Bengkulu, 19/1 (ANTARA) - Puluhan petani perempuan dari Kecamatan Seluma Barat Kabupaten Seluma, Kamis mendatangi gedung DPRD Provinsi Bengkulu, menuntut pencabutan hak guna usaha PT Sandabi Indah Lestari.
"Kami meminta DPRD merekomendasikan pencabutan HGU PT Sandabi Indah Lestari karena kami terancam digusur dari tanah kami sendiri," kata Siti Fatimah, petani perempuan dari Desa Lunjuk.
Bersama sejumlah petani perempuan dari dua desa yakni Pagar Agung dan Desa Lunjuk, Siti Fatimah yang mendapat tanah secara turun temurun menolak kehadiran perusahaan perkebunan kelapa sawit tersebut.
Ia mengatakan lahan yang diserahkan orangtuanya yang diklaim sebagai HGU PT SIL sudah ditanami sejak 1983 dengan komoditas karet.
"Tapi sekarang mau diambil sama perusahaan, jelas kami menolak," tambahnya.
Aksi damai para petani perempuan tersebut tidak mendapat tanggapan dari Anggota Legislatif.
Setelah melakukan berbagai orasi dan memajang spanduk aspirasi, para petani menggantungkan seragam sekolah anak mereka di pagar gedung DPRD.
Yuliana, petani dari Desa Lunjuk lainnya mengatakan aksi tersebut sebagai simbol jeritan petani bahwa jika tanah mereka diserahkan ke PT SIL maka anak-anak mereka akan putus sekolah.
"Saya janda beranak dua, hanya lahan kurang dari dua hektare berisi karet yang sudah panen itulah yang jadi harapan saya," katanya.
Yuliana yang hadir membawa anaknya Muhammad Isaldi dalam aksi tersebut mengatakan pemerintah seharusnya berpihak kepada masyarakat, bukannya kepada investor yang justru menyerobot lahan garapan mereka.
Warga yang mengelola lahan tersebut sejak 1990-an kata dia menolak dijadikan buruh oleh perusahaan yang memenangkan lelang HGU milik PT Waysebayur tersebut.
Direktur Ekskutif Walhi Bengkulu Zenzi Suhadi mengatakan pengelolaan tanah di Bengkulu sangat tidak berpihak kepada masyarakat.
"Sebanyak 121 orang konglomerat menguasai tanah di Provinsi Bengkulu meliputi 208.000 hektare perkebunan dalam bentuk hak guna usaha (HGU), 99.000 hektare untuk pertambangan batu bara dan 147.000 hektare pertambangan pasir besi," katanya menjelaskan.
Ia mengatakan, jika dibandingkan dengan penduduk Bengkulu sebanyak 1,7 juta jiwa, maka untuk membahagiakan satu konglomerat, masyarakat harus memberikan tanah seluas 99.000 hektare dengan perbandingan 121 konglomerat yang ada di daerah itu.
Perizinan kepemilikan tanah banyak dikeluarkan pemerintah daerah pada saat massa pemilihan umum dan kepala daerah pada rentang 2008 hingga 2010 mencapai 75.000 hektare tanah Bengkulu telah dikuasai perusahaan perkebunan.
Selain itu, 175.000 hektare untuk pertambangan, sementara masyarakat terlunta-lunta dengan kemiskinan.
Ia berharap pemerintah mulai membuka mata untuk menghentikan pemberian izin bagi perusahaan asing dan swasta untuk mengambil tanah, dan lebih memberikan kesempatan kepada petani untuk mengaksesnya, sehingga kesejahteraan rakyat Bengkulu akan meningkat. (ANT/KR-RNI)
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2012
"Kami meminta DPRD merekomendasikan pencabutan HGU PT Sandabi Indah Lestari karena kami terancam digusur dari tanah kami sendiri," kata Siti Fatimah, petani perempuan dari Desa Lunjuk.
Bersama sejumlah petani perempuan dari dua desa yakni Pagar Agung dan Desa Lunjuk, Siti Fatimah yang mendapat tanah secara turun temurun menolak kehadiran perusahaan perkebunan kelapa sawit tersebut.
Ia mengatakan lahan yang diserahkan orangtuanya yang diklaim sebagai HGU PT SIL sudah ditanami sejak 1983 dengan komoditas karet.
"Tapi sekarang mau diambil sama perusahaan, jelas kami menolak," tambahnya.
Aksi damai para petani perempuan tersebut tidak mendapat tanggapan dari Anggota Legislatif.
Setelah melakukan berbagai orasi dan memajang spanduk aspirasi, para petani menggantungkan seragam sekolah anak mereka di pagar gedung DPRD.
Yuliana, petani dari Desa Lunjuk lainnya mengatakan aksi tersebut sebagai simbol jeritan petani bahwa jika tanah mereka diserahkan ke PT SIL maka anak-anak mereka akan putus sekolah.
"Saya janda beranak dua, hanya lahan kurang dari dua hektare berisi karet yang sudah panen itulah yang jadi harapan saya," katanya.
Yuliana yang hadir membawa anaknya Muhammad Isaldi dalam aksi tersebut mengatakan pemerintah seharusnya berpihak kepada masyarakat, bukannya kepada investor yang justru menyerobot lahan garapan mereka.
Warga yang mengelola lahan tersebut sejak 1990-an kata dia menolak dijadikan buruh oleh perusahaan yang memenangkan lelang HGU milik PT Waysebayur tersebut.
Direktur Ekskutif Walhi Bengkulu Zenzi Suhadi mengatakan pengelolaan tanah di Bengkulu sangat tidak berpihak kepada masyarakat.
"Sebanyak 121 orang konglomerat menguasai tanah di Provinsi Bengkulu meliputi 208.000 hektare perkebunan dalam bentuk hak guna usaha (HGU), 99.000 hektare untuk pertambangan batu bara dan 147.000 hektare pertambangan pasir besi," katanya menjelaskan.
Ia mengatakan, jika dibandingkan dengan penduduk Bengkulu sebanyak 1,7 juta jiwa, maka untuk membahagiakan satu konglomerat, masyarakat harus memberikan tanah seluas 99.000 hektare dengan perbandingan 121 konglomerat yang ada di daerah itu.
Perizinan kepemilikan tanah banyak dikeluarkan pemerintah daerah pada saat massa pemilihan umum dan kepala daerah pada rentang 2008 hingga 2010 mencapai 75.000 hektare tanah Bengkulu telah dikuasai perusahaan perkebunan.
Selain itu, 175.000 hektare untuk pertambangan, sementara masyarakat terlunta-lunta dengan kemiskinan.
Ia berharap pemerintah mulai membuka mata untuk menghentikan pemberian izin bagi perusahaan asing dan swasta untuk mengambil tanah, dan lebih memberikan kesempatan kepada petani untuk mengaksesnya, sehingga kesejahteraan rakyat Bengkulu akan meningkat. (ANT/KR-RNI)
COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2012