Pakar hewan liar dari Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada (UGM) Dr. Muhammad Ali Imron mengatakan bahwa harimau adalah hewan liar yang dapat beradaptasi dengan manusia.
"Jadi bonita itu sebenarnya familiar dengan manusia. Ada truk tidak takut. Ada motor tidak takut. Dengan manusia juga tidak takut. Ini menunjukkan bahwa bonita itu secara personality dia bisa beradaptasi dengan manusia," kata Imron merujuk bonita sebagai harimau Sumatera, seperti yang digambarkan dalam buku berjudul 'Bonita: Hikayat Sang Raja' karya jurnalis senior dari salah satu media swasta, Haidir Anwar Tanjung, dalam acara peluncuran buku tersebut, di Jakarta, Jumat.
Ia menyebutkan bahwa ada beberapa karakteristik hewan liar, terutama dalam hal ini harimau, yang kerap terlibat konflik dengan manusia, salah satunya adalah karena habitatnya terdegradasi.
"Bahwa ada wilayah yang sudah terdegradasi. Habitat itu, konfliknya terjadi di situ. Jarang konflik terjadi di dalam kawasan hutan," kata dia.
Kemudian, karakteristik berikutnya adalah bahwa konflik kerap terjadi pada hewan liar yang mengalami kesulitan fisik.
"Artinya karena sakit, tua, itu kemudian mereka karena kesulitan untuk menangkap satwa yang masih liar, maka mereka akan mengejar binatang yang mudah, seperti kerbau, seperti kasus kerbau yang tarik-tarikan itu, atau kambing, atau bahkan manusia," katanya lebih lanjut.
Kemudian, karakteristik lainnya adalah karena individu hewan itu agresif.
Dalam kasus penyerangan terhadap manusia seperti yang diceritakan dalam buku yang diluncurkan bersama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), harimau Sumatera yang disebut sebagai bonita itu tidak termasuk dalam ketiga karakteristik tersebut.
Imron mengatakan bahwa bonita kemungkinan adalah individu harimau yang sedang mencari teritori karena hewan tersebut masih relatif muda.
Bonita, kata dia, sebenarnya familiar dengan manusia. Hewan tersebut memiliki kepribadian yang bisa beradaptasi dengan manusia. Namun, dalam kasus penyerangan terhadap manusia, harimau tersebut menyerang manusia karena merasa terancam.
"Dalam dua kasus terbunuhnya dua orang itu terdapat gangguan. Pertama, almarhumah Jumiati itu kan latah dalam cerita itu. Kayak mukul-mukul, bales mukul. Itu yang kemudian membuat dia (bonita) merasa terancam dan kemudian merasa ingin menyelamatkan juga. Dan kebetulan pada ceritanya Bang Haidir ini kan membalik badannya, sehingga diterkam tengkuknya itu," kata Imron.
"Kemudian yang kedua, tukang batu itu dia juga membuat gangguan dengan cara melempar batu. Nah, ini yang saya kira memacu dia," kata Imron lebih lanjut.
Terkait kemungkinan evolusi sebagai penyebab terjadinya konflik hewan liar dengan manusia, pakar hewan liar tersebut menampik kemungkinan tersebut.
"Terkait konteks evolusi saya kira belum sampai, karena evolusi itu prosesnya cukup panjang," katanya.
Ia mengatakan bahwa harimau Sumatera sebenarnya cukup adaptif. Bahkan mereka bisa bereproduksi dengan mudah jika diberi pakan yang cukup dan ada pasangan.
Terkait konflik hewan liar dengan manusia, Imron menyarankan kepada pemerintah melalui Kementerian LHK untuk lebih memahami karakteristik hewan liar sehingga bisa memberikan penanganan secara tepat.
Selain itu, masyarakat di sekitar hutan, juga menurut dia, perlu diberi upaya penyadaran dan edukasi sehingga mereka tidak malah menjadi korban karena tidak mengetahui cara penanganan ketika berhadapan dengan hewan liar.
