Semarang (Antara) - Perajin batik Semarang Eko Haryanto mengatakan pengetahuan masyarakat, termasuk pedagang, tentang produk batik sebagai warisan budaya nusantara selama ini memang relatif minim.
"Batik itu ada dua kategori, yakni tulis dan cap. Namun, karena minimnya pengetahuan tentang batik, pedagang menjual apapun yang laku, termasuk batik 'printing' dan sablon," katanya di Semarang, Rabu.
Ditemui di galeri batiknya di Kampung Batik Semarang, ia mengatakan Unesco mengakui batik sebagai warisan budaya nusantara karena mengacu pada alat, bahan, dan proses pembuatannya yang tradisional.
Menurut dia, batik tulis dan cap jelas berbeda dengan batik "printing" dari segi proses pembuatannya antara manual buatan tangan dengan mesin, sementara yang diakui Unesco tentu yang sifatnya tradisional.
"Batik 'printing' itu sangat tidak memihak pengrajin. Maraknya 'printing' justru semakin membunuh karya pengrajin. 'Printing' dibuat menggunakan mesin, sedangkan batik cap buatan tangan," katanya.
Pemilik Galeri Batik Asem Arang itu mengakui sah-sah saja jika ada orang yang membuat dan menjual batik-batik "printing" karena berorientasi untung, tetapi masyarakat juga harus memahami produk batik.
"Pengrajin, tujuannya sebenarnya untuk 'nguri-uri' budaya. Meski rugi, tetap akan dijalani. Sekarang ini, batik 'printing' memang menjamur dan mendesak produk batik yang tradisional," katanya.
Di sisi lain, kata dia, pengetahuan masyarakat Indonesia tentang batik yang menjadi warisan nenek moyangnya masih minim sehingga apapun yang dijual diminati pasar, termasuk batik "printing" dan sablon.
Ia khawatir perkembangan batik printing itu mengancam kelangsungan perajin yang masih bertahan dengan cara tradisional sehingga pada akhirnya hilang dan batik tradisional tak lagi menjadi budaya Indonesia.
"Kalau nanti batik 'printing' dan sablon yang mendominasi, jangan harap pengakuan Unesco bisa bertahan," katanya.
Oleh karena itu, Eko berharap seluruh pihak, termasuk pemerintah, media, dan kaum intelektual, dapat memberikan pengetahuan yang tepat tentang batik sejalan dengan pengakuan yang diberikan oleh Unesco.
"Edukasi bisa dilakukan, antara lain lewat pelatihan membatik bagi anak-anak usia dini, kemudian ibu-ibu Dharma Wanita, dan pelajar. Kami sudah beberapa kali melakukan pelatihan semacam ini," katanya.
Ketua Paguyuban Kampung Batik Semarang Tri Utomo mengatakan sebenarnya mudah membedakan antara batik produk buatan tangan, yakni tulis dan cap, dengan batik buatan mesin atau "printing".
"Batik 'printing', umumnya akan tercium bau minyak cat dari kainnya dan polanya tidak bersifat tembus atau bolak-balik. Beda dengan batik tulis dan cap yang diproses dengan tangan, bukan mesin," katanya.
Perajin: Pengetahuan masyarakat tentang batik minim
Kamis, 3 Oktober 2013 6:39 WIB 1754