Bengkulu (ANTARA Bengkulu) - Badan Lingkungan Hidup Provinsi Bengkulu mengkaji pengelolaan limbah perusahaan tambang yang beroperasi di daerah itu, terutama yang berada di hulu Sungai Bengkulu.

"Ada 15 perusahaan tambang dan perkebunan yang dikaji, tapi delapan di antaranya adalah tambang batu bara di hulu Sungai Bengkulu," kata Kepala Badan Lingkungan Hidup Provinsi Bengkulu Iskandar ZO.

Ia mengatakan kajian tersebut dilakukan melalui program penilaian peringkat kinerja perusahaan (Proper) sebagai upaya dari Kementerian Lingkungan Hidup untuk mendorong penaatan perusahaan dalam pengelolaan lingkungan hidup.

Sebanyak 15 perusahaan dari Provinsi Bengkulu masuk dalam 1.317 perusahaan yang dinilai oleh Kementerian Lingkungan Hidup pada 2012.

Setiap perusahaan yang diberi peringkat, mulai dari paling baik yakni emas, hijau, biru, merah dan hitam.

"Untuk 15 perusahaan yang beroperasi di Bengkulu, kami belum terima laporan peringkatnya dari pusat," katanya.

Pemeringkatan tersebut mengacu pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup nomor 5 tahun 2011 tentang Pedoman Penilaian PROPER.

Ia mengatakan, peringkat biru, merah dan hitam menggunakan kriteria ketaatan terhadap peraturan lingkungan, sedangkan peringkat hijau dan emas mengunakan kriteria penilaian aspek lebih dari yang dipersyaratkan peraturan.

Pelaksanaan PROPER, kata dia, bertujuan untuk mendorong tingkat ketaatan perusahaan terhadap peraturan lingkungan hidup serta menjadikan isu ingkungan sebagai salah satu pendorong inovasi dan peningkatan daya saing perusahaan.

Salah satu upayanya adalah melalui pelaksanaan 3R yaitu "Reduce-Reuse-Recyle" sehingga dalam proses produksi tidak ada yang terbuang atau "zero waste". "Sehingga kinerja perusahaan lebih efektif dan efisien, serta bermanfaat dalam upaya pengurangan biaya serta penurunan beban pencemaran," ujarnya.

Jika hasil PROPER mendapat peringkat hitam sebanyak dua kali berturut-turut, maka BLH dapat merekomendasikan pencabutan izin perusahaan tersebut.

Ia mencontohkan perusahaan tambang batu bara di Kabupaten Bengkulu Tengah yang diduga telah mencemari Sungai Bengkulu, sangat  perlu dilakukan penilaian PROPER.

"Ada delapan perusahan tambang yang dilakukan PROPER untuk mengetahui perusahaan mana yang berkontribusi terhadap pencemaran Sungai Bengkulu," katanya.

Namun, pada pemantauan kinerja tahun 2011, tiga perusahaan di Bengkulu mendapat nilai merah dari Kementerian Lingkungan Hidup.

"Hasil pemantauan terhadap lima perusahaan memang ada tiga yang mendapat rapor merah dan dua biru," kata Kepala Seksi Pengendalian Pengelolaan Limbah Badan Lingkungan Hidup Provinsi Bengkulu Zainudin di Bengkulu, kala itu.

Tiga perusahaan yang mendapat rapor merah tersebut yaitu PTPN VII Unit Usaha Padang Plawi dan PT Bio Nusantara Teknologi yang bergerak di bidang produksi sawit dan PT Bukit Sunur yang bergerak di bidang pertambangan batu bara.

Rapor merah, katanya, dengan kata lain kaidah pengelolaan lingkungan terkait limbah dan lain sebagainya belum memenuhi ketentuan.

"Ketiga perusahaan berbeda-beda kelemahannya, dan kami sudah memberikan rekomendasi dan teknis perbaikan karena sebagian perusahaan masih minim tenaga teknisnya," kata dia.

Sedangkan dua perusahaan mendapat rapor biru yakni  PT Agri Andalas di Kabupaten Bengkulu Selatan dan PT Agro Muko di Kabupaten Mukomuko, keduanya bergerak di bidang produksi sawit.

"Tujuan pemantauan ini adalah meningkatkan peran perusahaan dalam melakukan pengelolaan lingkungan," katanya.

Program tersebut juga sekaligus diharapkan menimbulkan efek stimulan dalam pemenuhan regulasi lingkungan dan nilai tambah terhadap pemeliharaan sumber daya alam, konservasi energi dan pemberdayaan masyarakat.

Ia mengatakan, BLH yang melakukan pengecekan langsung ke lapangan telah memberikan rekomendasi untuk perbaikan pengelolaan lingkungan, mulai dari pengelolaan bahan beracun dan berbahaya, pengurangan emisi, hingga instalasi pengelolaan air limbah.

Sementara itu, Dosen Ilmu Kelautan Program Studi Kelautan Universitas Bengkulu Ari Anggoro menjelaskan limbah pencucian batu bara dari lokasi penggalian yang terbawa ke Sungai Bengkulu hingga muara dan laut, akan mengganggu ekosistem perairan setempat.

"Sisa batu bara bekas pencucian yang menjadi limbah sudah memenuhi Sungai Bengkulu bahkan terbawa hingga ke laut, ini jelas mengganggu ekosistem perairan," kata dia.

