Jakarta (ANTARA) - Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mengingatkan agar masyarakat mewaspadai radikalisasi yang kini menyusup melalui dunia gim daring (game online).
Kepala BNPT Komisaris Jenderal Polisi Eddy Hartono ketika dikonfirmasi di Jakarta, Rabu, mengatakan fenomena tersebut semakin mengkhawatirkan karena menyasar anak-anak dan remaja, kelompok usia yang paling rentan terhadap paparan ideologi ekstrem.
"Sedikitnya 13 anak dari berbagai daerah di Indonesia telah terhubung melalui permainan daring Roblox, yang kemudian menjadi pintu masuk bagi jaringan simpatisan teroris," ucap Komjen Pol. Eddy, saat mengikuti Rapat Koordinasi Lintas Kementerian dan Lembaga Dalam Rangka Membahas Upaya Pencegahan Radikalisasi di Dunia Maya di Jakarta (30/9).
Baca juga: MUI Mukomuko ungkap ciri-ciri kelompok penyebar paham radikal
Dari ruang permainan itu, lanjut dia, interaksi bergeser ke platform komunikasi tertutup, seperti Telegram dan WhatsApp, tempat proses indoktrinasi lebih intens berlangsung.
Dengan demikian, ia menilai hal tersebut merupakan pola rekrutmen baru, dimana anak-anak tidak lagi hanya menjadi target propaganda di media sosial, tetapi juga dalam gim daring yang mereka mainkan sehari-hari, sehingga menjadi tantangan besar bagi semua pihak.
Eddy mengungkapkan fenomena serupa juga terjadi di berbagai negara. Pada 2024, seorang remaja 16 tahun di Singapura ditangkap karena membuat simulasi zona militer Afghanistan di Roblox.
Disebutkan bahwa permainan itu menarik banyak pengikut sebelum kemudian dipindahkan ke grup tertutup untuk penyebaran ideologi radikal.
Baca juga: Cegah paham radikal, 26 ormas di Mukomuko siap dibina ulang pada 2025
Di Amerika Serikat dan Jerman, sambung dia, gim daring juga dipakai untuk mengangkat isu kebencian, termasuk narasi Nazi, guna melawan pemerintah dan aparat.
Dia pun berpendapat pola itu selaras dengan peringatan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) bahwa ancaman terorisme global kini semakin adaptif.
"Meski pengaruh Al-Qaeda dan ISIS di Asia Tenggara menurun, faktor lokal seperti ketidakadilan sosial dan isu politik tetap memicu kerentanan radikalisasi," tuturnya.
Selain itu, ia menambahkan, penggunaan teknologi kecerdasan buatan (AI) untuk membuat konten propaganda memperparah situasi.
