Indek harga saham gabungan di lantai bursa Indonesia (BEI) pada akhir tahun ditutup tidak cukup menggembirakan, berada pada angka 4.316,69 poin  atau naik  tipis dibanding tahun sebelumnya sebesar 0,81 persen.
    
Kenaikan tipis  itu membuat banyak kalangan tidak terlalu senang karena tidak sesuai yang diprediksi. Banyak pengamat bursa memperkirakan IHSG akan naik hingga 4.500 poin karena perekonomian nasional disebutkan cukup kuat dan indikator makronya juga cukup baik, tetapi faktanya berbeda.
    
Penurunan IHSG  tahun lalu yang hanya naik tipis itu banyak pihak mengkaitkan adanya  krisis eropa yang sampai kini belum juga pulih sehingga menyeret pada kelambatan ekspor migas dan non migas, utamanya ekspor produk minyak kelapa sawit dan turunannya, sehingga  harga saham sektor itu  terjadi penurunan yang cukup signifikan sepanjang tahun 2012. Ini membuktikan perekonomian nasional cukup rentan dengan ketergantungan pasar asing dan kurang mampu menggarap pasar domestik.
    
"Sudah saatnya perekonomian nasional tidak terus menerus berkiblat ke barat, tetapi perlu untuk mengoptimalkan pasar di dalam negeri agar secara bertahap meninggalkan ketergantungan pasar luar negeri," kata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dalam peryataanya, belum lama ini.
    
Ungkapan Presiden SBY itu bukan hanya dilatarbelakangi turunnya harga komoditas produk pertanian dan perkebunan akibat lesunya pasar internasional,  tetapi juga adanya perang tarif antara negara produsen seperti Malaysia dan Indonesia, menumpuknya stok minyak kelapa sawit di berbagai gudang dan terus menurunnya harga produk perkebunan di pasar internasional.
     
Kebijakan Pemerintah Malaysia yang  memangkas pajak ekspor CPO-nya menjadi sebesar 4,5-8,5% pada tahun ini, membuat galau sesama negara produsen.  Aksi Negeri Jiran ini diambil di tengah-tengah terpuruknya harga CPO di pasar internasional.
"Langkah itu dilakukan setelah Tan Sri Bernard Dompok, Menteri Perladangan dan Komoditas Malaysia, berkunjung ke Indonesia dan bertemu Menteri Pertanian Suswono, membahas stabilitas harga CPO," kata Bayu Krisnamurthi, Wakil Menteri Perdagangan, dengan nada terkejut karena aksinya  itu.
    
Pemerintah Malaysia menyampaikan alasannya, langkah itu diambil guna membuat posisi negaranya menjadi lebih kompetitif dengan Indonesia, karena belum pernah mengubah pajak ekspor CPO sejak 1970,  sebesar 23%. Sementara, Indonesia sejak Oktober 2011 telah memperbesar selisih pajak ekspor minyak sawit dan CPO. Kini pajak ekpor Indonesia sebesar 13,5%.
   
Harga minyak sawit di pasar internasional juga turun tajam. Sepanjang tahun 2012 hanya berada pada angka Rp700 dolar AS per ton, atauru turun sekitar 300 dolar AS per ton dibanding tahun sebelumnya.
   
Namun para praktisi dan pengamat dalam konfrensi internasional crute palm oil/CPO di Bali bulan lalu sepakat bahwa harga minyak sawit tahun ini akan naik karena China dan India terus meningkatkan permintaan sebagai pengganti melemahnya permintaan sawit dari AS dan kawasan Eropa.
   
Dengan begitu, harapan naiknya kembali ekspor produk minyak sawit nasional bakal terjadi pada tahun ini yang kemudian akan menggerek harga-harga saham di pasar BEI khususnya yang terkait dengan sawit bakal naik lagi dari tahun sebelumnya.

