Jakarta (ANTARA) - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mendorong program pengembangan biogas menjadi gas alam terkompresi biometana atau bio-CNG sebagai substitusi pengganti energi primer elpiji.
"Bio-CNG ini merupakan pemurnian biogas dengan memisahkan komponen karbondioksida (CO2) dan karbontetraoksida (CO4) serta menghilangkan komponen gas imperitis lainnya untuk menghasilkan metana dengan kadar di atas 95 persen," kata Direktur Bioenergi Kementerian ESDM Andriah Feby Misna dalam keterangannya di Jakarta, Jumat.
Sebelum dimurnikan, biogas mengandung sekitar 60 persen metana yang merupakan bahan bakar. Sedangkan sisanya 40 persen adalah senyawa-senyawa berupa karbon dioksida, uap air, dan hidrogen sulfida.
Pemurnian melalui bio-CNG dapat memaksimalkan kadar metana menjadi 95 persen dan menurunkan kandungan karbondioksida.
Pengembangan biometana dengan skala komersil dapat digunakan sebagai bahan bakar non-listrik untuk sektor transportasi dan energi pengganti elpiji yang bisa digunakan untuk industri.
"Manfaatnya cukup signifikan karena saat ini Indonesia masih mengimpor elpiji dalam jumlah besar. Sumber bahan baku untuk memproduksi bio-CNG cukup beragam," kata Feby.
Limbah perkebunan kelapa sawit, pertanian, hingga peternakan bisa menjadi bahan baku untuk biogas maupun biometana.
Kementerian ESDM saat ini telah melakukan kajian pemanfaatan biometana yang didukung berbagai lembaga donor internasional, di antaranya Global Growth Institute yang telah melakukan studi pasar di Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah.
Penelitian itu akan dilanjutkan ke tahap asistensi teknis guna persiapan implementasi pengembangan energi alternatif tersebut.
Selain untuk kepentingan energi, biogas yang diolah menjadi biometana juga dapat mengurangi berbagai masalah lingkungan mulai dari pencegahan pencemaran, menurunkan emisi, hingga membuka lapangan pekerjaan baru bagi masyarakat.
"Dengan dukungan GIZ, Direktorat Bioenergi juga sedang melakukan pengkajian pengembangan bio-CNG di Lombok dengan memanfaatkan tongkol jagung, selain itu juga merencanakan pelaksanaan proyek untuk pengolahan limbah tapioka di Bangka," ujar Feby.
Ketua Umum Asosiasi Perusahaan CNG Indonesia Dian Kuncoro mengatakan investasi untuk distribusi dan infrastruktur pemanfaatan bio-CNG membutuhkan biaya investasi yang lebih mahal dibandingkan elpiji.
Menurutnya, hal itu disebabkan karena karakteristik biometana dan elpiji yang berbeda. CNG memiliki tekanan yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan elpiji, sehingga untuk mengangkut ke pelanggan membutuhkan material tabung yang lebih kuat.
Harga jual CNG di industri berkisar 10-13 dolar AS per MMBTU yang merupakan rangkaian cost structure sampai industri. Pemanfaatan CNG sebagai energi alternatif perlu dipastikan terkait biaya pengolahan biogas memiliki nilai kompetisi dengan harga gas pipa.
“Cost dari biogas untuk jadi gas, berapa yang belum jadi bio-CNG? Apakah bisa 6-7 dolar AS per MMBTU? Ini harus punya nilai kompetisi dengan harga gas pipa, karena kami sebagai pemain CNG kalau nanti biogasnya lebih mahal dari gas pipa, ya kami tidak mungkin beli yang lebih mahal,” kata Dian.