Ada anak yang diakui secara perdata dan tercatat di Kantor Urusan Agama (KUA) melalui lembaga perkawinan, namun juga ada anak diluar nikah diakui punya ikatan secara perdata dengan orang tuanya.
Meskipun Kementerian Agama sebelum keputusan MK itu keluar dimintai pendapat, putusan MK -- yang diakui Mahfur MD sebagai putusan revolusioner -- itu harus dihormati karena bermaksud melindungi anak. Anak lahir karena kehendak Ilahi, tak bisa memilih dari mana dan dimana harus lahir.
"Kita sampaikan argumentasi, mengapa dari sisi hubungan anak harus diakui secara hukum positif. Ruh dari UU perkawinan 1974 adalah bagaimana pernikahan Islam juga dilegalkan administratif kenegaraan," kata Bahrul Hayat kepada pers usai mendampingi Menteri Agama Suryadharma Ali menerima delegasi Komisi Pengawasan Pelaksana Konstitusi Afghanistan di kantor Kementerian Agama, Jalan Lapangan Banteng, Jakarta, Senin.
Orang tua bisa mengklaim dengan membuktikan secara medis bahwa anak itu punya hubungan darah dengan seorang ayah, apa pun bentuk hubunganya. Apakah bentuknya peristiwa nikahnya secara Islam tapi tidak terdaftar. Atau tafsir lainnya juga termasuk nikah diluar secara islam atau tidak terdaftar, katanya.
"Kita proteksi anak karena tidak berdosa dan dia akan dipertalikan perdatanya dengan pihak yang secara medis dibuktikan. Tapi ada dampaknya seolah-olah ini legalisasi terhadap anak di luar nikah atau nikah di luar hukum islam tapi tidak dicatat di KUA," ia menjelaskan.
Bahasa lainnya, kata dia, di satu sisi positif karena anak terlindungi selama dapat dibuktikan hubungannya. Disisi lain, seolah legalisasi nikah siri, sehingga ada anggapan di masyarakat putusan MK melemahkan No.1 UU tahun 1974.
Dipertimbangkan
Seorang ulama dari Cilacap, KH Maslahudin kepada ANTARA mengatakan, putusan MK yang mencabut Pasal 43 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan perlu dipertimbangkan lebih dalam lagi."Saya kurang begitu sependapat, perlu dipertimbangkan lebih dalam lagi. Ini sangat penting karena berkaitan dengan faktor gen serta sangat diperhatikan oleh Al Quran dan Rasulullah, jadi tidak segampang itu," kata Maslahudin, di Cilacap, Minggu.
Dalam Pasal 43 ayat 1 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ini disebutkan bahwa anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.
Pencabutan pasal tersebut dinilai dapat "melegalkan" anak dari hubungan di luar perkawinan termasuk berdampak pada kebebasan remaja melakukan hubungan intim dengan kekasihnya.
Menurut dia, ada beberapa ulama yang sangat tegas dalam masalah perkawinan.
"Jangankan kawin dengan orang lain. Seorang laki-laki yang menghamili seorang perempuan di luar nikah yang kemudian dinikah, tetapi belum sampai batas waktu yang ditentukan telah lahir, kebanyakan ulama berpendapat itu bukan termasuk keturunan lelaki tersebut," katanya.
Dalam hal ini, kata dia, seorang anak dapat disebut sebagai keturunan laki-laki tersebut jika terlahir dalam kurun waktu minimal enam bulan setelah menikah.
Akan tetapi jika lahirnya kurang dari enam bulan setelah menikah, lanjutnya, anak itu tidak bisa dikatakan sebagai keturunan laki-laki tersebut meskipun sebenarnya dia yang menghamili istrinya sebelum mereka menikah.
"Maka, yang namanya pencatatan nikah, tanggal, waktu, jam, itu sangat menentukan karena dari detik itu dihitung sampai enam bulan utuh atau 180 hari. Kalau anak itu lahir kurang dari 180 hari setelah menikah, laki-laki tersebut tidak bisa dikatakan sebagai ayahnya meskipun dia yang menghamili," kata Maslahudin menegaskan.
Dengan demikian jika anak yang terlahir berkelamin perempuan, kata dia, laki-laki yang sebenarnya merupakan ayah biologisnya tidak berhak menjadi wali ketika anaknya menikah.
"Apalagi kalau anak dari hubungan di luar nikah. Tetapi kondisi sekarang, yang namanya pergaulan bebas itu sangat sulit dikendalikan," katanya.
Oleh karena itu, dia mengharapkan para kiai Nahdatul Ulama (NU) dapat berkumpul guna membahas putusan MK tersebut sehingga ada solusi dalam permasalahan ini.
Dia mengakui, baru beberapa saat mendengar adanya putusan MK yang mencabut Pasal 43 ayat 1 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, namun NU sangat hati-hati dalam menentukan sikap.
