Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Women Crisis Center (WCC) Cahaya Perempuan Bengkulu mencatat, angka korban kekerasan terhadap perempuan dan anak di Bengkulu terus meningkat setiap tahunnya.
Peningkatan itu diketahui dari jumlah rata-rata korban kekerasan perempuan dan anak yang didampingi WCC Cahaya Perempuan Bengkulu setiap tahunnya yakni sekitar 70 hingga 80 korban.
Puluhan korban yang didampingi itu merupakan korban dari berbagai macam bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak yang rumit dan sadis.
Direktur Eksekutif WCC Bengkulu Tini Rahayu menjelaskan, selama kurun waktu 20 tahun WCC Cahaya Perempuan Bengkulu memberikan pendampingan hukum dan psikologis terhadap pemenuhan hak-hak anak dan perempuan korban kekerasan seksual di Bengkulu, sudah ada sekitar 1.300 korban yang didampingi.
Kata Tini, dampak lemahnya implementasi pemenuhan 12 hak kesehatan dan reproduksi di Bengkulu, disinyalir memicu masalah tersebut. Merujuk data, angka pernikahan usia anak mencapai 16,17 persen dari total jumlah penduduk di Bengkulu.
"Persentase pembagiannya adalah 9,89 persen perempuan menikah di bawah usia 16 tahun dan 23,04 persen perempuan menikah pada usia rentang 17-18 tahun. Sebanyak 19,64 persen perempuan hamil pada usia 17-18 tahun, itu berbahaya bagi kesehatan bayi dan ibu," ujar Tini Rahayu di Bengkulu, Rabu.
Untuk mengurai akar persoalan terkait lemahnya pendidikan reproduksi dan kesehatan seksual, lanjut dia, perlu dilakukan gerakan bersama mulai dari akar rumput, stakeholder, hingga pemerintah selaku regulator.
Gerakan bersama ini bertujuan mengadvokasi pemenuhan kesehatan perempuan mulai dari gizi, stunting hingga memperkuat ekonomi anggota melalui pra koperasi/Credit Union yang tersebar di 15 wilayah di Bengkulu.
Sementara itu, Ketua Pengurus Cahaya Perempuan Women Crisis Center Bengkulu Syafridawati Tjaja menjelaskan, sebanyak 255 orang anggota FKPAR Bengkulu telah melakukan aksi kolektif 16 hari kampanye anti kekerasan seksual bertajuk "Bersama Mencegah Anak Perempuan dan Perempuan Muda dari Perkawinan Usia Anak & Dini”, baik itu di Bengkulu maupun daerah lain di Indonesia.
Wujud gerakan ini dengan mempertimbangkan UU No.16 Tahun 2019 bahwa pernikahan usia anak menimbulkan dampak negatif bagi tumbuh kembang anak dan akan menyebabkan tidak terpenuhinya hak dasar anak, seperti hak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, hak sipil anak, hak kesehatan, hak pendidikan, serta hak sosial anak.
Aksi ini membawa lima tuntutan yang ditujukan kepada Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota hingga Kelembagaan Adat di Bengkulu. Pertama, Pemerintah harus segera mensosialisasikan UU No.16 tahun 2019 secara baik sampai ke tingkat desa dan kelurahan.
Kedua, merancang kebijakan dan program kegiatan pencegahan perkawinan usia anak dan dini pada 2020. Ketiga, guru dan orang tua memberikan pendidikan kesehatan seksual dan Reproduksi di sekolah dan di rumah sejak dini.
Tuntutan keempat adalah membuka akses bagi anak muda terutama putus sekolah untuk usaha ekonomi kreatif. Selanjutnya, pemangku agama dan adat harus secara aktif mensosialisasikan dampak perkawinan anak dan upaya perlindungan hak reproduksi kesehatan seksual perempuan.
"FKPAR Bengkulu akan selalu kritis terhadap setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah dan memastikan kebijakan yang dibuat adalah berpihak kepada hak-hak perempuan, perempuan muda dan anak," papar Syafridawati.
