Kampung inggris, Kalend dan dua mahasiswa IAIN
Senin, 17 Juni 2013 17:31 WIB 2285
Sampean belajar ke itu aja, yang tukang 'nyapu' masjid itu. Itu lulusan Gontor, pintar Bahasa Inggris.."
Muhammad Nadir (22), asal Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur, begitu terkesan pada kerendahhatian Muhammad Kalend Osen (68), pendiri lembaga kursus "Basic English Course" (BEC) di Kampung Inggris, Pare, Kediri.
"Saat ramah tamah setelah selesai program pendidikan, kami bertemu beliau. Sambutan beliau pertama adalah ucapan terima kasih kepada murid-muridnya. Beliau bilang, terima kasih kalian telah memberi makan saya dan keluarga. Sehingga saya bisa gemuk seperti ini," katanya.
Menurut Nadir, seharusnya para murid yang berterima kasih kepada Kalend. Mereka bisa belajar Bahasa Inggris intensif dengan kegiatan keseharian yang padat, biayanya tidak sampai Rp300.000 per bulan.
Kalend yang lahir 20 Februari 1945 di Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, itu bercerita bahwa kursus di Pare mulai sangat ramai sejak 2000-an.
Bagi dia, nama Kampung Inggris yang kini kesohor ke berbagai penjuru Tanah Air, bahkan ke mancanegara itu, cukup memberatkan dari sisi tanggung jawab. Namun di sisi lain juga menguntungkan karena Pare kemudian memiliki nama tenar sebagai kampung tempat orang belajar Bahasa Inggris.
Ia bercerita nama itu adalah kesimpulan wartawan pada 1995 ketika awal-awal menulis tentang lembaga kursus di tempat itu.
Kalend sempat tidak nyaman dengan sebutan itu karena ada kesan bahwa semua orang di Pare bisa berbahasa Inggris. Padahal kenyataannya tidak demikian.
Ungkapan Kalend itu tidak meleset. Putera, seorang peserta kursus asal Kalimantan yang belajar di Pare menuturkan bahwa yang ada dalam pikirannya semua orang di Pare fasih berbahasa Inggris.
"Sampai-sampai saya berpikir, tidak usah belajar pun saya akan pandai berbahasa Inggris. Bayangan saya, setiap ketemu orang di Pare, entah di jalan atau di warung, akan selalu bicara Bahasa Inggris. Ternyata sampai di Pare tidak demikian," kata pemuda berdarah Madura itu tertawa.
Kalend mengemukakan bahwa dengan sebutan Kampung Inggris, akhirnya ia punya pekerjaan tambahan untuk memberi penjelasan kepada tamu yang datang.
"Setiap ada tamu ke sini saya menjelaskan bahwa yang dimaksud Kampung Inggris itu bukan semua warganya bisa berbahasa inggris. Nyatanya tidak ada separuh warga di sini yang bisa bahasa Inggris," katanya.
Ia kemudian membandingkan dengan istilah Kampung Duren yang tidak semua rumah warga ada pohon duriannya.
Atau Kampung Jawa di Kota Denpasar. Padahal di kampung itu tidak semua warganya dari Jawa, bahkan banyak dari Madura.
"Jadi Kampung Inggris itu karena di sini banyak tempat kursus dan di mana-mana orang ramai belajar Bahasa Inggris," kata pria lulusan Pesantren Modern Gontor, Ponorogo, tersebut.
Banyaknya lembaga kursus di Pare di Pare bagi Kalend tidak ada masalah. Hal itu dianggapnya bukan saingan. Bahkan ia bersyukur karena dengan demikian, dampak ekonominya bagi masyarakat di sekitar cukup besar.
Demikian juga jika di tempat lain di luar ada orang yang ingin mengembangkan kursus seperti halnya Pare, ia selalu memberikan dorongan. Apalagi mereka yang berinsiatif itu adalah para alumni BEC.
"Kalau saya tidak minat mendirikan di tempat lain. Apalagi diajak mendirikan dengan sistem waralaba. Saya tidak mau karena takut tidak bisa memenuhi janji. Kedua, nanti saya mengajarkan ke anak-anak saya, kok semua dijual," katanya.
