Jakarta (ANTARA) - Terpidana kasus korupsi "cessie" Bank Bali Djoko Soegiarto Tjandra mengungkapkan dana 500 ribu dolar AS (sekitar Rp7,4 miliar) untuk pengurusan perkara hukum bukan miliknya melainkan uang adik iparnya Tjandra Herriyadi Angga Kusuma.
"Itu uang Herriyadi sendiri, saya minta talangi dulu," kata Djoko Tjandra dalam sidang di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin.
Djoko Tjandra menjadi saksi untuk terdakwa mantan Kepala Sub Bagian Pemantauan dan Evaluasi II Biro Perencanaan Jaksa Agung Muda Pembinaan Kejaksaan Agung Pinangki Sirna Malasari.
"Saya bilang 'Her ada uang 'cash' tidak 500 ribu (dolar AS), dijawab 'ada bos' lalu saya katakan 'ok nanti kamu saya take lagi kepada siapa diberikan dan kapan diberikan, itu 25 November 2019 malam," ungkap Djoko.
Padahal dalam dakwaan disebutkan pada 26 November 2019, Joko Tjandra melalui adik iparnya, Herriyadi Angga Kusuma (almarhum), memberikan uang 500 ribu dolar AS kepada Andi Irfan Jaya di sekitar mall Senayan City.
"Anehnya Herriyadi tidak pernah lapor ke saya sudah berikan dan begitu juga Andi Irfan tidak melaporkan terima. Saya terlalu sibuk dengan pekerjaan saya jadi tidak mengecek," tambah Djoko.
Namun adik iparnya Herriyadi tersebut sudah meninggal dunia pada 18 Februari 2020.
"Jadi 500 ribu dolar AS hilang begitu saja?" tanya Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Agung KMS Roni.
"Tidak ada 1 sen pun yang saya bayar karena Herriyadi tidak bilang uang itu dibayar," jawab Djoko.
Djoko pun menilai bahwa uang 500 ribu dolar AS itu adalah bagian dari uang komitmen senilai 1 juta dolar AS sebelum "action plan" muncul.
Dalam dakwaan disebutkan Djoko Tjandra meminta jaksa Pinangki untuk membuat "action plan" dan membuat surat ke Kejaksaan Agung untuk menanyakan status hukum Djoko Tjandra dengan biaya 100 juta dolar AS.
"Action Plan" tersebut dalam dakwaan disebut diserahkan Pinangki pada 25 November 2019 bersama-sama advokat Anita Kolopaking dan pihak swasta Andi Irfan Jaya di kantor Djoko Tjandra di Malaysia. "Action plan" tersebut terdiri dari 10 tahap pelaksanaan dan mencantumkan inisial "BR" yaitu Jaksa Agung ST Burhanuddin dan "HA" selaku Ketua MA periode Maret 2012-April 2020 Hatta Ali.
"Jadi intinya kesepakatan pembayaran 10 juta dolar AS lalu 'down payment' 1 juta dolar AS dan realisasi 500 ribu dolar AS kapan?" tanya jaksa Roni.
"Pada 25 November pada sore hari kita sepakati 'consultant fee' dan 'laywer fee' disepakati 1 juta dolar AS lalu lazimnya bayar DP (down payment) dulu lalu sepakat bayar 500 ribu dolar AS," jawab Djoko.
Djoko menegaskan ia tidak membuat kesepakatan dengan Pinangki.
"Komitmen saya buat dengan Anita dan Irvan kalau terdakwa tidak ikut dalam diskusi 'fee'," ungkap Djoko.
"Dalam Berita Acara Pemeriksaan saudara mengatakan pada 26 November jam 4 sore saudara memberikan Andi Irfan dengan nomor HP Herriyadi untuk menyerahkan uang 500 ribu dolar AS dan tidak lama ada konfirmasi Herriyadi barang sudah diserahkan?" tanya Jaksa Roni.
"BAP itu sudah sudah saya ralat, Herriyadi tidak 'confirm' ke saya sudah diserahkan. Rencananya uang diserahkan di Plaza Senayan," jawab Djoko.
Dalam perkara ini jaksa Pinangki didakwa dengan tiga dakwaan yaitu pertama dakwaan penerimaan suap sebesar 500 ribu dolar AS (sekitar Rp7,4 miliar) dari terpidana kasus cessie Bank Bali Joko Soegiarto Tjandra.
Dakwaan kedua adalah dugaan pencucian uang yang berasal dari penerimaan suap sebesar 444.900 dolar atau sekitar Rp 6.219.380.900 sebagai uang pemberian Djoko Tjandra untuk pengurusan fatwa ke MA.
Ketiga, Pinangki didakwa melakukan pemufakatan jahat bersama dengan Andi Irfan Jaya dan Djoko Tjandra untuk menyuap pejabat di Kejagung dan MA senilai 10 juta dolar AS.
Djoko Tjandra sebut uang 500 ribu dolar AS bukan miliknya
Senin, 9 November 2020 22:43 WIB 1115