang.
Sementara dalam rekomendasi RTRW yang diterbitkan Bappeda Provinsi Bengkulu yang menjadi dasar penyusunan Amdal PLTU disebutkan bahwa pembangkit listrik yang dibangun untuk memenuhi kebutuhan listrik daerah merupakan pembangkit yang berasal dari energi terbarukan. Padahal pembangkit yang dibangun di PLTU batu bara adalah energi fosil atau energi kotor.
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2019