Jakarta (ANTARA) - Tenaga medis dari Rumah Sakit Sardjito Yogyakarta dr Bangbang Aryanto SpKN-TM mengatakan, nuklir yang digunakan dalam kedokteran nuklir berskala medis, sehingga sangat aman, bahkan menguntungkan untuk diagnostik dan terapi, salah satunya pada penyakit kanker.
Bangbang mengatakan, di Indonesia, ketika orang mendengar kata 'nuklir', yang terpikir adalah bom atau perang. Dia menjelaskan bahwa nuklir yang digunakan dalam kedokteran nuklir berasal dari sumber-sumber radioaktif buatan, namun masih dalam skala yang aman.
"Jadi kedokteran nuklir itu pelayanan, sumber pelayanan kesehatan yang menggunakan sumber radioaktif terbuka untuk peranan diagnostik, in vitro (di lab) maupun in vivo (dalam tubuh), untuk terapi dan penelitian," ujar Bangbang dalam "Kedokteran Nuklir di RS Sardjito, Ini Perannya dalam Pelayanan Kesehatan" yang disiarkan oleh Kementerian Kesehatan di Jakarta, Senin.
Dia menjelaskan, yang membedakannya dengan radiologi adalah sumber energi radiasi tertutup yang berasal dari alat, seperti X-ray, CT scan, dan MRI.
"Sedangkan di kedokteran nuklir, kita memberikan sumber radiasi terbuka melalui intravena (lewat pembuluh darah). Disuntikkan, dihirup, ditelan, lalu masuk ke dalam tubuh pasien, sehingga pasien sendiri yang akan memancarkan radiasi tersebut," ujarnya menambahkan.
Kemudian, ujarnya, radiasi yang dipancarkan oleh pasien tersebut ditangkap oleh kamera gamma, sehingga ada citranya.
Bangbang menjelaskan, dengan teknik kedokteran nuklir, fungsi organ juga dapat diketahui secara lebih presisi dalam diagnosis.
Dia mencontohkan, dalam pemeriksaan ginjal yang menggunakan USG, dapat diketahui bentuk dan kontur ginjal, namun tidak diketahui fungsi ginjal tersebut. Sementara itu, ujarnya, dengan menggunakan teknik kedokteran nuklir, meski tidak diketahui kontur dan bentuknya, fungsi ginjal tersebut dapat diketahui, seperti persentase dan tingkat laju filtrasi glomerular yang dihitung dalam mililiter per menit.
Adapun contoh penggunaan teknik kedokteran nuklir yang paling sering digunakan adalah untuk pasien-pasien kanker tiroid, menggunakan iodium-131.
"Dengan iodium radioaktif ini, kita menggunakan paparan sinar betanya untuk menghancurkan kelenjar tiroid," ujarnya.
Dia menjelaskan, pengobatan dilakukan dengan skala molekuler yang sangat sensitif supaya tidak merusak jaringan lain.
Dokter: Nuklir skala medis menguntungkan dalam diagnostik dan terapi
Senin, 12 Februari 2024 21:46 WIB 1144