Jakarta (ANTARA) - Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Evita Nursanty menegaskan bahwa revisi Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (P2MI) yang sudah disahkan sebagai RUU inisiatif DPR sangat diperlukan untuk menangani permasalahan pekerja migran.
Hal ini mengingat, kata Evita yang juga Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, pekerja migran sering kali menjadi korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO). Oleh karena itu, langkah nyata berupa reformasi kebijakan sangat dibutuhkan untuk pekerja migran Indonesia (PMI).
"RUU P2MI diharapkan dapat memperketat regulasi dan sanksi bagi agen tenaga kerja ilegal yang memanfaatkan PMI untuk kepentingan eksploitasi di luar negeri," kata Evita dalam keterangannya di Jakarta, Sabtu.
Apalagi, menurut wakil rakyat yang membidangi perindustrian, UMKM, ekonomi kreatif, pariwisata, dan sarana publikasi, TPPO sudah masuk sebagai modus perbudakan modern yang terjadi akhir-akhir ini sehingga keberadaan RUU P2MI nantinya diharapkan dapat menjadi payung hukum yang makin melindungi pekerja migran.
Evita menegaskan bahwa RUU P2MI harus memberikan perlindungan bagi pekerja migran Indonesia dari praktik perdagangan manusia, perbudakan modern, kerja paksa, kesewenang-wenangan, dan kejahatan-kejahatan kemanusiaan lainnya. Perubahan UU wajib memberi tambahan perlindungan kepada PMI.
Legislator asal Daerah Pemilihan Jawa Tengah III itu berharap RUU P2MI dapat meningkatkan perlindungan hukum bagi PMI, termasuk mekanisme bantuan hukum dan perlindungan bagi korban TPPO.
"Dengan RUU ini, kita ingin memastikan negara memiliki sistem pengawasan yang lebih ketat dalam mengontrol keberangkatan PMI ke negara-negara dengan risiko tinggi perdagangan orang," katanya.
Menurut dia, sudah banyak warga negara Indonesia yang tertipu dan menjadi korban perdagangan orang atas iming-iming pekerjaan bergaji besar di luar negeri. Bahkan, tak sedikit juga yang disiksa dan melakukan pekerjaan paksa atau mengalami bentuk-bentuk kekerasan lainnya.
Maka, bentuk pengawasan terkait dengan PMI, kata dia, harus makin ditingkatkan. Kebijakan negara harus bersifat antisipatif dan dapat memastikan masyarakat yang hendak bekerja ke luar negeri terjamin keamanan dan keselamatannya.
RUU P2MI merupakan usul inisiatif Badan Legislasi DPR yang mulai dibahas sejak akhir Januari 2025 dan sudah disahkan menjadi RUU inisiatif DPR pada hari Kamis (20/3). RUU ini juga masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025.
Total ada 29 perubahan dalam RUU perubahan ketiga tentang P2MI. Sejumlah perubahan itu, antara lain, menyangkut kategori pekerjaan migran dalam Pasal 4.
Selain itu, dalam Pasal 5 dan 6 mengatur syarat pekerja migran Indonesia serta kewajiban bagi mereka. Ada juga Pasal 8 mengenai perlindungan PMI sebelum bekerja.
Dalam RUU tersebut, Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) juga dihapus dalam revisi UU P2MI dan diganti menjadi Kementerian Perlindungan Pekerja Migran Indonesia. Payung hukum mengenai BP2MI sebelumnya diatur dalam Pasal 26 UU P2MI. Namun, pasal itu diusulkan dihapus.
Evita menekankan bahwa RUU P2MI juga harus menjadi dasar Pemerintah untuk mendata seluruh pekerja migran Indonesia yang pergi ke luar negeri.
"Perubahan UU P2MI harus menjadi dasar Pemerintah melakukan pendataan PMI secara masif di setiap negara," tutur Evita.
Evita mengungkap bahwa fraksinya mengusulkan agar RUU P2MI memberikan ruang dan kesempatan bagi pekerja migran Indonesia yang bekerja secara ilegal untuk melaporkan diri ke KBRI atau ke KJRI di negara tempat mereka bekerja jika mendapatkan kekerasan.
"Termasuk memberikan sanksi yang lebih tegas kepada pihak atau perusahaan yang merekrut PMI dan menempatkan mereka secara ilegal," pungkas dia.