"Masa depan Bengkulu ada di Lautan Hindia, bukan di Bukit Barisan."
Demikian kesimpulan Pakar Ekonomi Maritim dari Universitas
Muhammadiyah Malang, Jawa Timur, Prof Laode Masihu Kamaluddin saat
dialog kemaritiman dengan topik "Membangun Bengkulu sebagai Poros
Maritim Indonesia" di Bengkulu, Senin (2/2).
Posisi geografis Bengkulu yang berada di pesisir barat Pulau
Sumatera dengan panjang pantai 525 kilometer, menjadi modal penting
untuk membangun industri maritim di wilayah ini.
Dialog yang digagas lembaga "Mahfud MD Initiative" Bengkulu itu
mengupas tuntas potensi maritim Bengkulu dan perannya untuk mewujudkan
Indonesia sebagai poros maritim dunia seperti yang dicita-citakan
Presiden Joko Widodo.
Selain mantan Rektor Universitas Islam Sultan Agung tersebut,
tampil sebagai pemateri mantan menteri Kelautan dan Perikanan Prof
Rokhmin Dahuri dan Ketua Program Studi Ilmu Kelautan Universitas
Bengkulu, Dede Hartono dan Ketua Pembina Mahfud MD Initiative yang juga
Bupati Musirawas Ridwan Mukti.
Untuk mewujudkan cita-cita sebagai poros maritim Indonesia bahkan
poros maritim dunia, hal pertama yang harus dilakukan menurut Laode
adalah mengubah cara pandang seluruh elemen di daerah.
"Selama ini kita tidak memandang laut sebagai sumber kehidupan,
tapi hanya semata sebagai sebuah geografis, ini yang harus diubah," ujar
pencetus Ekowisata di perairan Wakatobi, Provinsi Sulawesi Tenggara
itu.
Ia mengatakan deklarasi sebagai negara maritim harus diawali dengan
deklarasi pemikiran atau cara pandang sebagai bangsa bahari.
Berdasarkan sejarah, Gubernur Stamford Raffles yang menjadi wakil
Inggris di Bengkulu menukar daerah ini dengan Singapura lalu Belanda
mengubahnya menjadi daerah pertanian.
"Sejak itu Bengkulu memunggungi laut, padahal jati diri Bengkulu adalah bahari, ini yang harus dikembalikan," ucapnya.
Bila industri maritim dengan 11 sektor yang dapat dikembangkan
mulai dari pengembangan industri galangan kapal, perikanan tangkap
hingga potensi mineral, maka Laut Hindia akan menjadi pusat investasi
baru dunia dengan Bengkulu sebagai poros atau pusatnya.
Dengan keberadaan Pulau Enggano yang berjarak 106 mil laut dari
Kota Bengkulu yang merupakan pulau terluar maka potensi pengembangan
Bengkulu sebagai poros maritim Indonesia khususnya di pantai barat dapat
diwujudkan.
"Laut Pasifik dikuasai Amerika, Laut China masih dalam
persengketaan maka Samudera Hindia menjadi pusat ekonomi maritim baru,"
kata dia.
Peluang dan Tantangan
Menteri Kelautan dan Perikanan periode 2001-2004 Prof Rokhmin
Dahuri mengatakan peluang Bengkulu sebagai poros maritim Indonesia,
khususnya untuk pengembangan perekonomian di Laut Hindia sangat tinggi.
"Kalau ada rencana membangun industri galangan kapal saja di
Bengkulu maka ada tiga industri besar yang otomatis akan berkembang,"
ujar dia.
Tiga industri tersebut yaitu industri logam karena bahan baku
pembuatan kapal adalah logam. Berikutnya industri elektronik, mulai dari
kelistrikan dan lainnya, serta industri teknologi informasi, sebab
operasi kapal penangkap ikan membutuhkan teknologi.
"Selama ini hampir 90 persen kebutuhan untuk perkapalan didatangkan
dari luar negeri, bisa dibayangkan kalau industri itu dibangun di Tanah
Air," tukasnya.
Tidak hanya industri galangan kapal serta meningkatkan produksi
perikanan tangkap, Provinsi Bengkulu kata dia juga berpotensi
mengembangkan tambak udang dengan potensi lahan seluas 5.000 hektare.
