Jakarta (ANTARA) - "Hutan lebat dibilang ewang. Salah kelola seng ada ampun. Karena warisan kepala kewang. Om Eli rela tinggal di kampung"
Satu dari sekian pantun itu selalu diucapkan Eliza Marten Kissya, Kepala "Kewang" Adat Haruku, Kecamatan Haruku, Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku.
Sosok tua dan renta, mungkin itu anggapan pertama yang terlintas saat bertemu Eliza. Namun kenyataannya tidak demikian Usianya sudah 71 tahun, tapi semangatnya masih seperti remaja berumur 17 tahun.
Eli, panggilan sederhana untuk sosok penjaga lingkungan yang mendapatkan banyak penghargaan itu. Di sela-sela aktivitasnya menjaga lingkungan di tanah leluhurnya, ia tidak segan berbagi pengalaman kepada mereka yang ingin melestarikan alam.
"Untuk apa kita memiliki semua sumber daya alam, kalau tidak dijaga," ujar Eli saat berbincang dengan ANTARA saat mengikuti Ekspedisi Maluku EcoNusa di Negeri Haruku pada medio November 2020.
Lahir 12 Maret 1949, Eli merupakan generasi keenam dari Kewang Haruku. Kewang merupakan salah satu strata adat dan budaya di Maluku yang memiliki tugas utama menjaga semua hal yang dapat merusak negeri atau desa.
Walaupun hanya tamat sekolah rakyat (SR), pria yang akrab disapa Om Eli itu sudah mendedikasikan 41 tahun hidupnya untuk menjaga kelestarian lingkungan laut, sungai, dan hutan di Negeri Haruku.
"Menjadi tokoh adat sangat sukar dan rumit sekali. Selama hidup kita harus berbuat baik dengan orang, karena nama baik susah dicari," kata Eli.
Di Maluku, begitu banyak orang mendapatkan tugas menjadi kewang. Semua orang bisa bertepuk dada mengatakan dirinya tokoh adat tapi, kata Eli, kalau mereka tidak diberikan kharisma dari Tuhan Yang Maha Kuasa, jangan mencoba-coba menjadi kewang.
Menjadi tokoh adat bukan hanya bermodal kepandaian, tetapi dibutuhkan budi pekerti dan mental yang baik, tokoh adat tidak boleh biadab. Kalau sudah membuat kesalahan besar di mata masyarakat, maka mereka telah dianggap biadab.
Bukan perkara mudah menjadi kewang karena tugas dan tanggung jawab sangat berat. Para kewang bekerja tanpa dibayar, tanpa digaji, hanya perlu keikhlasan untuk menjaga lingkungan.
"Kita harus banyak mengalah dan jangan mempunyai masalah dengan orang lain," pesan Eli.
Kewang di Negeri Haruku telah ada sejak tahun 1600-an, jauh sebelum orang-orang menyatakan adanya pembangunan berkelanjutan, reboisasi hutan bahkan revitalisasi lingkungan.
Para kewang di Maluku sudah melakukan semuanya dengan "Sasi" atau larangan untuk tidak mengambil sumber daya alam secara berlebihan. Dengan demikian diharapkan larangan itu dapat menjamin kelangsungan dan keberlanjutan hingga anak dan cucu di masa depan.
Eli berkeyakinan, Bumi merupakan titipan untuk anak cucu, bukan untuk dirinya sendiri dan manusia saat ini. Karena titipan, dirinya harus menjaga sekuat tenaga sehingga di masa depan anak dan cucu akan tetap merasakan kemakmuran di negeri sendiri.
Di Negeri Haruku, ada banyak larangan yang dijaga oleh kewang. Larangan dari mengambil sumber daya alam berlebihan di hutan hingga mengambil hasil di laut, seperti salah satunya yang terkenal hingga ke mancanegara yakni sasi ikan lompa.
Eli pun berpantun, "Beta ini orang kaya, beta tinggal di Tomohon, kalau itu tahu berbahaya, kenapa anda menebang pohon".
Sang Maestro
"Beta ini nama Elisa, beta tinggal di Amanhatu, biar banyak pulauku terpisah-pisah, Indonesia tetap bersatu".
Tinggal di Negeri Haruku awalnya merupakan keharusan keluarga. Eli bahkan tidak diperbolehkan untuk melanjutkan pendidikan setelah tamat SR dan harus menetap di kampung, sementara saudara-saudaranya yang lain diperbolehkan, bahkan ada yang menjadi pegawai pemerintah di Ambon.
Eli bercerita sang adik yang menetap di Australia pernah menghubungi dirinya. Sang adik merasa senang, walaupun orang tua mereka tidak memberikan pendidikan kepada Eli, tetapi bisa membawa nama baik negeri dan memperkenalkan kewang di mata dunia.
"Saya sampaikan jika beta ini mengabdi, bukan untuk pribadi. Tetapi untuk masa depan anak dan cucu," tegas Eli.
Walaupun tidak mengenyam pendidikan formal, Eli telah mengikuti banyak pendidikan non formal untuk peningkatan kemampuan sebagai kewang. Sejumlah pendidikan itu di antaranya pendidikan Konservasi Alam oleh Kantor Menteri Kependudukan dan Lingkungan Hidup (1987) dan Latihan Budidaya Perikanan di Politeknik Universitas Pattimura (1989).
Lalu ada Pelatihan Analisa Dampak Lingkungan oleh Walhi dan Yayasan Hualopu (1991), Studi Banding Pertanian Lahan Kering di Flores (1992), serta latihan Media Komunikasi Rakyat oleh SEARICE (1993).
Pendidikan itu pun membuahkan hasil. Dengan kerja keras dan kegigihan menjaga lingkungan, Eli mengantarkan Negeri Haruku meraih penghargaan Kalpataru untuk Lingkungan Hidup di tahun 1985, Satya Lencana untuk Pembangunan Berkelanjutan di tahun 1999 dan dedikasi personalnya meraih Coastal Award di 2010.
Ia menegaskan dalam pertemuan masyarakat adat nusantara, dirinya menyatakan untuk setop kekerasan. "Jangan angkat parang, angkat tombak dan angkat senjata, tetapi mari kita angkat pantun, angkat lagu dan angkat puisi".
Di usia senjanya, Eli menaruh harapan besar kepada para anak-anak daerah yang telah mengenyam pendidikan tinggi, untuk membantu merubah pola pikir masyarakat agar mau menjaga lingkungan.
Hingga saat ini, Eli masih setia dengan tanggung jawabnya menjaga hutan, sungai, laut, mungkin sampai Tuhan memintanya kembali. Dia menyatakan di Maluku, hanya ada dua Maestro yakni Bing Leiwakabessy sebagai maestro seni musik dan Eliza Marten Kissya untuk maestro seni tradisi.
Begitu besar kiprah dan dedikasinya untuk lingkungan hidup, alangkah arif dan bijaksana jika Eliza Kissya dapat disematkan sebagai maestro lingkungan dari Negeri Haruku untuk Indonesia.
Eliza Kissya, Maestro lingkungan dari Negeri Haruku
Senin, 21 Desember 2020 15:15 WIB 4302