Pekanbaru (ANTARA) - Satriandi, begitulah orangtuanya memberikan nama. Bisa jadi, satria yang menjadi bagian namanya adalah harapan sang ayah agar anaknya kelak menjadi pembela kebenaran dan penumpas kejahatan.
Terbukti, Satriandi berhasil menjadi anggota Polri dan bertugas di Polres Rokan Hilir, Provinsi Riau. Orangtuanya mulai bangga. Namun kebanggaan itu seolah pupus. Pada 2012, Satriandi berulah.
Satriandi yang saat itu berpangkat Brigadir Polisi terjerat jaringan setan pengedar narkoba. Diapun dipecat dengan tidak hormat. Ironis.
Pengalaman menjadi polisi sekaligus mengedarkan narkoba ternyata membuat Satriandi lebih leluasa mengedarkan barang haram tersebut. Diapun sering berpindah-pindah domisili menghindari endusan mantan rekan-rekannya di korps Bhayangkara.
Pada Mei 2015, Satriandi tercium polisi sedang berada di hotel mewah di Jalan P Dipponegoro, Kota Pekanbaru. Polisi pun segera menggedor pintu kamar di lantai 8 hotel. Tak mau ditangkap sia-sia, Satriandi nekad melompat dari kamar hotel dengan menanggung segala risikonya.
Kakinya patah, kepalanya bocor dan beberapa tulangnya remek. Usai mendapatkan perawatan, Satriandi tetap harus berurusan dengan polisi guna mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Setelah kondisi fisiknya dianggap pulih, Satriandi segera diperhadapkan ke meja hijau. Namun jaksa berkata lain, cidera serius di kepalanya membuat penyidikan tidak berjalan lancar. Mantan polisi itu dianggap mengalami gangguan kejiwaan. Meski sebenarnya, dia sudah "gila" karena sewaktu menjadi polisi, dia tidak bisa menjadi aparat yang baik sesuai harapan orangtua dan masyarakat luas pada umumnya. Diapun bebas karena kegilaannya.
Pada 7 Januari 2017, Satriandi kembali berulah. Dia menembak matiJodi Setiawan (21) di sebuah rumah di Jalan Hasanuddin, Kota Pekanbaru. Jodi ditengarai adalah rekan bisnis Satriandi di bidang narkoba. Meski sempat kabur, Satriandi akhirnya ditangkap polisi di wilayah Batipuh, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat.
Namun belum genap setahun menjalani masa tahanan, tepatnya pada 22 November 2017, Satriandi bersama rekannya kabur dari Lapas Pekanbaru.
Satriandi mengancam sipir penjara dengan sepucuk pistol kiriman dari rekannya saat dibesuk. Sebuah mobil minibus telah menunggunya di depan Lapas. Semudah itukah sistem pengamanan Lapasdi negeri ini bisa ditembus?
Dengan kaki terpincang-pincang akibat luka saat terjun dari kamar hotel, Satriandi berhasil menghirup udara bebas. Petualangan selanjutnya siap dilaksanakan.
Kembali ke corebusiness, usaha haram narkoba kembali digelutinya. Dengan bekal jaringan yang dimilikinya, jual beli narkoba adalah hal yang mudah, uang bergelimang namun sesungguhnya hidup tak tenang. Selalu berpindah-pindah menghindari aparat menerjang.
Pada Selasa pagi (23/7), batas hidup Satriandi sudah ditetapkan. Dia dan rekannya tewas dalam penggrebekan maut. Polisi sudah mengintainya selama beberapa hari.
Satriandi tewas di rumah orangtuanya di Jalan Sepakat, Kota Pekanbaru. Rumah yang seharusnya bisa membuat tenang Satriandi. Di rumah itu ditemukan beberapa pucuk senjata api, ratusan amunisi, granat, rompi antipeluru dan peralatan tempur lainnya.
Selama iniSatriandi diduga terlibat jaringan narkoba internasional. Saat olah TKP, ditemukan tujuh paspor dan transaksi mencurigakan di 31 akun rekening bank.
Pertanyaannya, dari mana sejumlah senjata api berikut amunisi tersebut dimiliki Satriandi dan komplotannya. Satriandi juga memiliki paspor atas namanya sendiri.
Kepemilikan paspor Satriandi dinilai janggal karena yang bersangkutan sedang berkasus, tak mungkin bisa seenaknya memiliki paspor.
Akhir petualangan Satriandi, seharusnya bisa menguak misteri siapa saja orang dekatnya, terutama pihak yang menyuplai amunisi ataupun membantu membuat paspor.
Terlebih lagi ada seorang yang ditangkap hidup-hidup di Selasa pagi nahas itu. Diharapkan, dia bisa membuka kotak pandora peredaran narkoba di Riau yang dikenal surganya peredaran narkotika dan sejenisnya.
Satriadi, pecatan polisi gembong narkoba Riau
Rabu, 24 Juli 2019 15:37 WIB 3554