                 Asia pasar potensial
   
Jumlah konsumsi minyak sawit dunia, menurut sumber dari Departemen ASgriculture  AS menyebutkan, tahun 2012,  India dan Indonesia termasuk dua negara yang membutuhkan minyak sawit terbesar dunia yakni menapai 15,3 persen atau setara dengan 7,95 juta ton, Indonesia 15,1 persen, 6.400 juta ton, disusul Uni Eropa 10 persen dan Malaysia 7 persen setara 3.604 juta ton.
   
India dan China dikabarkan akan meningkatkan permintannya, karena kebutuhan kedua negara itu diperkirakan naik, dan harga CPO jauh lebih murah dibanding minyak nabati lain  seperti kedele darii AS.
   
Dengan begitu, sesungguhnya Indonesia tinggal melakukan lobi baik kepada dua negara Asia itu dan negara lain di kawasan Asia juga. Permintaan CPO dari Eropa kurang dari 11 persen tetapi seolah harga ekspor dan mutu produk ditentukan oleh negara eropa itu. Kelompok NGO dan politisi dari kawasan UE agaknya jauh lebih intensif dan agresif dalam melakukan penyerangan produk CPO baik lewat isyu lingkungan dan isyu kesehatan, meskipun isyu itu kurang terbukti, namun cukup ampuh untuk menekan harga CPO dipasar internasional sehingga negara konsumen seperti India dan China menanggukk keuntungan membeli harga murah.  
    
Tofan Mahdi, ketua bidang Kompartemen komunikasi Gabungan Pengusaha Kelapa Sawiit Indoneia/Gapki, mengatakan, harga minyak sawit tahun ini akan kembali pulih.  Harga  jual CPO. Dengan kondisi krisis ekonomi dunia masih bisa di atas 700, dolar AS per ton, tahun ini harga diperkirakan akan kembali naik hingga 800 sampai 1000 dolar AS per ton.
   
“Kita sulit memprediksi apakah harga CPO ini bisa pulih seperti semula, yang bisa mencapai US$1.000 per ton atau US$700 atau US$800 atau bahkan malah di bawah itu,” katanya.
    
World Bank, kata Tofan, juga  me-release data prediksi jangka panjang harga CPO hingga tahun 2025.  Data tersebut secara straight line menunjukkan akan ada kenaikan harga tahun ini hingga  970 dolar AS per tonn, kemudian akan turun lagi tahun 2025. Prediksi ini mungkin debatable, karena secara history harga komoditas ini sebenarnya sangat fluktuatif.
   
Teori lain mengatakan bahwa minyak kelapa sawit bersifat subtitusi dengan komoditas vegetable oil lainnya. Untuk tahun 2012/2013 produksi vegetable oil dunia dari komoditas minyak kelapa sawit mencapai 33,3 % sedangkan minyak kedelai mencapai 27,6 % sehingga total mencapai 60,9 %. Namun begitu, data historis 30 tahunan, harga minyak kelapa sawit tidak dipengaruhi oleh harga minyak kedelai.
 
Dengan demikian, harga CPO tahun ini tetap akan naik dan tentunya akan mendongkrak harga saham sektor kelapa sawit yang selama ini mengalammi penurunan. Tahun Desember 2010 harga saham Astra Agro Lestari tembus pada angka Rp 25000 per saham, dan 2011 mencapai  26.250 dan tahun 2012 turun hingga Rp19.000 per saham pada periode sama.
   
Sementara Lsip/London Sumatra yang juga bergerak disektor sawit mengalami nasib sama, tahun 2010 (des) mencapai Rp2.575  turun  menjadi Rp2.325 kemudian tahun 2012 harga relatif stabil pada angka  Rp2.300  per saham pada pperiode sama.
   
Harapan harga sawit naik yang akan menggerek pada harga sahamnya yang diijual di BEI, tergantung juga adanya kenaikan permintaan impor India dan China serta mengoptimalkan pasar dalam negeri. (*)


Penulis, Wartawan Utama dan Dir  Investasi Dana Pensiun Antara

Pewarta: Oleh Theo Yusuf Ms

Editor : Helti Marini S


COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2013