Aktivis Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Bengkulu menolak rencana pemerintah mengalihfungsikan kawasan hutan seluas 53 ribu hektare menjadi non-hutan atau area peruntukan lain (APL) yang masuk dalam revisi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Bengkulu.

“Analisis kami dengan lembaga jaringan menunjukkan bahwa usulan ini sarat kepentingan korporasi dalam hal ini pertambangan batu bara dan perkebunan skala besar,” kata DIrektur Walhi Bengkulu Beny Ardiansyah saat memberikan keterangan pers di Bengkulu, Selasa.

Ia mengatakan dari sejumlah analisis dan kajian peta perubahan fungsi kawasan hutan diketahui wilayah hutan yang diubah fungsinya tersebut sudah dibebani sejumlah perizinan, baik izin usaha pertambangan maupun hak guna usaha perkebunan skala besar.

Menurut Beny usulan alih fungsi hutan ini juga menjadi ajang “cuci dosa” sejumlah perusahaan perkebunan yang selama ini menyerobot kawasan hutan. Ia mencontohkan salah satu perkebunan modal asing di Kabupaten Mukomuko yang sudah menanami sawit di areal hutan seluas 1.884 ha dan saat ini diusulkan dialihfungsikan menjadi APL yang mencakup Hutan Produksi Terbatas (HPT) Air Manjunto Register 62, Hutan Produksi Konversi (HPK) Air Manjunto dan Hutan Produksi Terbatas (HPT) Air Ipuh II.

“Kami menganalisa ada 12 perusahaan tambang dan perkebunan yang menunggangi alih fungsi hutan Bengkulu ini,” kata Direktur Genesis Bengkulu Uli Siagian.

Berdasarkan analisis lembaga ini, dari 53.037,68 hektare kawasan hutan Bengkulu yang berubah fungsi menjadi Areal Peruntukan Lain (APL) seluas 21.412 ha atau 40 persen telah tumpang tindih dengan IUP dan HGU.

Sementara seluas 15.000 hektare atau 28 persen kawasan hutan yang diusulkan tersebut sebelumnya pernah dibebani izin usaha pertambangan.

“Kami melihat kepentingan korporasi yang diutaman sehingga kami akan menyurat Kementerian LHK dan meneruskan surat ini ke KPK agar mencermati proses revisi RTRW Provinsi Bengkulu,” ucapnya.

Sementara Direktur Yayasan Karti Hexa Prima Putra menilai momentum revisi kawasan hutan ini seharusnya menjadi ruang penyelesaian konflik tenurial antara rakyat dan negara.

Namun, yang terjadi, lanjut día, kepentingan korporasi sangat kental padahal pendapatan asli daerah dari sektor pertambangan dan perkebunan sangat tidak signifikan menyumbang pendapatan asli daerah.

“Pemerintah daerah tidak pernah belajar dari pengalaman lalu bagaimana perubahan fungsi hutan Bengkulu telah mengakibatkan bencana ekologis yang semakin parah,” katanya.

Sebelumnya, Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Provinsi Bengkulu Sorjum Ahyar dalam keterangan tertulisnya mengatakan perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan dilakukan untuk memenuhi tuntutan pembangunan serta aspirasi masyarakat dengan tetap berlandaskan pada optimalisasi distribusi fungsi dan manfaat kawasan hutan secara lestari dan berkelanjutan.

Perubahan fungsi kawasan hutan kata dia berdasarkan usul dari para bupati dan wali kota yang telah disampaikan ke Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Usul perubahan peruntukan dan fungsi sekitar 53 ribu hektare kawasan hutan menjadi non-hutan, sedangkan perubahan fungsi sekitar 2.067 hektare kawasan hutan dari Cagar Alam menjadi Taman Wisata Alam (TWA) dan perubahan fungsi 7.271 hektare kawasan hutan Taman Buru (TB) menjadi TWA.

Usul itu juga meliputi perubahan fungsi 2.191 hektare Hutan Produksi Terbatas (HPT) menjadi TWA, perubahan fungsi sekitar 3.450 hektare kawasan Hutan Lindung menjadi TWA, dan perubahan fungsi 246 hektare kawasan hutan dari TWA PLG Seblat menjadi Hutan Produksi yang dapat dikonversi (HPK).

Pewarta: Helti Marini S

Editor : Musriadi


COPYRIGHT © ANTARA News Bengkulu 2019