Konsorsium Sumatera Terang untuk Energi Bersih (STuEB) melaporkan dugaan pelanggaran HAM dalam aktivitas tiga pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara di Pulau Sumatra
ke Dewan Hak Asasi Manusia (HAM) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
 
"PLTU batubara itu yakni di Aceh, Sumatra Utara dan Bengkulu, yang ketiganya disokong pendanaannya oleh badan usaha dan Pemerintah China," kata Ketua Kanopi Hijau Indonesia Ali Akbar yang anggota Konsorsium STuEB itu, di Bengkulu, Selasa.
 
Laporan tersebut disampaikan melalui mekanisme yang ada di Dewan HAM PBB yang berjalan dalam siklus empat tahunan yaitu Universal Periodic Review (UPR) atau peninjauan berkala universal bagi 193 negara anggota PBB.
 
Laporan Konsorsium Sumatra Terang itu mencatat terjadinya dugaan pelanggaran HAM berupa hak hidup dan kesehatan, hak atas lingkungan dan hak atas mata pencaharian atau hak ekonomi warga yang tinggal di sekitar proyek PLTU Nagan Raya Provinsi Nangroe Aceh Darussalam, PLTU Pangkalan Susu Sumatra Utara dan PLTU Teluk Sepang Bengkulu.
 
Dua lembaga keuangan yang menyediakan dana pinjaman untuk proyek PLTU di Pulau Sumatra adalah Industrial Commercial Bank of China (ICBC) dan Export Import Bank of China. Kedua bank itu telah meminjamkan dana 270 juta dolar AS untuk PLTU Teluk Sepang, 373 juta dolar AS untuk PLTU Pangkalan susu dan setidaknya 124,34 juta dolar AS untuk PLTU Nagan Raya.
 
Laporan disampaikan ke Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk HAM atau Office of the United Nations High Commissioner for Human Rights (OHCHR) pada Juli 2023, sesuai dengan tenggat waktu penyampaian laporan.
 
Selanjutnya, laporan konsorsium diterima oleh Kelompok Kerja Peninjauan Berkala Universal (UPR) dan akan dibahas pada Selasa 23 Januari 2024 di Markas PBB Jenewa.
 
Ali Akbar mengatakan proyek PLTU batubara yang didanai Industrial Commercial Bank of China (ICBC) dan Export Import Bank of China telah membuat nelayan Kelurahan Teluk Sepang kehilangan sumber ekonomi dan justru mendapat penyakit.
 
“Sejak PLTU beroperasi ada 39 orang warga Teluk Sepang yang terkena penyakit kulit yang sulit sembuh dan kondisi ini belum pernah terjadi,” kata Ali.
 
Ali mengatakan PT Tenaga Listrik Bengkulu telah tiga kali mendapat sanksi administrasi dari KLHK akibat ketidaktaatan terhadap aturan pengelolaan lingkungan.
 
Sanksi administrasi pertama yakni perbaikan pengelolaan air bahang, termasuk rekonstruksi kolam pendingin air bahang yang hancur diterjang gelombang, perbaikan pengelolaan limbah FABA, dan sanksi perbaikan bangunan penahan panas air bahang yang rusak akibat abrasi.
 
Meski sudah mendapatkan tiga kali sanksi administrasi, menurutnya berdasarkan pantauan lapangan, PT Tenaga Listrik Bengkulu sama sekali tidak menunjukkan kemajuan apapun untuk memperbaiki sistem pembuangan limbah air bahang dan pengelolaan limbah FABA.
 
"Justru PT TLB membuang limbah FABA ke kawasan konservasi Taman Wisata Alam (TWA) Pantai Panjang-Pulau Baai," ucapnya.
 
Di Nagan Raya Aceh, keberadaan proyek PLTU membuat 35 kepala keluarga warga Desa Suok Puntong terpaksa pindah akibat lingkungan yang dipenuhi debu angkutan batubara.
 
Perkumpulan Pembela Lingkungan Hidup (P2LH) Aceh Zaidun Abdi mengatakan warga tidak punya pilihan lain kecuali pindah dengan ganti rugi yang ditawarkan perusahaan karena tidak tahan menghirup debu angkutan batu bara setiap hari.
 
Yayasan Srikandi Lestari Sumatra Utara Mimi Surbakti yang merupakan Anggota Konsorsium Sumatera Terang untuk Energi Bersih mengatakan PLTU Pangkalan Susu yang berdiri sejak 2016 diduga telah melanggar hak hidup dan kesehatan, hak atas mata pencaharian dan hak atas lingkungan yang bersih dan sehat.
 
“Ada 659 nelayan tradisional yang tersingkir dari perairan sekitar proyek PLTU Pangkalan Susu sehingga mereka kehilangan sumber mata pencaharian, padahal sudah puluhan tahun mereka hidup dari laut,” ujar Mimi.

Pewarta: Boyke Ledy Watra

Editor : Musriadi


COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2024