Kupang (Antara) - Nahkoda KM "Mutiara" Mohamad Amin dan seluruh anak buah kapal hanya bisa tertunduk lesu dalam lamunan nan jauh, ketika menyaksikan keganasan kapal-kapal pengguna pukat harimau (trawler) dari Benoa, Bali menangkap ikan di perairan Laut Timor.

Pada pekan pertama November 2013, kapal-kapal pengguna pukat harimau dari Benoa itu beroperasi di wilayah perairan selatan dan barat Laut Timor yang merupakan basisnya ikan cakalang, tuna, kakap merah serta ikan-ikan dasar.

"Sekali melingkar (mengepung kawanan ikan), kapal-kapal pengguna pukat harimau itu bisa menjaring ratusan ton ikan. Kalau kondisi ini dibiarkan terus berlalu, ikan dari Laut Timor bisa terkuras habis," tambah Abdul Wahab Sidin, salah seorang anak buah kapal (ABK) KM "Pool and Line".

Ketika itu, KM "Mutiara" sudah berkelana beberapa hari di Laut Timor, namun tak seekor ikan pun didapatnya.

"Kami terpaksa pulang dengan tangan hampa tanpa membawa seekor ikan pun ke pelabuhan pendaratan ikan (PPI) di Tenau Kupang," kata Wahab yang juga Ketua Bimbingan Masyarakat Nelayan pada Himpunan Nelayan Indonesia (HNSI) Kota Kupang itu.

KM "Kasih Setia" dari Benoa, Bali yang menangkap ikan di Laut Timor dengan menggunakan "trawler" itu, diperkirakan membawa pulang ratusan ton ikan dari Laut Timor menuju Benoa, Bali.

Kapal "trawler" dari luar Nusa Tenggara Timur (NTT) yang beroperasi di Laut Timor, bukan baru terjadi sekarang. Sejak 2009, kapal "trawler" sudah menyerbu Laut Timor.

"Kami tidak melarang mereka mencari ikan di wilayah perairan Laut Timor yang menjadi ladang kehidupan kami, namun hanya satu yang tidak kami inginkan adalah menangkap ikan dengan menggunakan pukat harimau. Penggunaan jaring raksasa Ini kan sudah dilarang, kenapa 'masih tetap saja beroperasi," kata Wahab dalam nada tanya.

Larangan penggunaan "trawler" memang sudah diatur dalam Keppres No.39 Tahun 1980 dan UU Perikanan No.31 Tahun 2004 tentang larangan penggunaan alat penangkapan ikan yang tak ramah lingkungan dan merusak dengan ancaman denda sebesar Rp2 miliar.

Larangan tersebut seirama pula dengan amanat Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Dalam konteks otonomi daerah, pemerintah daerah diserahi kewenangan melakukan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan dengan menempatkan kemakmuran rakyat sebagai arah dan tujuan yang hendak dicapai, terutama kemakmuran masyarakat nelayan di daerahnya.

"Bagaimana mungkin hal itu bisa diwujudnyatakan jika pemerintah tak sanggup menertibkan 'trawler' yang kian merajalela di wilayah perairan Laut Timor yang menjadi basis kehidupannya para nelayan tradisional di Kupang dan sekitarnya? Apakah sudah ada kongkalingkong antara petugas keamanan di laut dengan pemilik trawler," kata Wahab dalam nada tanya pula.

    
5-10 ton ikan
Menurut Mohammad Amin, jika "trawler" tidak mengganggu wilayah tangkapan nelayan NTT, dalam semalam KM "Mutiara" yang dinahkodainya atau kapal nelayan lainnya beroperasi di Laut Timor, bisa menjaring antara 5-10 ton ikan.

Ikan tersebut dilepas dengan harga Rp12.000/kg kepada perusahaan pengelola ikan untuk tujuan ekspor dan antarpulau, serta kepada para papalele yang ada di Kupang dan sekitarnya.

"Jika dalam semalam kami bisa dapat sekitar 10 ton ikan, misalnya, maka penghasilan kami terima dari hasil menjual ikan tersebut sebesar Rp120 juta," kata nelayan asal Sulawesi Selatan yang sudah puluhan tahun hidup dan menetap di Kupang.

Penjelasan Pasal 9 UU No.31 Tahun 2004 tentang Perikanan menegaskan "Pelarangan penggunaan alat penangkapan ikan dan/atau alat bantu penangkapan ikan diperlukan untuk menghindari adanya penangkapan ikan dengan menggunakan peralatan yang dapat merugikan kelestarian sumber daya ikan dan lingkungannya".

Hal itu dilakukan mengingat wilayah pengelolaan perikanan di Indonesia sangat rentan terhadap penggunaan alat penangkapan ikan yang tidak sesuai dengan ciri khas alam, serta kenyataan terdapatnya berbagai jenis sumber daya ikan di Indonesia yang sangat bervariasi, menghindari  tertangkapnya jenis ikan yang  bukan menjadi target penangkapan.

Surat Edaran Mahkamah Agung No.3 Tahun 1988, dimaksudkan sebagai tindak pidana yang mencakup perbuatan membawa, menyimpan, menggunakan, serta memperdagangkan jaring trawl. Tetapi, nyatanya "trawler" tetap saja beroperasi seperti yang disaksikan para nelayan Kupang saat beroperasi di Laut Timor, pekan lalu.

