Jakarta (ANTARA) - Dalam kehidupan sehari-hari, baik di dunia nyata maupun maya, masyarakat gemar berkomentar atas tubuh dan penampilan orang, terutama perempuan.
Citra tubuh atau body shaming, meliputi segala tindakan mengejek atau menghina, bahkan UN Women memasukkan komentar citra tubuh sebagai bentuk pelecehan seksual secara fisik dan verbal.
Baca juga: Melestarikan tulisan tangan saat teknologi menawarkan kemudahan
Body shaming adalah bentuk kekerasan, bukan guyonan.
Survei Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia bersama Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2M) mengungkapkan, sebanyak 82,6 persen atau 704 responden jurnalis perempuan pernah mengalami kekerasan seksual selama berkarir jurnalistik.
Ada 10 jenis tindak kekerasan seksual terhadap jurnalis perempuan, dan paling tinggi adalah body shaming secara luring 58,9 persen dan daring 48,6 persen.
Riset berjudul "Kekerasan Seksual terhadap Jurnalis Perempuan Indonesia" itu menyurvei 852 jurnalis perempuan di 34 provinsi pada September - Oktober 2022.
Baca juga: Mencari sosok cawapres alternatif perempuan di Pilpres 2024
Penelitian itu bertujuan untuk menggali pengalaman jurnalis perempuan terkait beragam jenis kekerasan seksual, di ranah daring maupun luring, saat para jurnalis perempuan melakukan tugas jurnalistik.
Temuan AJI ini sangat mengejutkan karena di satu sisi perempuan jurnalis harus memikirkan agar lulus Uji Kompetensi Wartawan (UKW) sebagai profesional, namun di kantor atau di lapangan menemukan fakta yang dapat menjerumuskan mereka.
Tidak ada satu butir pun komponen UKW yang menunjukkan jurnalis perempuan dapat melawan kekerasan seksual.
Melawan kekerasan terhadap jurnalis perempuan
Jumat, 29 September 2023 9:36 WIB 1692