Ia mengatakan substrat batu bara yang terbawa hingga ke perairan Bengkulu itu akan menutupi karang sehingga pertumbuhannya terganggu.

Jika batu bara menutupi terumbu karang maka bukan tidak mungkin karang tersebut akan mati sehingga merusak fungsinya untuk biota laut.

Menurut dia, aktivitas pemuatan batu bara dari kapal tongkang ke kapal besar di sekitar perairan Pulau Tikus, juga sangat berbahaya bagi ekosistem pulau tersebut.

Pendangkalan alur masuk Pelabuhan Pulau Baai diprediksi juga akibat proses pemuatan batu bara yang dilakukan di sekitar perairan Pulau Tikus.

"Tumpahan batu bara dari proses pemuatan sudah memenuhi perairan sekitar Pulau Tikus, karena kami sudah melakukan penyelaman ke dasarnya, ini sangat berbahaya untuk pertumbuhan terumbu karang," katanya.

Ia mengatakan, persoalan limbah batu bara tersebut harus dituntaskan di tingkat hulu, yakni proses penggalian yang sebagian besar terdapat di Kabupaten Bengkulu Tengah.

Pemerintah, kata dia, seharusnya memperketat proses pengelolaan limbah bekas pencucian sehingga Sungai Bengkulu dan perairan tidak menjadi korban.

Direktur Yayasan Ulayat Oka Adriansyah sebelumnya mengatakan aktivitas pengelolaan limbah yang buruk dari perusahaan tambang batu bara yang beroperasi di hulu Sungai Bengkulu menjadi penyebab utama pencemaran sungai itu.

"Sejumlah perusahaan tambang batu bara berkontribusi nyata terhadap pencemaran Sungai Bengkulu dan kami berharap hasil Proper dari KLH ini akan mempertegas itu," katanya.

    

Upaya Pemerintah
 
Pelaksana Tugas Gubernur Bengkulu Junaidi Hamsyah menerbitkan surat imbauan tentang larangan mengalihfungsikan lahan pertanian menjadi perkebunan, pertambangan dan permukiman, di 10 wilayah kabupaten serta kota.

"Kembali saya ingatkan kepada bupati dan wali kota agar menghentikan alih fungsi lahan pertanian menjadi peruntukan lain," kata dia.

Ia mengatakan pemerintah sudah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.

Pada pasal 44 dari UU itu menjelaskan, lahan yang sudah ditetapkan sebagai lahan pertanian pangan berkelanjutan dilindungi dan dilarang dialihfungsikan.

"Peraturan Gubernur tentang larangan alih fungsi pun sudah diterbitkan pada 2010, tapi belum ditindaklanjuti dengan peraturan bupati," katanya.

Sementara Peraturan Wali Kota Bengkulu tentang larangan alih fungsi tersebut sudah diterbitkan, hanya saja di lapangan belum optimal pengawasannya sehingga masyarakat Lembak di sekitar Danau Dendam Tak Sudah mengeluhkan alih fungsi areal persawahan menjadi permukiman.

Menurut dia, jika perlindungan terhadap lahan pangan tidak dilakukan pemerintah kota, maka program ketahanan pangan akan sulit tercapai.

Junaidi Hamsyah juga meminta pihak terkait di daerah memprioritaskan pengamanan kawasan daerah aliran sungai (DAS), terutama Sungai Musi.

"Kawasan DAS Musi yang ada di Kabupaten Kepahiang dan Rejang Lebong, Bengkulu, itu saat ini kondisinya rusak," kata Plt Gubernur Bengkulu itu.  

Ia mengatakan, bila Bengkulu tidak bisa mengamankan kawasan DAS Sungai Musi itu, dampaknya akan terjadi banjir bandang menimpa jutaan jiwa masyarakat di wilayah Sumatra Selatan di bagian hilirnya.

Untuk itu pihak terkait yaitu dinas kehutanan dan Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Bengkulu untuk memprioritaskan penghijauan kawasan itu.

Masyarakat perambah yang berada di daerah aliran sungai itu diimbau untuk meninggalkan lokasi, dan bila tidak mengindahkan imbauan tersebut mereka akan berhadapan dengan hukum.

Kawasan hutan di Bengkulu tidak hanya daerah aliran sungai yang sudah rusak, tapi hutan lindung dan konservasi juga sangat memprihatinkan.

Para bupati diimbau untuk tidak mengeluarkan izin perkebunan besar dan pertambangan, terutama dalam kawasan hutan karena akan berdampak buruk bagi Bengkulu ke depan.

"Seluruh perizinan di kawasan hutan untuk ditinjau ulang, bila mengancam kerusakan hutan, maka bisa diusulkan ke Kementerian Kehutanan untuk dicabut," katanya.

Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Bengkulu Risman Sipayung melalui Kabag Program Tahan Simamora mengatakan, kerusakan kawasan hutan di Bengkulu tidak hanya oleh perambah, tapi juga sektor pertambangan dan pencurian kayu.

Kerusakan kawasan hutan di Bengkulu saat ini berkisar antara 40-60 persen, sedangkan penghijauan setiap tahun tidak seimbang dengan kerusakan hutan, ujarnya.

Karena itu, pada tahun  2013 Pemerintah Provinsi Bengkulu dan pihak terkait lebih tegas dalam menangani kasus perusakan lingkungan serta melakukan pencegahan yang lebih nyata. (ANTARA)

Pewarta: oleh Triono Subagyo

Editor : Triono Subagyo


COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2012