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2020
"Jadi bonita itu sebenarnya familiar dengan manusia. Ada truk tidak takut. Ada motor tidak takut. Dengan manusia juga tidak takut. Ini menunjukkan bahwa bonita itu secara personality dia bisa beradaptasi dengan manusia," kata Imron merujuk bonita sebagai harimau Sumatera, seperti yang digambarkan dalam buku berjudul 'Bonita: Hikayat Sang Raja' karya jurnalis senior dari salah satu media swasta, Haidir Anwar Tanjung, dalam acara peluncuran buku tersebut, di Jakarta, Jumat.
Ia menyebutkan bahwa ada beberapa karakteristik hewan liar, terutama dalam hal ini harimau, yang kerap terlibat konflik dengan manusia, salah satunya adalah karena habitatnya terdegradasi.
"Bahwa ada wilayah yang sudah terdegradasi. Habitat itu, konfliknya terjadi di situ. Jarang konflik terjadi di dalam kawasan hutan," kata dia.
Kemudian, karakteristik berikutnya adalah bahwa konflik kerap terjadi pada hewan liar yang mengalami kesulitan fisik.
"Artinya karena sakit, tua, itu kemudian mereka karena kesulitan untuk menangkap satwa yang masih liar, maka mereka akan mengejar binatang yang mudah, seperti kerbau, seperti kasus kerbau yang tarik-tarikan itu, atau kambing, atau bahkan manusia," katanya lebih lanjut.
Kemudian, karakteristik lainnya adalah karena individu hewan itu agresif.
Dalam kasus penyerangan terhadap manusia seperti yang diceritakan dalam buku yang diluncurkan bersama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), harimau Sumatera yang disebut sebagai bonita itu tidak termasuk dalam ketiga karakteristik tersebut.
Imron mengatakan bahwa bonita kemungkinan adalah individu harimau yang sedang mencari teritori karena hewan tersebut masih relatif muda.
Bonita, kata dia, sebenarnya familiar dengan manusia. Hewan tersebut memiliki kepribadian yang bisa beradaptasi dengan manusia. Namun, dalam kasus penyerangan terhadap manusia, harimau tersebut menyerang manusia karena merasa terancam.
"Dalam dua kasus terbunuhnya dua orang itu terdapat gangguan. Pertama, almarhumah Jumiati itu kan latah dalam cerita itu. Kayak mukul-mukul, bales mukul. Itu yang kemudian membuat dia (bonita) merasa terancam dan kemudian merasa ingin menyelamatkan juga. Dan kebetulan pada ceritanya Bang Haidir ini kan membalik badannya, sehingga diterkam tengkuknya itu," kata Imron.
"Kemudian yang kedua, tukang batu itu dia juga membuat gangguan dengan cara melempar batu. Nah, ini yang saya kira memacu dia," kata Imron lebih lanjut.
Terkait kemungkinan evolusi sebagai penyebab terjadinya konflik hewan liar dengan manusia, pakar hewan liar tersebut menampik kemungkinan tersebut.
"Terkait konteks evolusi saya kira belum sampai, karena evolusi itu prosesnya cukup panjang," katanya.
Ia mengatakan bahwa harimau Sumatera sebenarnya cukup adaptif. Bahkan mereka bisa bereproduksi dengan mudah jika diberi pakan yang cukup dan ada pasangan.
Terkait konflik hewan liar dengan manusia, Imron menyarankan kepada pemerintah melalui Kementerian LHK untuk lebih memahami karakteristik hewan liar sehingga bisa memberikan penanganan secara tepat.
Selain itu, masyarakat di sekitar hutan, juga menurut dia, perlu diberi upaya penyadaran dan edukasi sehingga mereka tidak malah menjadi korban karena tidak mengetahui cara penanganan ketika berhadapan dengan hewan liar.
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2020