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2019
Peningkatan itu diketahui dari jumlah rata-rata korban kekerasan perempuan dan anak yang didampingi WCC Cahaya Perempuan Bengkulu setiap tahunnya yakni sekitar 70 hingga 80 korban.
Puluhan korban yang didampingi itu merupakan korban dari berbagai macam bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak yang rumit dan sadis.
Direktur Eksekutif WCC Bengkulu Tini Rahayu menjelaskan, selama kurun waktu 20 tahun WCC Cahaya Perempuan Bengkulu memberikan pendampingan hukum dan psikologis terhadap pemenuhan hak-hak anak dan perempuan korban kekerasan seksual di Bengkulu, sudah ada sekitar 1.300 korban yang didampingi.
Kata Tini, dampak lemahnya implementasi pemenuhan 12 hak kesehatan dan reproduksi di Bengkulu, disinyalir memicu masalah tersebut. Merujuk data, angka pernikahan usia anak mencapai 16,17 persen dari total jumlah penduduk di Bengkulu.
"Persentase pembagiannya adalah 9,89 persen perempuan menikah di bawah usia 16 tahun dan 23,04 persen perempuan menikah pada usia rentang 17-18 tahun. Sebanyak 19,64 persen perempuan hamil pada usia 17-18 tahun, itu berbahaya bagi kesehatan bayi dan ibu," ujar Tini Rahayu di Bengkulu, Rabu.
Untuk mengurai akar persoalan terkait lemahnya pendidikan reproduksi dan kesehatan seksual, lanjut dia, perlu dilakukan gerakan bersama mulai dari akar rumput, stakeholder, hingga pemerintah selaku regulator.
Gerakan bersama ini bertujuan mengadvokasi pemenuhan kesehatan perempuan mulai dari gizi, stunting hingga memperkuat ekonomi anggota melalui pra koperasi/Credit Union yang tersebar di 15 wilayah di Bengkulu.
Sementara itu, Ketua Pengurus Cahaya Perempuan Women Crisis Center Bengkulu Syafridawati Tjaja menjelaskan, sebanyak 255 orang anggota FKPAR Bengkulu telah melakukan aksi kolektif 16 hari kampanye anti kekerasan seksual bertajuk "Bersama Mencegah Anak Perempuan dan Perempuan Muda dari Perkawinan Usia Anak & Dini”, baik itu di Bengkulu maupun daerah lain di Indonesia.
Wujud gerakan ini dengan mempertimbangkan UU No.16 Tahun 2019 bahwa pernikahan usia anak menimbulkan dampak negatif bagi tumbuh kembang anak dan akan menyebabkan tidak terpenuhinya hak dasar anak, seperti hak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, hak sipil anak, hak kesehatan, hak pendidikan, serta hak sosial anak.
Aksi ini membawa lima tuntutan yang ditujukan kepada Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota hingga Kelembagaan Adat di Bengkulu. Pertama, Pemerintah harus segera mensosialisasikan UU No.16 tahun 2019 secara baik sampai ke tingkat desa dan kelurahan.
Kedua, merancang kebijakan dan program kegiatan pencegahan perkawinan usia anak dan dini pada 2020. Ketiga, guru dan orang tua memberikan pendidikan kesehatan seksual dan Reproduksi di sekolah dan di rumah sejak dini.
Tuntutan keempat adalah membuka akses bagi anak muda terutama putus sekolah untuk usaha ekonomi kreatif. Selanjutnya, pemangku agama dan adat harus secara aktif mensosialisasikan dampak perkawinan anak dan upaya perlindungan hak reproduksi kesehatan seksual perempuan.
"FKPAR Bengkulu akan selalu kritis terhadap setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah dan memastikan kebijakan yang dibuat adalah berpihak kepada hak-hak perempuan, perempuan muda dan anak," papar Syafridawati.
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2019