Jakarta (ANTARA) - Komoditas rumput laut, yang banyak sekali digunakan di beragam hidangan khususnya di negara-negara kawasan Asia, telah lama dikenal sebagai superfood atau makanan super.
Hal tersebut juga telah diucapkan beberapa kali antara lain oleh Dirjen Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan KKP Artati Widiarti dalam sejumlah kesempatan.
Mengapa rumput laut disebut sebagai komoditas superfood? Hal tersebut antara lain karena rumput laut termasuk sebagai salah satu bahan pangan yang bisa menjadi solusi banyak persoalan.
Rumput laut, selain tentunya dapat dikonsumsi baik secara langsung maupun secara tidak langsung, ternyata juga banyak digunakan sebagai bahan baku industri di beragam sektor.
Selain itu rumput laut juga merupakan salah satu spesies yang bisa menjadi solusi terhadap berbagai dampak perubahan iklim yang saat ini tengah hangat diperbincangkan banyak kalangan.
Berdasarkan data FAO (Organisasi Pangan dan Pertanian PBB), sekitar 40 persen dari produksi rumput laut adalah digunakan sebagai konsumsi langsung, sedangkan 40 persen dikonsumsi secara tidak langsung atau pangan olahan, dan sisanya 20 persen digunakan di dalam industri nonpangan.
Fakta menarik lainnya adalah hanya sebanyak delapan negara di Asia yang berkontribusi terhadap sekitar 99 persen produksi rumput laut, di mana Republik Rakyat China merupakan produsen terbesar dunia dengan kontribusi 57 persen dari produksi global, kemudian disusul di tempat kedua yaitu Republik Indonesia (29 persen).
Perlu disadari pula bahwa jenis rumput laut yang dihasilkan oleh dua negara besar tersebut relatif berbeda, di mana Indonesia memproduksi rumput laut tropis, dan China menghasilkan rumput laut dari jenis subtropis.
Indonesia juga dikenal sebagai memiliki plasma nutfah untuk rumput laut hingga sekitar 555 jenis dan kemungkinan bisa bertambah bila ada hasil riset baru.
Dengan kekayaan rumput laut yang melimpah di Indonesia, wajar bila sekiranya negeri ini bisa memanfaatkan komoditas tersebut untuk sebesar-besarnya perekonomian negara dan kesejahteraan rakyatnya.
Namun tantangan yang harus dihadapi pada saat ini adalah ekspor komoditas rumput laut dari Indonesia masih didominasi oleh rumput laut kering, atau lebih dari 80 persen diekspor dalam bentuk mentah.
Padahal rumput laut yang merupakan bahan baku mentah itu diekspor ke berbagai negara yang akan dimanfaatkan untuk industri pengolahan di beragam negara sasaran ekspor tersebut.
Sebagaimana diketahui negara sasaran ekspor rumput laut dari Indonesia antara lain adalah China, Korea Selatan, negara-negara di kawasan Uni Eropa, Jepang, dan Amerika Serikat.
Pada periode Januari-September 2020 ekspor rumput laut Indonesia diketahui mencapai hingga 135,16 ribu ton dengan nilai ekspor sebesar 207,18 juta dolar AS.
Bila saja industri pengolahan di Indonesia sudah bisa mengolah berbagai banyaknya rumput laut kering atau bahan baku mentah yang terdapat di dalam negeri, maka akan semakin besar pula nilai manfaat perekonomian yang akan diperoleh.
Belum lagi diketahui bahwa sebenarnya potensi lahan budi daya rumput laut mencapai hingga sekitar 12,3 juta hektare, dan baru dimanfaatkan sekitar 272 ribu hektare (sekitar 2,25 persen) sehingga sebenarnya masih banyak sekali potensi yang bisa diraih ke depannya.
Saat ini sudah ada 36 Unit Pengolah Ikan (UPI) pengolahan rumput laut yang sudah mengantongi Sertifikat Kelayakan Pengolahan (SKP), dimana paling banyak terdapat di Jawa Timur (11 UPI) dan Sulawesi Selatan (9 UPI).
Selain itu ada beberapa pabrik rumput laut yang diinisiasi pemerintah yang tersebar di beberapa wilayah yaitu di Kalimantan Utara, Gorontalo, Ternate, Luwu Timur, Bone, Jeneponto, Bombana, Buton Tengah dan Buton.
KKP sendiri juga telah membangun situs Tropical Seaweed Innovation Network (TSIN) sebagai platform untuk memperkuat jejaring pengembangan komoditas rumput laut di Tanah Air.
TSIN dinilai dapat berperan sebagai media yang efektif guna menjembatani komunikasi bisnis dan diseminasi hasil-hasil penelitian antara lembaga penelitian dan industri.
Tak hanya itu, TSIN juga diharapkan menjadi media koordinasi dan sinergi rencana aksi Pengembangan Industri Rumput Laut Nasional.
Sedangkan dalam hal strategi, KKP juga telah memiliki berbagai upaya percepatan peningkatan produksi rumput laut seperti melalui penyediaan bibit rumput laut kultur jaringan yang diproduksi oleh UPT DJPB (Ditjen Perikanan Budidaya) di antaranya di Lampung, Jepara, Situbondo, Takalar, Lombok, Ambon.
Penggunaan rumput laut kultur jaringan diyakini dapat memberikan hasil yang lebih baik di mana laju pertumbuhan rumput laut kultur jaringan sebesar 11,5 persen, sementara yang biasa hanya 7,5 persen.
Selain itu, ujar dia, rumput laut kultur jaringan juga memiliki kandungan karaginan yang lebih tinggi yaitu 40 persen, sedangkan kandungan karaginan rumput laut nonkultur jaringan hanya 34 persen.
Untuk itu para pembudidaya di berbagai daerah produksi rumput laut diharapkan pula untuk mengikuti petunjuk dari dinas, para penyuluh dan juga UPT DJPB dalam melakukan teknik budidaya.
Bagaimana halnya dengan kondisi pandemi yang saat ini sedang mencengkeram berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia?
Asosiasi Rumput Laut Indonesia (ARLI) berharap dalam transisi menuju kondisi normal baru industri rumput laut bisa terus meningkatkan produksi rumput laut.
Ketua ARLI Safari Azis mengutarakan harapannya agar benar-benar ada sinergi antara berbagai pihak dari hulu ke hilir, baik dunia swasta dengan pemerintah hingga kalangan akademisi.
Hal tersebut, karena Safari, karena pandemi telah mengakibatkan sejumlah pembeli atau industri terkait di negara sasaran ekspor tidak dapat bekerja secara optimal atau mengurangi jadwal kerja. Bahkan ada industri yang terpaksa menutup sementara demi menjaga kesehatan pekerjanya sehingga menimbulkan distorsi pasar.
Untuk itu sangat penting agar seluruh pemangku kepentingan berkolaborasi optimal untuk dapat memanfaatkan rumput laut di dalam negeri secara optimal untuk melesatkan kinerja perekonomian nasional.
Peluang "superfood" rumput laut demi ekonomi nasional
Selasa, 2 Februari 2021 10:44 WIB 1490