Sebagaimana disebutkan dalam Keppres No.39 Tahun 1980 bahwa pengaturan tentang jalur penangkapan ikan diatur dengan Keputusan Menteri Pertanian. Ada dua Keputusan Menteri Pertanian dalam hal ini, yakni Keputusan Menteri Pertanian Nomor 694 Tahun 1980, dan Keputusan Menteri Pertanian Nomor 392 Tahun 1999, sebagai pengganti Keputusan Nomor 694 Tahun 1980.

Dalam UU Perikanan juga ditekankan tentang pengelolaan perikanan yang optimal, berkelanjutan, dan terjamin kelestarian sumberdaya ikan, dengan mempertimbangkan hukum adat dan/atau kearifan lokal, dan memperhatikan peran serta masyarakat (Pasal 6).

Dalam konteks pengelolaan, sebagaimana Pasal 7 UU Perikanan, Menteri Pertanian menetapkan jenis, jumlah, ukuran alat penangkapan ikan, jalur dan waktu atau musim penangkapan ikan yang wajib dipatuhi oleh semua nelayan.

SK Menteri Pertanian Nomor 503/KPTS/UM/7/1980 mendefinisikan trawl sebagai jenis jaring yang berbentuk kantong yang ditarik oleh sebuah kapal bermotor dan menggunakan sebuah alat pembuka mulut jaring yang disebut gawang (beam) atau sepasang alat pembuka (otter board) dan jaring yang ditarik oleh dua kapal bermotor.

Jenis jaring trawl dikenal dengan nama pukat harimau, pukat tarik, tangkul tarik, jaring tarik, jaring tarik ikan, pukat Apollo, serta pukat langgai.

Dalam Keputusan Nomor 694 Tahun 1980, diatur tiga hal penting. Hal penting pertama "Semua usaha perikanan yang kapal perikanannya menggunakan jaring trawl dilarang melakukan penangkapan ikan".

Larangan tersebut terhitung mulai 1 Oktober 1980 di perairan laut yang mengelilingi Pulau Jawa dan Bali dengan batas titik-titik koordinat sebelah Timur (garis bujur 116º30' BT), sebelah Utara (garis lintang 5º LS sampai garis bujur 106º BT), sebelah Barat (garis lurus yang menghubungkan titik 5º30' LS dan 160º20' BT 6º40' LS sampai dengan garis bujur 106º20' BT; 105 BT.

Sedang, terhitung mulai tanggal 1 Januari 1981 di perairan laut yang mengelilingi pulau Sumatera dengan batas titik-titik koordinat garis bujur 109º40' BT sampai dengan garis lintang 2º LU; garis lintang 2º LU, garis bujur 108º BT dari 2º LU s/d 2º LS, garis lintang 2º LS, garis bujur 109º BT dari 2º LS s/d 5º LS, garis lintang 5º LS, garis bujur 116º30' BT.

Hal penting kedua "Semua usaha perikanan dilarang melakukan pengangkutan ikan dengan kapal-kapal perikanan yang menggunakan jaring trawl ke Pulau Jawa dan Bali terhitung sejak tanggal 1 Oktober 1980, dan ke Pulau Sumatera terhitung sejak tanggal 1 Januari 1983".

Hal penting ketiga "Kapal-kapal perikanan yang menggunakan jaring trawl yang melanggar ketentuan-ketentuan di atas dipersamakan dengan kapal perikanan yang tidak memiliki SIUP/SKIP dan dapat dikenakan ketentuan pasal 8 Keputusan Presiden No. 39 tahun 1980".

Dalam Keputusan Menteri Pertanian Nomor 392 Tahun 1999--sebagai pengganti Keputusan Nomor 694 Tahun 1980--disebutkan bahwa daerah penangkapan ikan di laut terbagi atas tiga jalur penangkapan, yakni jalur penangkapan ikan yang meliputi perairan pantai diukur dari permukaan air laut pada surut terendah pada setiap pulau sampai dengan enam mil laut ke arah laut.

Berikutnya, jalur penangkapan ikan yang meliputi perairan di luar Jalur Penangkapan I sampai dengan 12 mil laut ke arah laut. Jalur penangkapan ikan berikutnya meliputi perairan di luar Jalur Penangkapan ikan II sampai dengan batas terluar Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI).

Jalur Penangkapan I dialokasikan untuk kapal tanpa motor atau bermotor dengan ukuran maksimal 5 GT, Jalur Penangkapan II untuk kapal bermotor dengan ukuran maksimal 60 GT dan Jalur III diperuntukkan bagi kapal bermotor dengan ukuran lebih besar dari 60 GT.

Sebelum lahirnya Keppres No. 39/1980, pengaturan jalur penangkapan ikan juga sudah diatur dengan SK Menteri Pertanian No. 607/Kpts/Um/9/1976.

Pertimbangan dikeluarkan SK ini adalah untuk melindungi pelestarian dan daerah perairan dari kegiatan penangkaran yang menggunakan jenis peralatan tertentu, serta melindungi nelayan kecil yang tingkat kemampuan operasional unit penangkapannya masih terbatas.

"Aturan kita sudah sangat jelas, tetapi trawler masih tetap saja beroperasi? Ini sebuah indikasi buruk yang patut dicurigai terhadap para keamanan laut. Kami tidak mau 'gigit jari' terus-menerus dengan lamunan yang jauh di sepanjang perairan Laut Timor yang menjadi ladang kehidupan kami nelayan kecil," demikian Abdul Wahab Sidin.

Pewarta: Oleh Laurensius Molan

Editor : Musriadi


COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2013