Denpasar (ANTARA) - Ibarat buah simalakama, memilih antara bapak dan ibu bukanlah hal mudah, karena seharusnya tidak dipilih salah satu, tapi kalau dipaksa untuk memilih tentu akan sulit sekali. Begitulah dengan virus Corona jenis baru atau COVID-19 yang menawarkan pilihan yang sangat sulit yakni kesehatan atau ekonomi.
Ketika memilih Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), pemerintah diprotes karena pilihan itu bisa menyebabkan masyarakat akan kesulitan dalam bidang ekonomi, atau bahkan bisa kelaparan. Ketika "New Normal" atau Normal Baru yang dipilih, pemerintah tetap disalahkan karena pilihan itu bisa menyebabkan masyarakat sakit, atau bahkan meninggal.
Artinya, pilihan yang sama-sama sulit. Mereka yang bergerak di bidang kesehatan lebih suka pada PSBB sebagai pilihan, karena akan mempercepat proses memutus mata rantai penularan "musuh yang tidak kelihatan" itu, meski cepat yang dimaksud di sini bukanlah dalam hitungan minggu, namun bisa berbulan-bulan.
Namun, mereka yang bergerak di bidang ekonomi lebih suka pada "New Normal" sebagai pilihan, karena proses "menunggu" hilangnya virus yang tidak diketahui batas waktunya itu tidak menghambat perekonomian. Apalagi, masyarakat kecil sudah banyak yang dirumahkan atau bahkan di-PHK dalam jumlah yang bukan puluhan, tapi jutaan.
Memang, COVID-19 menyodorkan banyak "benturan" kepentingan yang tidak mudah dan justru mudah memantik emosi. Ada masjid versus pasar/mal, ada AS versus RRC (politisasi konspiratif/tingkat global), ada zona merah versus zona hijau (politisasi zona/tingkat lokal), dan ada pula (informasi) pandemic versus infodemic (informasi hoaks terkait pandemi).
Ya, "benturan" kepentingan diatas dianggap tidak menyentuh kepentingan masyarakat secara langsung, karena sifatnya hanya politis, seperti masjid yang "dibenturkan" dengan pasar, padahal masjid masih memilih alternatif, karena tempat ibadah bukan cuma masjid, bahkan rumah pun merupakan "bumi" ibadah, sedangkan pasar tidak bisa ditemui di hutan/pantai/kantor.
Nah, "benturan" terkait COVID-19 yang menyentuh langsung dengan kepentingan masyarakat atau "benturan" paling substansial terkait COVID-19 adalah kesehatan versus ekonomi. Keduanya mengemuka dalam bentuk polemik terkait PSBB dan Normal Baru yang sesungguhnya sama-sama penting bagi masyarakat, karena ekonomi bagus tapi sakit atau sehat tapi kelaparan itu sama saja.
Bagi masyarakat Bali, ekonomi yang potensial adalah pariwisata. Jadi, kesehatan versus ekonomi untuk Pulau Dewata itu ibarat kesehatan versus pariwisata dan keduanya kini bagai buah simalakama. Artinya, bukan perkara yang mudah untuk mendahulukan yang mana.
Apalagi, kerinduan terhadap Bali sebagai kawasan pariwisata juga sudah dirasakan masyarakat internasional. Sebanyak 76 persen publik "Negeri Kincir Angin" Belanda menjawab "Bali" ketika ditanya daerah mana di Indonesia yang saat pandemi COVID-19 ini sangat ingin mereka kunjungi.
Itulah hasil jajak pendapat secara daring/online yang dilaksanakan dalam rangkaian Webinar oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif dalam upaya memperkuat peran perwakilan promosi pariwisata Indonesia di luar negeri atau VITO (Visit Indonesia Tourism Officer) di Belanda, 11 Juni 2020.
Namun, hal itu bukan berarti pariwisata harus "mengalahkan" kesehatan, karena Presiden Joko Widodo dalam arahannya selalu meminta tahapan dari PSBB ke Normal Baru itu perlu pertimbangan bertahap, mencari timing, dan menghitung skala prioritas, meski rumit.
"Penentuan waktu, kapan, timing-nya, penting sekali. Harus tepat kalkulasinya, hitung-hitungannya," kata Presiden Joko Widodo saat mengunjungi Kantor Gugus Tugas Nasional Percepatan Penanganan COVID-19 di Graha Badan Nasional Penanggulangan Bencana, Jakarta, 10 Juni 2020.
Kepala Negara mengingatkan para kepala daerah agar berkonsultasi dengan Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 dalam memutuskan tahapan menuju fase normal baru dengan memperhitungkan betul penetapan waktu pemberlakuan tatanan normal baru supaya tidak sampai memicu munculnya gelombang kedua penularan COVID-19.
"Bicarakan dulu dengan Gugus Tugas, datanya seperti apa, pergerakannya seperti apa, fakta-faktanya seperti apa, karena saya lihat data di sini ada semua. Pemerintah daerah mesti memerhatikan perkembangan penularan COVID-19 serta kepatuhan warga menjalankan protokol kesehatan, semua harus dihitung dan dipastikan," katanya.
Presiden juga menekankan pentingnya koordinasi dan konsolidasi antara pemerintah pusat dan daerah tingkat provinsi, kabupaten/kota, sampai kelurahan/desa dalam penanggulangan COVID-19, karena upaya untuk mengatasi pandemi membutuhkan keterlibatan dan sinergi dari semua pihak.