Termasuk potensi pengembangan rumput laut dan pembangunan industri
hilir di Bengkulu akan meningkatkan kesejahteraan nelayan setempat.
Selain itu, dalam rencana pembangunan yang disusun Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional menempatkan Bengkulu sebagai salah satu
sasaran pembangunan sektor maritim.
Apalagi dengan visi pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Jusuf
Kalla yang menempatkan sektor kelautan sebagai sumber pertumbuhan
ekonomi baru, maka perlu terobosan pemerintah daerah untuk mengelola
potensi kelautan daerah ini.
Provinsi Bengkulu dengan luas 43.724 kilometer persegi terbagi menjadi kawasan darat 57 persen dan wilayah laut 43 persen.
Rokhmin menambahkan langkah yang dapat dilakukan pemerintah daerah
untuk mengembangkan sektor maritim yaitu menyusun rencana tata ruang
wilayah darat dan pesisir.
Kemudian modernisasi alat tangkap nelayan tradisional. Kapal modern
memungkinkan nelayan untuk menangkap ikan hingga ke laut dalam yang
selama ini potensinya digarap nelayan asing.
Dengan modernisasi alat tangkap maka pendapatan minimal nelayan di Bengkulu mencapai Rp3,6 juta per bulan.
"Visi Presiden Jokowi mengembangkan Indonesia sebagai poros maritim
dunia itu harus diwujudkan bila ingin memajukan negara," tutur Guru
Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor ini.
Selain itu, iklim investasi di sektor kelautan juga harus dibuat
kondusif dan sektor kelautan harus mendapat perhatian lebih yang
ditunjukkan dengan keberpihakan anggaran.
Total potensi ekonomi Indonesia yang dapat dihasilkan dari 11
sektor maritim mampu mencapai 1,2 triliun dolar AS per tahun dengan
serapan tenaga kerja 40 juta.
"Harus ada fokus besar Bengkulu untuk membangun sektor kelautan,
dan ini membutuhkan pemimpin yang memiliki visi kelautan," ucap dia.
Ketua Program Studi lmu Kelautan Universitas Bengkulu Dede Hartono
mengatakan dengan potensi besar yang dimiliki Bengkulu, ada pula
beberapa persoalan yang dapat menghambat cita-cita membangun sektor
kelautan.
Abrasi dan sedimentasi di pesisir pantai barat Sumatera, ancaman
gempa bumi dan tsunami, pencemaran wilayah pesisir hingga kendala sumber
daya manusia.
"Sebagian persoalan itu berasal dari kawasan hulu, seperti limbah
batu bara yang mencemari pesisir Kota Bengkulu itu dari tambang di
kawasan hulu," tukasnya.
Namun, dengan potensi besar yang ada kata dia, Samudera Hindia yang
selama ini dipandang sebagai ancaman akan berubah menjadi potensi untuk
membangun Bengkulu.
Ketua Pembina "Mahfud MD Initiative" Bengkulu Ridwan Mukti
mengatakan Provinsi Bengkulu yang terdiri dari 10 kabupaten dan kota
dengan tujuh kabupaten yang berhadapan langsung dengan Samudera Hindia,
harus memanfaatkan momentum pembangunan maritim untuk maju.
"Seharusnya dengan potensi kelautan yang ada Bengkulu bisa lepas
sebagai daerah tertinggal dari provinsi lain di Pulau Sumatra," kata
Bupati Musirawas Provinsi Sumatra Selatan ini.
Ridwan yang juga mendaftarkan diri sebagai bakal calon gubernur
Bengkulu dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) mengatakan
secara geografis tidak ada pilihan bagi Bengkulu selain menggali potensi
laut.
Provinsi Bengkulu dan provinsi lainnya di wilayah barat Sumatra
yang memiliki kawasan konservasi hutan yang luas seharusnya membangun
pesisir barat Sumatera menjadi pusat ekonomi baru.
Visi Pemimpin
Untuk mewujudkan cita-cita itu menurut Dede membutuhkan
kepemimpinan yang bervisi kelautan. Sebab, untuk mewujudkan cita-cita
Indonesia sebagai poros maritim dunia harus didukung kepemimpinan di
daerah.
