AP Hasanuddin berkomentar dalam unggahan status Thomas Djamaluddin yang mempermasalahkan perbedaan penetapan Idul Fitri 1444 Hijriah/2023 antara Pemerintah dan Muhammadiyah, dengan kata-kata yang tak sepantasnya dikeluarkan oleh seorang berpendidikan dan bekerja sebagai peneliti.
Unggahan itu ia tulis di pukul 15.30 WIB di kediamannya di Jombang, Jawa Timur.
“Perlu saya halalkan gak neh darah darahnya semua Muhammadiyah? apalagi Muhammadiyah yang disusupi Hizbut Tahrir melalui agenda Kalender Islam Global dari Gema Pembebasan? Banyak bacot emang, sini saya bunuh kalian satu-satu. Silahkan laporkan komen saya dengan ancaman pasal pembunuhan, saya siap dipenjara. Saya capek lihat pengaduhan kalian,” tulis AP Hasanuddin kala itu.
Sebelum unggahan itu viral dan memancing kemarahan warga Muhammadiyah, hingga berujung pada laporan polisi tanggal 25 April di Bareskrim Polri dan sejumlah polda, Tim Patroli Siber Direktorat Tindak Pidana Siber (Dittipidsiber) Polri terlebih dahulu menemukan adanya dugaan ujaran kebencian bermuatan SARA yang bernada provokatif yang dilakukan oleh AP Hasanuddin.
Dari temuan tersebut, Tim Patroli Siber melakukan profiling si pengunggah, lalu menganalisis kontennya, jenis pelanggarannya, lalu memeriksanya kepada saksi ahli, yakni ahli bahasa, ahli ITE dan ahli hukum pidana. Setelah itu tim siber menerbitkan laporan informasi untuk diteruskan kepada penyidik Subdit II Dittipidsiber.
Direktur Tindak Pidana Siber (Dirtipidsiber) Bareskrim Polri Brigjen Pol. Adi Vivid A Bactiar menyatakan apa yang ditulis oleh AP Hasanuddin mengandung unsur tindak pidana ujaran kebencian berdasarkan hasil analisis para ahli.
Dia menghalalkan darah semua warga Muhammadiyah, menakut-nakuti, pengancaman masalah pembunuhannya, yakni pada "akan saya bunuh satu per satu". Kata-kata tersebut, kata ahli, menghalalkan darah warga Muhammadiyah dan mengancam bunuh satu per satu. Dua frasa itu jelas mengandung unsur pidana.
Ancaman medsos
Akibat postingannya, AP Hasanuddin tidak hanya berurusan dengan pihak berwajib. Peneliti berusia 30 tahun itu menghadapi kemarahan warga Muhammadiyah. Sehingga saat akan ditangkap di kediamannya pada 30 April di Jombang, peneliti Astrologi itu sempat meminta perlindungan kepada polisi.
Saat ditampilkan kepada publik melalui media di Bareskrim Polri, Senin (1/5), AP Hasanuddin tidak bersedia untuk bicara ataupun menyampaikan permintaan maaf.
Dari keterangannya kepada penyidik, kalimat bernada ancaman dan ujaran kebencian itu ditulisnya sebagai bentuk kekhilafan dengan alasan lelah dan emosi karena diskusi panjang tiada akhir.
Penyidik juga memastikan tersangka tidak berniat untuk mewujudkan ancamannya untuk membunuh satu per satu warga Muhammadiyah.
Pakar psikologi forensik Reza Indragiri Amriel mengingatkan aparat penegak hukum dan juga masyarakat untuk tidak memandang sebelah mata adanya ancaman pembunuhan, seperti yang dilontarkan oleh peneliti BRIN kepada warga Muhammadiyah.
Sudah banyak contoh yang dapat dijadikan pelajaran dari kasus ancaman yang disampaikan lewat media sosial, seperti situasi-situasi yang terjadi di mancanegara.
Salah satunya, Salvador Ramos, sebelum menembak 19 murid dan dua guru pada Mei 2022, ia mengirim pesan di akun Facebook-nya yang berbunyi “Saya akan melakukan penembakan di sebuah SD”.
Kemudian, Travis McMichael juga meninggalkan jejak digital berupa pesan kebencian pada kalangan tertentu, sebelum menembak orang dari kelompok sosial yang dia benci.
Ketika ancaman pembunuhan saja sudah tidak patut dipandang sebelah mata, apalagi jika ancaman itu diekspresikan dalam bentuk hate crime (kejahatan berlatar kebencian).
Cerdas bermedia sosial
Kini AP Hasanuddin harus mempertanggungjawabkan perbuatan atas kelalaiannya untuk bijak saat bermedia sosial. Ia harus menjalani penahanan di Rutan Bareskrim Polri selama proses penyidikan berlangsung.