Jakarta (Antara) - Anggota Komisi X DPR Anang Hermanyah mengatakan di tahun 2017 semua urusan terkait dengan sektor ekonomi kreatif harus masuk dalam sistem digital.
Langkah ini, menurut dia kepada pers di Jakarta, Kamis, merupakan upaya untuk melakukan transparansi.
Digitalisasi di sektor ekonomi kreatif seperti musik, film, penjualan buku serta hak kekayaan intelektual lainnya.
"Dengan digitaliasi sistem ini akan berdampak pada transparansi. Ujungnya pada peningkatan pendapatan negara serta penguatan kepada pelaku kreatif," ujar Anang.
Karena itu, memasuki tahun baru 2017 persoalan yang selama 2016 belum tuntas diharapkan dapat selesai di tahun 2017.
Musisi asal Jember ini mencontohkan sistem digitalisasi yang dimaksud seperti di sektor musik yang harus diketahui secara presisi oleh pelaku industri musik mulai dari pencipta lagu serta penyanyi.
"Kapan dan dimana lagunya diputar baik di rumah karaoke, restoran, pusat perbelanjaan dan lain-lain yang erat kaitannya dengan pembayaran royalti," katanya.
Menurut dia, aturannya sudah ada di UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta terdapat kewenangan Lembaga Manajemen Kolektif (LMK).
"Sayang sampai hari ini belum ada aturan operasional yang detil," kata wakil rakyat dari Dapil Jatim IV (Jember-Lumajang) ini.
Hal yang sama juga hendaknya diterapkan dalam industri perfilman di Indonesia. Saatnya Indonesia menerapkan sistem "box office" untuk mendapat pemetaan yang akurat tentang penyebaran film yang tengah diputar.
Tidak sekadar itu, dengan sistem ini, distribusi film akan transparan dan akuntabel.
"Efek positifnya, penerimaan negara melalui pajak dari sektor film akan akuntabel dan transparan," katanya.
Dengan sisten ini juga akan menguntungkan bagi pelaku industri film mulai dari pemain film, sutradara, produser dan seluruh pihak yang terlibat.
Anang berharap pemerintah secara serius membereskan agenda digitalisasi sistem terkait dengan hak cipta dan karya intelektual. Langkah tersebut mestinya bisa dilakukan asal ada kehendak politik yang kuat dari pemerintah.
"Seperti persoalan pungli saja bisa dibereskan, masa' perkara akuntabilitas dalam hak cipta tidak bisa dilakukan?," katanya.
Jika mungkin, Presiden Joko Widodo bisa turun tangan juga untuk menyelesaikan persoalan ini.
"Karena sektor ini terkait dengan daya saing kita dengan negara-negara lainnya. Ini soal marwah dan martabat Indonesia," kata Anang.
Menurut dia, persoalan pembajakan produk karya intekektual seperti musik dan film hingga saat ini masih mudah dijumpai di lapangan. Padahal sejak lama telah menyuarakan pemberantasan pembajakan ini.
Tapi faktanya pembajakan secara demonstratif mudah ditemukan di pasaran. Pelaku pembajakan benar-benar melecehkan hukum dan aparat penegak hukum.
"Saya paham mengapa masih terjadi pembajakan karena aktor intelektualnya belum ditindak sampai detik ini," kata Anang.
Anang mengutip data Asosiasi Industri Rekamam Indonesia (ASIRI) pada 2014 yang mengungkapkan kerugian industri sebesar Rp12,6 triliun serta kerugian negara melalui pajak sebesar Rp1,2 triliun.
Angka tersebut terdiri atas pembajakan fisik, pembajakan digital, penyalahgunaan konten di rumah karaoke serta hak hak pertunjukan di televisi dan radio.
"Saya meyakini, jika sistem pengawasannya 'real time' melalui 'online', penyelewengan di sektor ini akan dapat ditekan," kata Anang.