R. Prawoto bahkan mencatat dalam jurnal kolonial tahun 1931 bahwa para gowok dibayar dengan tarif harian, berkisar antara 0,25 hingga 0,30 gulden dan biasanya mendapat tambahan berupa beras, kelapa, atau bingkisan lainnya.
Namun, tugas mereka tidak berhenti di ranjang seorang gowok harus mengurus pakaian, memasak, bahkan mengurus keperluan sehari-hari sang murid.
Pergowokan dalam Lensa Antropologi dan Feminisme
Praktik ini sempat menjadi kontroversi, bahkan dianggap menyinggung nilai-nilai moral oleh kaum kolonialis dan modernis.
Namun di balik kontroversinya, terdapat nilai edukatif yang sebenarnya progresif: mengakui pentingnya persiapan emosional dan seksual sebelum menikah.
Dalam jurnal akademis Dyah Siti Septiningsih, “Gowokan, Persiapan Pernikahan Laki-Laki Banyumas,” disebutkan bahwa wanita gowok rata-rata berusia 23-30 tahun dan dianggap sebagai sosok ideal untuk membekali calon pengantin pria dalam memasuki kehidupan dewasa.
Baca juga: Badai rumah tangga tak terduga di "Ipar Adalah Maut"
Baca juga: Cuplikan "Bumi Manusia" dirilis
Tradisi ini juga menunjukkan dinamika gender yang unik. Di satu sisi, ia memperkuat posisi perempuan sebagai pengajar, namun di sisi lain juga membuka perdebatan soal eksploitasi dan relasi kuasa.
Seiring waktu dan perubahan nilai masyarakat-khususnya dengan menguatnya ajaran Islam di Jawa-praktik ini pun memudar dan hanya tersisa sebagai catatan budaya.