"Quality Tourism"
Faktor penting yang menjadi catatan penting Presiden Jokowi terkait tahapan dari PSBB ke Normal Baru itu agaknya sudah lama menjadi "atensi" Gubernur Bali Wayan Koster, mengingat Bali sebagai kawasan pariwisata dunia tentu menjadi tempat yang dirindukan banyak orang.
Gubernur Koster menegaskan pihaknya belum berencana membuka daerah setempat untuk kepentingan pariwisata dalam waktu dekat. "Kalau untuk pariwisata, kami masih menghitung dan saya kira masih lama karena risikonya terlalu besar dan sampai saat ini juga penerbangan antarnegara belum dibuka," katanya.
Di sela-sela keterangan pers tentang Surat Edaran tentang Sistem Kerja Pegawai Aparatur Sipil Negara dalam Tatanan Kehidupan Era Baru di Instansi Pemerintah, di Denpasar, 4 Juni 2020, Koster menanggapi singkat terkait daerah mana saja yang menjadi prioritas ketika pariwisata Bali sudah dibuka. "Kalau pariwisata belum, masih jauh, masih jauh," ucapnya.
Didampingi Sekda Bali Dewa Made Indra dan Kepala BKD Bali Ketut Lihadnyana, Gubernur Bali itu mengaku pihaknya belum diberikan kewenangan oleh Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 untuk menerapkan sepenuhnya tatanan normal baru atau "New Normal".
"Jadi, dari arahan Ketua Gugus Tugas Nasional yang diprioritaskan normal baru tahap pertama adalah kabupaten/kota yang sama sekali tidak terjangkit, tidak ada COVID-19 sama sekali," katanya.
Meskipun tingkat kesembuhan pasien positif COVID-19 di Bali tergolong tinggi, namun semua daerah atau sembilan kabupaten/kotanya yang ada di Pulau Dewata itu masih terjangkit COVID-19. "Memang tingkat kesembuhannya tinggi, tetapi belum layak dibuka untuk sekarang ini," ujarnya.
Gubernur asal Desa Sembiran, Kabupaten Buleleng itu mengungkapkan salah satu alasan mengapa pihaknya memberlakukan sistem pemeriksaan protokol kesehatan ketat pada sejumlah "pintu masuk" Bali adalah dalam rangka visi mewujudkan "quality tourism" atau pariwisata berkualitas.
"Di Bandara Ngurah Rai mutlak harus tes usap (swab test) berbasis PCR, sedangkan di Pelabuhan Gilimanuk kita wajibkan rapid test," kata Gubernur Koster saat menerima audenisi Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (POM) RI Penny K Lukito di Rumah Jabatan Gubernur Bali, Jaya Sabha, Denpasar, 11 Juni 2020.
Protokol kesehatan yang ketat itu didukung Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (POM) RI Penny K Lukito, karena Bali memang merupakan kawasan pariwisata internasional yang sudah sepatutnya memberlakukan protokol Kesehatan yang ketat. "Saya kira Bali sangat perlu menerapkan sistem pemeriksaan yang ketat, karena Bali itu daerah international tourism," katanya.
Pihaknya pun mengakui komitmen yang ditunjukan Gubernur Koster dalam penerapan standar protokol kesehatan yeng ketat dalam masa pandemi COVID-19, sehingga Bali terbukti menjadi salah satu provinsi yang paling berhasil dalam penanganan pandemi COVID-19 di Indonesia.
Atas hal itu, pihak menyatakan akan mendukung penuh upaya Pemprov Provinsi Bali tersebut. Sebagai salah satu bentuk dukungan itu, pihaknya akan memberikan bantuan alat real time PCR yang akan mampu membantu percepatan pengujian COVID-19 dengan memanfaatkan Balai POM setempat.
"Bali tentu kami jadikan prioritas, apalagi mengingat secara penanganan Bali jadi salah satu yang terbaik," kata Kepala Badan POM RI yang juga mengapresiasi kebijakan Bali memberikan ruang khusus bagi pengobatan herbal, seperti tertuang dalam Peraturan Gubernur (Pergub) tentang Pelayanan Kesehatan Tradisional.
Implementasi pelaksanaan protokol kesehatan yang ketat agaknya juga dinilai oleh Wakil Gubernur Bali Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati yang juga Ketua PHRI Bali itu, sebagai faktor penting dalam mewujudkan "Quality Tourism". "Semua pihak perlu bersabar," kata pria yang juga Penglingsir (tokoh) Puri Ubud, Gianyar itu di Denpasar, 13 Juni 2020.
Menurut dia, Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 Pusat sudah menetapkan tiga kriteria dengan 11 indikator bagi daerah di Indonesia untuk membuka kembali kegiatan ekonominya. Salah satu indikatornya adalah penurunan jumlah kasus positif selama dua minggu terakhir minimal 50 persen sejak puncak penambahan kasus positif COVID-19.
"Dalam beberapa pekan terakhir, Bali belum menunjukkan grafik yang landai, karena penambahan jumlah kasus masih fluktuatif. Perkembangan ini menandakan bahwa Bali belum memenuhi kriteria untuk membuka sektor ekonomi, dalam hal ini pariwisata. Dengan kata lain, Bali masih berada pada masa transisi, apalagi beberapa negara juga baru membuka akses ke luar pada bulan Oktober," katanya.
COVID-19 versus Pariwisata untuk Bali
Minggu, 14 Juni 2020 15:47 WIB 4752