Ia bercerita, saat ini ada alumni yang begitu antusias mendirikan lembaga kursus meniru model Pare di Makassar, Sulawesi Selatan. Kebetulan sejak dulu anak-anak dari Makassar selalu banyak yang belajar ke Pare.
Kalend bercerita bahwa ia membesarkan BEC bukan hitungan bulan, apalagi hari, tapi tahun. Meskipun demikian, diakuinya bahwa semua itu tidak pernah ia rancang.
Semua berjalan saja, sejak ia membuka kursus itu secara resmi pada 15 Juni 1977. Pada tahun 1976, ia sebetulnya sudah menerima murid.
Persinggahan Kalend di Pare merupakan perjalanan panjang. Setelah tamat Pendidikan Guru Agama Negeri (PGAN) Pertama selama 4 tahun di Kalimantan, ia menjadi pegawai dari 1966-1967 dengan gaji Rp3.000 dan beras 15 kg per bulan.
Pekerjaan itu hanya dikerjakan 16 bulan karena gajinya kecil. Ia kemudian memilih bekerja di hutan. Bekerja di hutan bisa menghasilkan uang Rp3.000 per hari.
Begitu jauh perbandingan pendapatan bekerja sebagai PNS kala itu dengan bekerja di hutan. Karenanya ketika mengajar ia sering menjadi kuli angkut ke kapal laut bersama murid-muridnya. Ia tidak merasa gengsi asal pekerjaan itu halal.
Ia juga sempat berdagang berbagai kebutuhan pokok, tapi bangkrut. Saat bekerja di hutan ia membuat atap rumah dari kayu. Dari bekerja itu terkumpullah uang uang untuk mewujudkan cita-cita terpendamnya, yakni bisa berbahasa Arab.
Setelah uang terkumpul ia mondok di Balikpapan 1969-1970. Suatu ketika di pondok ia membaca majalah. Di majalah itu selalu saja ada kata, bahkan kalimat yang menggunakan Bahasa inggris.
"Saya jengkel karena tidak tahu maksudnya. Karena itu saya kemudian ingin bisa Bahasa Inggris juga. Keinginan itu semakin kuat ketika tahu ada paman yang pintar bahasa inggris. Tapi paman saya itu menolak ketika saya menyatakan ingin belajar," katanya.
Ada perasaan sakit hati menerima penolakan itu. Maka ia berpikir untuk bisa belajar ke Pesantren Gontor yang kala itu sudah sangat terkenal. Pesantren Gontor dikenal dengan bahasa pengantar Arab dan Inggris.
Dari pondok, ia kemudian kembali lagi bekerja di hutan. Tujuannya untuk mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya guna dibawa menuju Gontor. Pada 1972, dalam usia 27 tahun Kalend berangkat ke Gontor dengan berbekal jerih payahnya di hutan Rp100 ribu.
Saat itu biaya mondok di Gontor Rp5.000 per bulan, termasuk makan dan uang sekolah. Ia perkirakan uang itu hanya cukup mondok hingga kelas 3 atau belajar sekitar 2 tahun lebih sedikit. Namun, ternyata takdir berkehendak lain. Kalend ternyata bisa lanjut hingga kelas V, meskipun tidak sampai selesai.
Selama kelas IV hingg V ia banyak dibantu dari kiriman wesel teman-temannya. Bahkan selama di Gontor, pakaian tidak pernah membeli karena juga sering diberi oleh teman-temannya.
Selepas dari Gontor ia tak pulang ke Kalimantan, melainkan ke Desa Tulungrejo, Pare, Kabupate Kediri. Desa itu sekitar 100 Km ke arah timur Ponorogo. Atau sekitar 100 Km arah barat dari Kota Surabaya. Sementara dari Kota Kediri ke Pare sekitar 25 Km.
Di Desa Tulungrejo, Kalend menemui KH Ahmad Yasid, ulama yang menguasai sembilan bahasa asing, termasuk Bahasa Inggris. Kiai Yazid kini almarhum. Kalend berguru kepada Kiai Yazid sambil menjadi penjaga masjid sekitar 1,5 tahun.
"Setelah lima bulan 'nyantri' di rumah Kiai Yazid, suatu hari ada dua mahasiswa IAIN Sunan Ampel Surabaya Abdullah Umar dan Imam Sya'roni ingin bertemu Kiai Yazid. Mereka mahasiswa tingkat akhir yang hendak menempuh ujian negara," katanya.