"Karena itu pada pemilihan kepala daerah Bengkulu pada tahun ini
jangan lagi salah pilih, cari yang bervisi memajukan Bengkulu lewat
potensi sektor kelautan," ucap dia.
Perairan Bengkulu mulai dari Kaur yang berbatasan dengan Provinsi
Lampung hingga Mukomuko yang berbatasan dengan Provinsi Sumatera Barat,
masing-masing memiliki keunggulan lokal di bidang kelautan.
Penelitian Universitas Bengkulu belum lama ini tambah dia,
Kabupaten Kaur potensial mengembangkan ikan Sidat yang merupakan
komoditas ekspor.
"Selama ini bibit ikan Sidat diekspor ke Jepang, Korea dan Taiwan,
padahal seharusnya dapat dikembangkan di Kaur," tegasnya.
Potensi lain adalah perikanan tangkap komoditas ikan pelagis antara lain ikan tuna yang dapat diekspor ke berbaga negara.
Dengan alat tangkap sederhana di Kabupaten Kaur tambah dia, nelayan
setempat mampu menangkap ikan tuna sirip biru dengan bobot 100 hingga
120 kilogram, namun sayangnya dijual dengan harga murah, antara Rp25
ribu hingga Rp40 ribu per kilogram.
"Apalagi kalau difasilitasi dengan alat tangkap yang modern maka
perikanan di Bengkulu pasti bisa mensejahterakan nelayan dan memajukan
daerah," ujarnya.
Ketua rumpun nelayan Sumber Jaya Kota Bengkulu, Syamsul Bahri
mengatakan kesimpulan dialog kemaritiman itu dapat diwujudkan bila
pemimpin daerah memiliki visi kelautan.
"Semua yang peluang dan potensi laut Bengkulu itu bisa diwujudkan
kalau pemimpinnya punya keberanian dan kemauan," kata dia.
Para nelayan di Bengkulu menurut Syamsul siap mendukung pemerintah
mengembangkan sektor kelautan dengan memberikan pelatihan untuk
meningkatkan pengetahuan nelayan setempat.
Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Bengkulu Rinaldi
mengatakan langkah pertama untuk mengembangkan potensi laut Bengkulu
adalah mewujudkan pembangunan Pelabuhan Perikanan Nusantara di Pelabuhan
Pulau Baai, Kota Bengkulu.
"Kami harapkan tahun ini terealisasi, apalagi Presiden Joko Widodo
dan Menteri KKP Susi Pudjiastuti sudah melihat langsung potensi kelautan
Bengkulu," tuturnya.
Rinaldi mengatakan saat ini ada 24.000 orang warga Provinsi
Bengkulu yang berprofesi sebagai nelayan. Namun, sebagian besar nelayan
tradisional dengan kapal berbobot kurang dari lima gross tonnage (GT)
dengan pemanfaatan potensi laut baru 0,001 persen.
Padahal, ada 572 titik wilayah pemanfaatan laut yang belum terjamah oleh nelayan Bengkulu akibat keterbatasan alat tangkap.
Selama ini nelayan Bengkulu hanya mampu melaut dengan jarak
maksimal 4 mil laut saja, sedangkan potensi ikan berlimpah yang berada
12 mil ke tengah laut.
Bila pembangunan Pelabuhan Perikanan Nusnatara itu terealisasi maka
dapat menampung kapal dengan bobot di atas 30 GT untuk berlabuh di
pelabuhan itu.
Dalam berbagai kesempatan Presiden Joko Widodo menjelaskan rencana
pembangunan 24 pelabuhan dalam masa lima tahun pemerintahannya.
Pembangunan Pelabuhan itu untuk mewujudkan Indonesia sebagai poros
maritim dunia.
Sepertinya Presiden Joko Widodo setuju dengan ungkapan penyair dan
penjelajah berkebangsaan Inggris, Sir Walter Raleigh di awal Abad XVII
bahwa "Siapa yang mampu menguasai laut maka dia akan menguasai dunia."
Membaca peluang Bengkulu di poros maritim Indonesia
Rabu, 4 Februari 2015 15:14 WIB 8556