Sidang gugatan warga atas izin lingkungan PT Tenaga Listrik Bengkulu pemilik proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara Teluk Sepang di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bengkulu telah masuk tahap pemeriksaan saksi ahli.
Tim Advokasi Langit Biru yang merupakan kuasa hukum masyarakat dalam menggugat izin lingkungan PLTU menghadirkan saksi ahli kesehatan masyarakat dari Universitas Indonesia, Prof Budi Haryanto.
Baca juga: Saat sidang PLTU, sumpah pemuda bergema di PTUN Bengkulu
Dalam pemaparannya, secara gamblang Prof Budi Haryanto menjelaskan efek buruk polusi dari pembakaran batu bara bila masuk ke tubuh manusia.
“Batu bara yang tidak dibakar saja dapat menyebabkan paru-paru hitam atau ‘black-lung’ dan jauh lebih berbahaya setelah dibakar karena menjadi sumber polutan berupa PM 2,5 atau debu melayang-layang yang tidak terlihat dengan mata telanjang,” kata Budi.
Dalam sidang Senin (28/10) yang berlangsung hingga pukul 22.00 WIB malam, Budi menyebutkan bahwa partikel debu PM 2,5 adalah Particular Matter 2,5, didasarkan pada ukurannya yang hanya mencapai 2,5 mikrometer.
Bila terhirup manusia, partikel ini akan masuk ke sistem pernafasan manusia bagian bawah, menumpuk di paru-paru dan organ lain serta bisa menyebabkan munculnya penyakit pernapasan, asma, stroke, kanker, hingga penyakit jantung. Manusia yang terpapar PM 2,5 dapat berisiko memicu kematian dini.
“Debu dari pembakaran batu bara dalam bentuk partikel PM 2,5 itu mengandung arsenik, mercuri, timbal dan logam berat lainnya dan ini yang sudah dipastikan menyebabkan penyakit-penyakit kronis,” ujarnya.
Baca juga: Penimbunan bakau untuk PLTU hilangkan pendapatan nelayan Bengkulu
Menurut Budi, radius penyebaran polutan PM 2,5 dari cerobong PLTU batu bara sangat bergantung para arah dan kecepatan angin. Dalam penelitian para ahli di 88 PLTU di berbagai negara telah meneliti dampak PM 2,5 bagi warga di radius 5 kilometer hingga 1000 kilometer dari PLTU batu bara.
Hasilnya kata Budi, angka kematian dini cukup tinggi, terutama di China dan India yang juga tercatat sangat tinggi mengkonsumsi batu bara untuk listrik dan penghangat rumah pada musim dingin.
“Karena dampak buruk pada kesehatan ini maka China dan India saat ini berupaya beralih dari batu bara ke energi ramah lingkungan seperti cahaya matahari,” kata Budi yang juga menjabat Ketua Pusat Riset Perubahan Iklim Universitas Indonesia.
Ia mengatakan, dampak buruk polutan PM 2,5 yang dihasilkan dari PLTU batu bara tersebut harus disampaikan kepada masyarakat saat sosialisasi proyek. Selain itu, dalam dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) menurutnya, informasi tersebut juga harus dimuat.
Baca juga: Dosen Unib ungkap ketidaksesuaikan lokasi PLTU Bengkulu dengan RTRW
Setelah kuasa hukum warga menunjukkan bukti surat yakni AMDAL PLTU batu bara Teluk Sepang, menurut Budi, informasi tentang dampak kesehatan yang dimuat dalam Amdal tersebut tidak memadai.
Ancaman dan potensi polusi yang menganggu kesehatan menjadi alasan utama warga Teluk Sepang menolak proyek PLTU batu bara berkapasitas 2 x 100 Megawatt yang didirikan dengan dana bantuan Bank China dan direncanakan beroperasi pada awal tahun 2020.
Selain menghadirkan saksi ahli bidang kesehatan, kuasa hukum warga juga menghadirkan tiga saksi ahli lainnya yakni ahi hukum administrasi negara Riawan Tjandra dari Universitas Atmajaya Yogyakarta, ahli pengurangan risiko bencana Fredy Chandra dari Save The Children, dan saksi ahli pemetaan Yohanes Budi Sulistioadi dari Universitas Mulawarman.