Saat itu syarat mengikuti ujian negara, seorang mahasiswa harus lulus ujian Bahasa Inggris. Waktu keduanya datang, Kiai Yazid sedang ada di Majalengka, Jawa Barat. Menurut Nyai Siti Maryam, istri Kiai Yazid, sang kiai baru akan tiba di Pare sebulan lagi.
Si mahasiswa asal Kediri itu bingung karena waktu ujian tinggal sepekan. Akhirnya Siti Maryam menujuk Kalend.
"Sampean belajar ke itu aja, yang tukang 'nyapu' masjid itu. Itu lulusan Gontor, pintar Bahasa Inggris," kata Kalend menirukan ucapan Nyai Siti Maryam kepada dua mahasiswa itu.
Kalend menerima amanah itu dengan berat hati karena belum banyak belajar ke Kiai Yazid. "Waktu pertama mau mengajar dua mahasiswa itu, rasanya 'sumuk' (panas sehingga berkeringat)," kata Kalend tersenyum.
Ia merasa terhibur ketika dua mahasiswa itu ternyata membawa soal-soal dalam Bahasa Inggris 350 pertanyaan untuk dibahas.
Kalend memeriksa soal-soal itu dan rasa "sumuk"-nya hilang berganti dengan rasa gembira. Ia merasa bisa membahas soal-soal yang merupakan pelajaran dasar itu.
Kebetulan, soal-soal itu tak jauh dari urusan "tenses" level dasar. Maka, selama lima hari lima malam Kalend mengajari kedua mahasiswa itu. Setelah selesai, Amdullah dan Imam kembali ke Surabaya untuk ikut ujian.
Kalend menerima kabar gembira karena kedua mahasiswa lulus dengan nilai Bahasa Inggris yang bagus. Nilai dua mahasiswa yang berlatar ponodok dan biasa sangat minim dalam penguasaan Bahasa Inggris menyebar di kampus IAIN. Mahasiswa lain yang belum ujian pada bertanya bagaimana bisa mendapat nilai bagus.
Abdullah Umar bersama Imam Sya'roni bercerita bahwa bahwa mereka belajar kepada Kalend. Dari mulut ke mulut, tersebarlah nama Kalend di kalangan mahasiswa IAIN.
Satu per satu Kalend menerima mereka untuk diajari Bahasa Inggris. Karena semakin banyak mahasiswa yang datang, maka pada 1977 ia meresmikan pembukaan kursus itu.
"Jadi kedua mahasiswa itu lah yang berjasa pada saya hingga Pare seperti sekarang," katanya.
Setelah lulus, Kalend kemudian tidak pernah bertemu atau mendengar kabar kedua mahasiswa itu. Sampai akhirnya ia tahu bahwa Abdullah Umar meninggal setelah wisuda di IAIN.
Kalend sudah berusaha mencari informasi keberadaan Imam Sya'roni dan Abdullah itu. Baru beberapa tahun lalu ia menemukan tempat tinggal Imam Sya'roni yang kini pensiunan guru MTs dan tinggal di Desa Ngino, Kecamatan Plemahan, Kediri.
"Pak Imam kaget karena saya masih mengingatnya," katanya.
Imam sempat menangis dan bertanya mengapa Kalend yang memiliki nama besar masih mau mencarinya. "Saya bilang, bapak ini berjasa besar pada saya," kata Kalend.
Kini Pare sudah berbeda dengan waktu tahun 1970-an. Kalend berharap banyaknya lembaga kursus di kampung itu akan berdampak baik bagi perkembangan pendidikan di Tanah Air.
Satu hal yang masih dipikirkannya adalah bagaimana para guru kursus di Pare bisa mengikuti perkembangan bahasa asing dengan datang ke negara aslinya. Namun hal itu tidak mudah karena tentu membutuhkan biaya.
"Karena itu standar yang kami berlakukan adalah anak-anak bisa Bahasa Inggris untuk bekerja di luar negeri. Selain itu, bagaima ilmunya barokah. Walaupun ilmu yang didapat sedikit, tapi kalau barokah, gunanya akan banyak. Kalau tidak barokah, meskipun ilmunya banyak, tidak akan banyak berguna," katanya.
*