Universitas Bengkulu membantu para pelestari penyu di Kabupaten Bengkulu Tengah, Kelompok Pelestarian Penyu Alun Utara dalam meningkatkan kualitas penangkaran dan pembesaran tukik.
 
"Kami sudah lama bekerja sama dengan Kelompok Penangkaran Alun Utara, para mahasiswa kami juga melakukan penelitian di sini. Dan kami mendapati belakangan tukik yang telah menetas banyak yang mati, ternyata persoalannya di kolam pembesaran," kata Ketua Tim Program Pengabdian Kepada Masyarakat Berbasis Riset LPPM Universitas Bengkulu untuk konservasi penyu Dr Yar Johan di Bengkulu, Senin.
 
Dia menjelaskan, kematian ratusan tukik tersebut akibat kualitas dan sirkulasi air di kolam pembesaran yang tidak dapat dipertahankan dengan yang dibutuhkan tukik menyesuaikan diri di alam sebelum dilepaskan kembali ke lautan.
 
"Kemarin, ada 200 ekor tukik yang mati, rupanya kami cek sirkulasi airnya, jadi kalau untuk budidaya biota itu yang paling diprioritaskan itu ada dua, kualitas air dan pakan. Nah rupanya banyak mati karena kualitas air, makanya kami bawa teknologi filter dan sirkulasi air pembesaran dan peralatan pengukuran kualitas air," katanya.
 
Dengan peningkatan teknologi untuk pembesaran, menurut dia, harapannya dapat mencegah potensi kematian tukik sebelum dilepaskan kembali kembali ke habitatnya.
 
Selain pengembangan kualitas penangkaran penyu, Yar Johan mengatakan LPPM Universitas Bengkulu juga fokus dalam mengembangkan pengelolaan sampah organik bagi warga yang berada di pesisir pantai Bengkulu.
 
Anggota Tim Program Pengabdian Kepada Masyarakat Berbasis Riset LPPM Universitas Bengkulu untuk konservasi penyu Prof Agustin Zarkani mengatakan, sampah menjadi permasalahan besar bagi penyu, menyebabkan kematian satwa langka karena memakan sampah-sampah yang ada di laut.
 
Dia mengatakan, tim pengabdian kepada masyarakat pun mengembangkan pengolahan sampah organik dengan memberdayakan kaum perempuan yang ada di pesisir pantai.
 
Pengembangan pengolahan sampah organik tersebut tentunya diharapkan dapat mengurangi kuantitas sampah yang ada di sekitar pantai, menjaga habitat laut menjadi lebih baik, dan tentunya meningkatkan nilai ekonomi bagi masyarakat.
 
"Masalah terbesar pengelolaan penyu adalah banyaknya sampah, salah satunya sampah organik, ibu-ibu pengelolaan sampah organik sebaiknya menggunakan maggot sebagai serangga pengurai yang ramah lingkungan," kata Prof Agustin Zarkani.
 
Dengan bantuan serangga tersebut, lanjut Prof Agustin, sampah organik dapat dikonversi menjadi pakan ikan yang bernilai jual bagi masyarakat yang terlibat mengolah sampah organik itu.
 
Anggota Tim Program Pengabdian Kepada Masyarakat Berbasis Riset LPPM Universitas Bengkulu untuk konservasi penyu Dr Nesna Agustriana menyatakan, membangun kesadaran masyarakat dalam menjaga habitat satwa langka menjadi penting sebagai langkah awal mencegah kerusakan alam bahkan menimbulkan kepunahan terhadap satwa atau flora.
 
"Kami juga berupaya menanamkan kesadaran kepada masyarakat, bagaimana agar alam terjaga. Meningkatkan wawasan masyarakat tentang penting menjaga kelestarian, tidak hanya bagi orang dewasa, kami juga menanamkan itu bagi anak-anak sejak usia dini," katanya.
 
Tim, katanya, mengajak anak-anak pendidikan usia dini untuk menjaga alam agar tetap lestari, mencegah kepunahan akibat kerusakan habitat dari satwa dan flora terutama yang dilindungi.
 
"Menanamkan kesadaran sejak dini itu lebih mudah dibandingkan ketika sudah dewasa, dan kegiatan ini sangat baik untuk menstimulasi kecerdasan naturalis anak usia dini," kata Dr Nesna Agustriana.

Pewarta: Boyke Ledy Watra

Editor : Musriadi


COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2024