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2019
Tim Advokasi Langit Biru yang merupakan kuasa hukum masyarakat dalam menggugat izin lingkungan PLTU menghadirkan saksi ahli kesehatan masyarakat dari Universitas Indonesia, Prof Budi Haryanto.
Baca juga: Saat sidang PLTU, sumpah pemuda bergema di PTUN Bengkulu
Dalam pemaparannya, secara gamblang Prof Budi Haryanto menjelaskan efek buruk polusi dari pembakaran batu bara bila masuk ke tubuh manusia.
“Batu bara yang tidak dibakar saja dapat menyebabkan paru-paru hitam atau ‘black-lung’ dan jauh lebih berbahaya setelah dibakar karena menjadi sumber polutan berupa PM 2,5 atau debu melayang-layang yang tidak terlihat dengan mata telanjang,” kata Budi.
Dalam sidang Senin (28/10) yang berlangsung hingga pukul 22.00 WIB malam, Budi menyebutkan bahwa partikel debu PM 2,5 adalah Particular Matter 2,5, didasarkan pada ukurannya yang hanya mencapai 2,5 mikrometer.
Bila terhirup manusia, partikel ini akan masuk ke sistem pernafasan manusia bagian bawah, menumpuk di paru-paru dan organ lain serta bisa menyebabkan munculnya penyakit pernapasan, asma, stroke, kanker, hingga penyakit jantung. Manusia yang terpapar PM 2,5 dapat berisiko memicu kematian dini.
“Debu dari pembakaran batu bara dalam bentuk partikel PM 2,5 itu mengandung arsenik, mercuri, timbal dan logam berat lainnya dan ini yang sudah dipastikan menyebabkan penyakit-penyakit kronis,” ujarnya.
Baca juga: Penimbunan bakau untuk PLTU hilangkan pendapatan nelayan Bengkulu
Menurut Budi, radius penyebaran polutan PM 2,5 dari cerobong PLTU batu bara sangat bergantung para arah dan kecepatan angin. Dalam penelitian para ahli di 88 PLTU di berbagai negara telah meneliti dampak PM 2,5 bagi warga di radius 5 kilometer hingga 1000 kilometer dari PLTU batu bara.
Hasilnya kata Budi, angka kematian dini cukup tinggi, terutama di China dan India yang juga tercatat sangat tinggi mengkonsumsi batu bara untuk listrik dan penghangat rumah pada musim dingin.
“Karena dampak buruk pada kesehatan ini maka China dan India saat ini berupaya beralih dari batu bara ke energi ramah lingkungan seperti cahaya matahari,” kata Budi yang juga menjabat Ketua Pusat Riset Perubahan Iklim Universitas Indonesia.
Ia mengatakan, dampak buruk polutan PM 2,5 yang dihasilkan dari PLTU batu bara tersebut harus disampaikan kepada masyarakat saat sosialisasi proyek. Selain itu, dalam dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) menurutnya, informasi tersebut juga harus dimuat.
Baca juga: Dosen Unib ungkap ketidaksesuaikan lokasi PLTU Bengkulu dengan RTRW
Setelah kuasa hukum warga menunjukkan bukti surat yakni AMDAL PLTU batu bara Teluk Sepang, menurut Budi, informasi tentang dampak kesehatan yang dimuat dalam Amdal tersebut tidak memadai.
Ancaman dan potensi polusi yang menganggu kesehatan menjadi alasan utama warga Teluk Sepang menolak proyek PLTU batu bara berkapasitas 2 x 100 Megawatt yang didirikan dengan dana bantuan Bank China dan direncanakan beroperasi pada awal tahun 2020.
Selain menghadirkan saksi ahli bidang kesehatan, kuasa hukum warga juga menghadirkan tiga saksi ahli lainnya yakni ahi hukum administrasi negara Riawan Tjandra dari Universitas Atmajaya Yogyakarta, ahli pengurangan risiko bencana Fredy Chandra dari Save The Children, dan saksi ahli pemetaan Yohanes Budi Sulistioadi dari Universitas Mulawarman.
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2019