Sejumlah Lembaga swadaya masyarakat (LSM) pemerhati lingkungan yang tergabung dalam Koalisi Antiperusakan Hutan menolak rencana pembukaan dan pembangunan jalan khusus batu bara yang membelah kawasan hutan dataran rendah yang tersisa di Sumatera.
Ketua Koalisi Antiperusakan Hutan Jambi, Musri Nauli di Jambi, Jumat mengatakan, dengan tegas bahwa mereka penolakan keras rencana pembangunan jalan angkut batu bara yang dapat merusak kawasan hutan yang ada di Sumatera dan kawasan itu sangat penting karena selain menjadi wilayah hutan produksi terbatas juga merupakan tempat kehidupan masyarakat adat Batin Sembilan dan Suku Anak dalam (SAD) di Jambi.
Musri Nauli memperkirakan kerugian akibat deforetasi hutan untuk pembangunan jalan angkut tambang batu bara sepanjang 88 kilometer tersebut yang akan menelan dana mencapai Rp1,14 triliun dengan memangkas hutan seluas 5.924 hektare. Hal ini berdasarkan perhitungan terhadap tegakan pohon dan luas areal terdampak.
"Kerugian ini seperempat dari nilai APBD Pemprov Jambi yang mencapai Rp4,5 triliun. Tetapi nilai kerugian ini belum ditambah dengan potensi hilangnya satwa liar yang dilindungi, kerusakan flora dan fauna, serta konflik sosial yang timbul akibat pembangunan jalan tersebut," kata Musri Nauli.
Saat ini hutan tersebut telah dibebankan kepada PT Restorasi Ekosistem (REKI) untuk direstorasi. Namun melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), pemerintah berusaha memuluskan rencana PT Marga Bara Jaya (MBJ) untuk membangun jalan khusus angkut batubara yang melewati hutan dataran rendah tersisa di Sumatera.
"Dibalik keluarnya Permen LHK No. P 27 Tahun 2019 yang muncul dalam kurun waktu yang cukup cepat yakni delapan bulan sejak diterbitkannya Permen LHK No.P.27 Tahun 2018 tentang IPPKH, maka ada kecurigaan adanya praktik gravitasi," kata Musri Nauli.
Kegiatan jalan angkut produksi pertambangan berpotensi meningkatkan pembalakan liar, perambahan hutan, perburuan satwa liar, ancaman terhadap flora dan fauna seperti gajah sumatera, harimau sumatera dan beruang serta hilangnya lahan dan sumber penghidupan masyarakat Batin Sembilan.
"Dengan dibukanya hutan tersebut dampak yang akan terjadi pada masyarakat Batin Sembilan yakni dari segi sosial akan kehilangan tanaman yang di anggap sakral dan sebagai kepercayaan nenek moyang mereka hal tersebut akan menghilangkan jati diri mereka sedangkan dari segi ekonomi akan kehilangan hak dan kehidupan," tegas Nauli lagi.
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2019
Ketua Koalisi Antiperusakan Hutan Jambi, Musri Nauli di Jambi, Jumat mengatakan, dengan tegas bahwa mereka penolakan keras rencana pembangunan jalan angkut batu bara yang dapat merusak kawasan hutan yang ada di Sumatera dan kawasan itu sangat penting karena selain menjadi wilayah hutan produksi terbatas juga merupakan tempat kehidupan masyarakat adat Batin Sembilan dan Suku Anak dalam (SAD) di Jambi.
Musri Nauli memperkirakan kerugian akibat deforetasi hutan untuk pembangunan jalan angkut tambang batu bara sepanjang 88 kilometer tersebut yang akan menelan dana mencapai Rp1,14 triliun dengan memangkas hutan seluas 5.924 hektare. Hal ini berdasarkan perhitungan terhadap tegakan pohon dan luas areal terdampak.
"Kerugian ini seperempat dari nilai APBD Pemprov Jambi yang mencapai Rp4,5 triliun. Tetapi nilai kerugian ini belum ditambah dengan potensi hilangnya satwa liar yang dilindungi, kerusakan flora dan fauna, serta konflik sosial yang timbul akibat pembangunan jalan tersebut," kata Musri Nauli.
Saat ini hutan tersebut telah dibebankan kepada PT Restorasi Ekosistem (REKI) untuk direstorasi. Namun melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), pemerintah berusaha memuluskan rencana PT Marga Bara Jaya (MBJ) untuk membangun jalan khusus angkut batubara yang melewati hutan dataran rendah tersisa di Sumatera.
"Dibalik keluarnya Permen LHK No. P 27 Tahun 2019 yang muncul dalam kurun waktu yang cukup cepat yakni delapan bulan sejak diterbitkannya Permen LHK No.P.27 Tahun 2018 tentang IPPKH, maka ada kecurigaan adanya praktik gravitasi," kata Musri Nauli.
Kegiatan jalan angkut produksi pertambangan berpotensi meningkatkan pembalakan liar, perambahan hutan, perburuan satwa liar, ancaman terhadap flora dan fauna seperti gajah sumatera, harimau sumatera dan beruang serta hilangnya lahan dan sumber penghidupan masyarakat Batin Sembilan.
"Dengan dibukanya hutan tersebut dampak yang akan terjadi pada masyarakat Batin Sembilan yakni dari segi sosial akan kehilangan tanaman yang di anggap sakral dan sebagai kepercayaan nenek moyang mereka hal tersebut akan menghilangkan jati diri mereka sedangkan dari segi ekonomi akan kehilangan hak dan kehidupan," tegas Nauli lagi.
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2019