Jakarta (ANTARA) - Warga Kota Bengkulu merasakan guncangan gempa sangat kencang yang dipicu aktivitas subduksi Lempeng Indo-Australia ke bawah Lempeng Eurasia pada Rabu (19/8) pagi.
Peristiwa itu membuat mereka yang tinggal di RT05 Kelurahan Kandang Limun sempat enggan masuk rumah. Hingga pukul 06.30 WIB mereka masih bertahan di luar rumah karena khawatir terjadi gempa susulan.
Dalam catatan awal Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) setidaknya ada enam gempa susulan terjadi hingga pukul 06.13 WIB setelah gempa pertama dengan magnitudo 6,9 pada pukul 05.23 WIB di 169 kilometer (km) sebelah barat daya Bengkulu. Episenter gempa tersebut di 4.50 Lintang Selatan, 100.91 Bujur Timur pada kedalaman 10 km.
Gempa kedua terjadi sekitar lima menit berikutnya dengan magnitudo 6,8 pada pukul 05.29 WIB, dengan episenter di 3.74 Lintang Selatan, 101.56 Bujur Timur pada kedalaman 11 km dan berjarak 78 km barat daya Bengkulu Utara. BMKG menyebut gempa-gempa tersebut tidak menimbulkan tsunami.
BMKG kemudian memutakhirkan data kekuatan gempa pertama menjadi magnitudo 6,6 dengan episenter berada di koordinat 4.44 Lintang Selatan dan 100.97 Bujur Timur, atau sekitar 160 km sebelah barat daya Bengkulu pada kedalaman 24 km.
Sedangkan gempa kedua menjadi magnitudo 6,7 dengan episenter ada di 3.98 Lintang Selatan dan 101.22 Bujur Timur, atau sekitar 117 km arah barat daya Bengkulu dengan kedalaman 86 km.
Lantas BMKG menyebut keduanya sebagai gempa kembar atau doublet earthquake, karena dua gempa tersebut terjadi dengan magnitudo yang hampir sama, dalam waktu dan lokasi relatif berdekatan.
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Bengkulu mencatat satu rumah warga di Desa Sungai Gerong, Kabupaten Lebong, rusak karena gempa, namun tidak ada laporan korban jiwa.
Sebagai bentuk antisipasi dan untuk menolong cepat masyarakat maka sejumlah armada dan tim reaksi cepat (TRC) disiapkan jika terjadi gempa susulan.
Ahli gempa dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Widjo Kongko saat dihubungi dari Jakarta, Rabu, mengatakan berdasarkan pemodelan diketahui bahwa energi gempa pertama yang disebabkan mekanisme sesar naik (thrust fault) tersebut setara dengan 1,5 sampai dengan 2,2 kali kekuatan bom atom Hiroshima.
Ia memperkirakan area patahan dari gempa dengan magnitudo sebesar itu mencapai 30x15 km, dengan rata-rata geser atau slip atau dislokasi mencapai sekitar 80 sentimeter (cm).
Gempa tersebut terjadi di Zona Megathrust Mentawai-Pagai. Zona tersebut di deretan Megathurst Siberut-Mentawai (utara) dan Enggano (selatan) yang menyimpan potensi energi maksimal dengan magnitudo 8,5 hingga 8,9.
"Kita perlu menganalisis secara lebih detil dampak gempa ini terhadap potensi energi yang masih tersimpan di sana," kata Widjo saat ditanya bagaimana pengaruh gempa kembar tersebut terhadap energi megathust di sana.
Zona aktif
Widjo menyebut ada tsunami atau riak kecil yang disebabkan gempa tersebut setinggi 10 cm yang terdeteksi Stasiun Pasang Surut di Pulau Enggano yang berjarak 170 km dari episenter. Waktu tempuh tsunami kecil tersebut sekitar 30 menit atau berkecepatan 340 km per jam.
Kecepatan tsunami, menurut dia, memang sangat dipengaruhi dengan kedalaman laut. Namun yang terjadi pagi tadi hanya mencapai ketinggian lima hingga 10 cm sehingga tidak berarti apa-apa.
Namun demikian ia mengatakan sensor Cable-Tsunami-Meter (CBT) terdekat yang berada di Pulau Sipora tidak mendeteksi ada perubahan elevasi muka laut yang artinya tidak ada tsunami.
Kepala Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami BMKG Daryono mengatakan umumnya gempa dengan mekanisme sumber sesar naik dengan kedalaman dangkal jika berkekuatan di atas magnitudo 7,0 dapat berpotensi tsunami. Beruntung gempa kembar pagi tadi hanya memiliki magnitudo 6,6 dan 6,7, sehingga tidak berpotensi tsunami.
Meski demikian guncangan kuat dari gempa tersebut berada dalam skala intensitas IV MMI di Kota Bengkulu, Bengkulu Utara, Mukomuko, Seluma, dan Kepahiang, sehingga membuat panik warga di wilayah tersebut. Mereka sempat lari berhamburan keluar rumah.
Guncangan lemah juga dapat dirasakan mereka yang tinggal di apartemen di Serpong, Tangerang Selatan, dan Singgapura.
Hal tersebut, menurut Daryono, sangat mungkin terjadi karena adanya virbrasi periode panjang (Long period vibration) dari gelombang gempa.
Dari catatan BMKG, gempa kembar terdekat pernah terjadi pada 12 dan 13 September 2007 di Bengkulu dan Mentawai dengan magnitudo 8,4 dan 7,8. Kejadian alam itu karena pecahnya segmen Enggano yang menjalar dari utara Enggano sampai ujung Siberut.
Tercatat 25 orang meninggal dan 92 lainnya mengalami luka-luka. Gempa kembar tersebut dapat dirasakan di Singapura, Malaysia, bahkan Thailand.
Gempa kembar tercatat juga pernah terjadi di pesisir barat Sumatera pada 12 April 2012 dengan magnitudo 8,5 dan 8,1 pada posisi yang berdekatan. Saat itu, tercatat tsunami setinggi 30 cm terjadi di Sabang, Aceh.
Widjo menjelaskan lindu di Bengkulu tersebut adalah gempa kembar yang jarang terjadi, dengan mekanisme proses doublet yang masih belum banyak diketahui. Itu menunjukkan zona tersebut aktif atau sangat aktif.
Gempa kembar tersebut, menurut dia, sangat mungkin sekali memengaruhi kesetimbangan energi budget potensi gempa di daerah itu yang ke depannya perlu diwaspadai.
Potensi tsunami megathrust di sana mencapai di atas 10 meter. Karenanya, diingatkan tentang pentingnya mitigasi gempa dan tsunami disiapkan secara baik.