Jakarta (ANTARA) - Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) resmi melakukan intervensi terhadap permohonan uji materi kewenangan jaksa menyidik tindak pidana korupsi dengan mengajukan permohonan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) dengan materi tetap mempertahankan kewenangan kejaksaan melakukan penyidikan perkara korupsi.
"Uji materi penguatan dan penambahan kewenangan jaksa melakukan penyidikan korupsi telah didaftarkan secara online siang tadi,” kata Koordinator MAKI Boyamin Saiman saat dikonfirmasi di Jakarta, Senin.
Pokok perkara yang dimohonkan oleh MAKI adalah uji materi Pasal 30 ayat (1) huruf D Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI terhadap Undang-Undang Dasar (UUD) NRI Tahun 1945.
Permohonan secara daring tersebut telah diterima oleh MK dengan nomor registrasi online: 61/PAN.ONLINE/2023. Permohonan ini sebagai bentuk intervensi MAKI terhadap permohonan uji materi Nomor : 28/PUU-XXI/2023 diajukan oleh M. Yasin Djamaludin.
Ada 23 alasan yang disampaikan MAKI dalam permohonan uji materi-nya, di antaranya aturan terkait dengan kewenangan jaksa menyidik perkara korupsi, seperti kewenangan kejaksaan memberantas korupsi, kolusi, dan nepotisme itu secara tegas dinyatakan dalam Penjelasan Umum (Alinea V) Undang-Undang Nomor16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan.
Frasa "memberantas" harus dimaknai bukanlah tindakan yang bersifat administratif, melainkan merupakan penegakan hukum berdasarkan hukum acara sesuai tugas dan fungsi Kejaksaan.
MAKI juga memberikan alasan mempertahankan kewenangan jaksa menyidik perkara korupsi bahwa Kejaksaan Republik Indonesia dalam melakukan penyidikan perkara korupsi telah berhasil menembus batasnya, yaitu mampu merumuskan kerugian perekonomian negara dalam perkara impor tekstil di Batam, perkara langka, dan mahalnya minyak goreng dan perkara korupsi perkebunan ilegal dengan tersangka atas nama Surya Darmadi.
Selain itu, MAKI dan sejumlah pemohon lainnya juga mengkhawatirkan kemungkinan terjadinya kekacauan praktik penegakan hukum chaos apabila dihapusnya kewenangan penyidikan perkara korupsi oleh Kejaksaan. Prediksi para pemohon adalah kejaksaan akan memperketat atau mempersulit status lengkap berkas perkara (P-21) yang penyidikannya oleh lembaga lain (secara psikologis setidaknya kekacauan ini akan berlangsung 8 tahun).
Pemohon juga menyampaikan, bahwa dalam perkembangannya kewenangan penuntutan tidak hanya menjadi monopoli kejaksaan dikarenakan Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia (KPK) juga berwenang melakukan penuntutan perkara korupsi.
Dengan demikian, berdasar perkembangan ini maka penyidikan perkara korupsi oleh kejaksaan adalah hal yang sesuai tuntutan dan perkembangan zaman. Berlakunya hukum adalah tidak berdiri sendiri dan mengikuti arah zaman.
Dalam permohonannya, MAKI juga memberikan perbandingan jumlah penanganan korupsi oleh aparat penegak hukum, yakni Kejaksaan RI, KPK dan Polri periode tahun 2021 sampai dengan 2023.
Pada tahun 2021, kejaksaan menangani 1.856 perkara korupsi, kemudian pada tahun 2022 sebanyak 1.689 perkara, dan pada tahun 2023 sebanyak 361 perkara. Sementara itu, KPK pada tahun 2021 sebanyak 107 perkara dan pada tahun 2022 sebanyak 120 perkara, sedangkan pada tahun 2023 belum ada catatan laporan.
Ia menyebutkan Polri menangani 130 perkara pada tahun 2020 dan 138 perkara pada tahun 2022, sedangkan pada tahun 2023 belum ada catatan.
Selama 2021 Kejaksaan RI melakukan penuntutan sebanyak 1.633 perkara, pada tahun 2022 sebanyak 2.023 perkara dan pada tahun 2023 sebanyak 592 perkara. Sementara itu, KPK sebanyak 122 perkara pada tahun 2021 dan 133 perkara pada tahun 2022.
Kejaksaan RI melakukan eksekusi terhadap 975 terpidana korupsi pada tahun 2021, sebanyak 1.669 terpidana pada tahun 2022, dan 448 terpidana pada tahun 2023. Sementara itu, KPK 95 terpidana pada tahun 2021 dan 101 terpidana pada tahun 2022.
Disebutkan pula jumlah kerugian keuangan negara yang muncul dalam perkara tindak pidana korupsi yang ditangani oleh Kejaksaan RI pada tahun 2021 sebesar Rp23,456 triliun, Rp 26,489 triliun pada tahun 2022 dan Rp2,486 pada tahun 2023.
Sementara itu, KPK Rp596 miliar pada tahun 2021 dan Rp2,2 triliun pada tahun 2022. Polri Rp 2,3 triliun pada tahun 2021 dan Rp1,3 triliun pada tahun 2022.
"Para pemohon dengan ini memohon kiranya MKRI berkenan memeriksa, mengadili, dan memutuskan permohonan para pemohon," tulis pemohon.