Salah satu pengasuh, Essy Trisia Ngongo sudah lima bulan merawat bayi tersebut dan secara bergiliran merawat bayi-bayi itu
Perempuan dari Sumba, Nusa Tenggara Timur, itu memang suka dengan anak-anak. Ia pun telaten merawat bayi asuhnya, mulai dari bangun tidur, menyiapkan dan menyuapi makanan, pakaiannya, hingga merawat mereka saat sakit dan kembali tidur.
Mereka saat ini dalam kondisi sehat dan terawat. Tumbuh kembangnya pun menyesuaikan usianya.
Ada yang sudah bisa makan bubur atau makanan tambahan setelah susu formula, belajar berbalik badan, merangkak, berjalan, hingga mulai berbicara “bapak”.
Untuk keseharian, mereka tidur didampingi para pengasuh itu selama 24 jam di empat kamar yang berada di lantai dua.
Burhan yang berusia 46 tahun itu awalnya merawat dan mengasuh 20 bayi yang berusia dua bulan hingga 1,8 tahun.
Dua di antaranya sudah kembali ke pangkuan ibu kandungnya dan empat lainnya juga sudah bersama ibu kandungnya, namun keperluannya masih didukung oleh yayasan milik Burhan, sehingga kini menyisakan 14 orang bayi, tiga laki-laki dan 11 orang perempuan.
Bayi itu dijemput langsung oleh Burhan setelah dihubungi oleh sang ibu kandung.
Untuk menerima bayi tersebut, ia mengaku persyaratannya sederhana, yakni cukup Kartu Tanda Penduduk (KTP) sang ibu kandung serta menandatangani dokumen penyerahan pengasuhan sementara.
Motivasi Burhan
Pria lajang yang menjadi “bapak” dari malaikat kecil itu mengaku belum mengetahui sampai kapan ia akan merawat sementara bayi-bayi tersebut.
Ia akan menunggu kesiapan orang tua atau ibu kandungnya untuk menerima kembali anak mereka agar hubungan darah tidak terputus.
Namun, jika orang tua tersebut tak kunjung menerima, maka jalan terakhir adalah adopsi yang bukan melalui yayasannya, namun harus melalui pemerintah yakni dinas sosial.
Meski begitu, bagi Burhan, yang terpenting mereka saat ini selamat dan sehat, tidak telantar, atau bahkan tidak dibuang, misalnya di tempat sampah, seperti kebanyakan kasus bayi lahir di luar nikah.
Ia tak ingin bayi yang tak berdosa itu tidak mendapatkan kasih sayang, sehingga ditelantarkan atau dibuang akibat ibunya kalut dan bingung karena beragam alasan, di antaranya ketakutan dan penolakan dari keluarga, hingga lingkungan.
Menurut dia, selagi masih hidup dan bisa berkontribusi, harus membantu menyelamatkan generasi masa depan itu.
Rasa nurani dan iba membuat dirinya tak ingin menjadi sosok di "meja hijau pengadilan" terkait latar belakang sang bayi.
Bukan sekali ini saja ia bersosial. Saat gempa Yogyakarta pada 2006, ia juga ikut membantu perlengkapan anak-anak sekolah yang terdampak bencana alam itu.
Terlepas dari latar belakang sang anak, memberikan tempat yang layak sekaligus menjadi atap untuk bernaung dan berlindung, sejatinya memberikan hak untuk hidup dan terus tumbuh, sehingga memberikan kemerdekaan mendasar bagi sang anak.
Meski tak bisa memiliki kasih sayang sebagai hak dasar seorang bayi, Burhan mampu menggantikan peran tersebut agar bayi itu bebas merasakan kehangatan, perhatian, dan kasih sayang.
Tak hanya itu, bayi-bayi itu juga merdeka dari potensi kekerasan fisik dan verbal karena terhindar dari potensi telantar dan dibuang.
Harapannya sosok-sosok seperti Burhan yang peduli dengan sosial itu terus bermunculan di negeri ini dengan caranya masing-masing untuk mengisi Kemerdekaan RI.
“Saya lebih senang kalau yayasan ini tutup. Kalau bayi bertambah banyak, saya tambah prihatin. Maunya tidak ada lagi tempat seperti ini, tidak ada bayi yang telantar atau bayi dibuang,” ucap Burhan berkaca-kaca, ketika ditemui ANTARA.