"Di NU ada "bahtsul masail" untuk membahas apa yang sedang terjadi. Biasanya, nanti ada yang berpendapat boleh, ada yang berpendapat tidak boleh, pendapatnya beda-beda. Pendapat yang paling banyak, itu yang dipakai," kata Maslahudin yang juga Ketua Pengurus Cabang NU Kabupaten Cilacap.
Disinggung mengenai pembagian warisan bagi anak dari hubungan di luar perkawinan, dia mengatakan, dalam ajaran Islam, anak tersebut hanya berhak mendapat warisan dari ibunya, sedangkan dari ayahnya tidak berhak.
Riskan
Sebelumnya Muslimat Nahdlatul Ulama (26/2) menilai putusan MK mengenai status anak yang lahir di luar nikah sangat riskan, terutama jika dikaitkan dengan hukum Islam.Ketua Umum Muslimat NU Khofifah Indar Parawansa mengakui putusan MK terkait dengan uji materi Pasal 43 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sangat baik ditinjau dari sisi kemanusiaan dan administrasi negara.
"Tapi niat baik ini bisa jadi justru menjerumuskan pada akhirnya," katanya. Sebelum diuji materi, Pasal 43 Ayat (1) menyebutkan anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibunya.
Sementara setelah diuji materi menjadi anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan kedua orang tua biologis dan keluarganya dapat mengajukan tuntutan ke pengadilan untuk memperoleh pengakuan dari ayah biologisnya melalui ibu biologisnya.
Argumentasi yang melandasi keputusan ini, antara lain bahwa setiap anak adalah tetap anak dari kedua orang tuanya, terlepas apakah dia lahir dalam perkawinan yang sah atau di luar itu.
Anak juga berhak memperoleh layanan dan tanggung jawab yang sama dalam perwalian, pemeliharaan, pengawasan, dan pengangkatan anak. Hal ini sesuai dengan UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan yang menyangkut hak asasi manusia (HAM).
"Padahal, anak yang dilahirkan kurang dari enam bulan setelah akad nikah, menurut jumhur ulama tidak bisa dinasabkan kepada ayah biologisnya," kata Khofifah. Konsekuensinya, anak yang lahir di luar perkawinan, tidak memiliki hak waris dan perwalian dari ayah biologisnya.
"Kalau si anak hasil hubungan di luar nikah ini menikah dan bapak biologisnya menjadi wali, maka tidak sah pernikahannya," kata Khofifah.
Oleh karena itu, Muslimat NU mendorong agar dilakukan koordinasi antara Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Agama, Mahkamah Konstitusi, Majelis Ulama Indonesia, dan ormas Islam untuk mencari jalan keluar yang tepat dalam penataannya.
Seperti diberitakan sebelumnya, keluarnya putusan tersebut dilatarbelakangi gugatan dari pedangdut era 1980-an, Machica Mochtar. Istri siri mendiang mantan Menteri Sekretaris Negara Moerdiono. Ia menggugat Pasal 2 Ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) UU Perkawinan ke MK.
Machica meminta dua pasal itu dihapus, karena dirinya merasa dirugikan, khususnya mengenai hak untuk mendapatkan status hukum anaknya, Muhammad Iqbal Ramadhan.
Dalam pertimbangannya, MK menyebut bahwa pokok permasalahan hukum mengenai anak yang dilahirkan di luar perkawinan adalah mengenai makna hukum (legal meaning), frasa ¿yang dilahirkan di luar perkawinan¿. Untuk memperoleh jawaban dalam perspektif yang lebih luas perlu dijawab pula permasalahan terkait, yaitu permasalahan tentang sahnya anak.
Secara alamiah, tidaklah mungkin seorang perempuan hamil tanpa terjadinya pertemuan antara ovum dan spermatozoa baik melalui hubungan seksual (coitus) maupun melalui cara lain berdasarkan perkembangan teknologi yang menyebabkan terjadinya pembuahan.
Oleh karena itu, tidak tepat dan tidak adil manakala hukum menetapkan bahwa anak yang lahir dari suatu kehamilan karena hubungan seksual di luar perkawinan hanya memiliki hubungan dengan perempuan tersebut sebagai ibunya.
Tindak lanjut
Ketua MK, Mahfud MD, mengimbau Menteri Agama Suryadharma Ali dan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi agar segera menindaklanjuti putusan MK terkait dengan putusan uji materi atas Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan."Saya megimbau Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri segera mengatur masalah-masalah teknis administrasi agar UU dapat segera diimplementasikan," kata Mahfud pada peresmian gedung operasional NU di Jakarta, Senin (27/2).
Menyangkut soal kewarganegaraan dan kependudukan, menurut Mahfud, harus ditangani oleh Mendagri, sementara mengenai hak-hak keperdataan harus ditangani oleh Menag.
Selama ini, dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 2 Ayat 2 dan pasal 43 Ayat 1 dinyatakan bahwa anak yang lahir dari luar perkawinan hanya memiliki hubungan perdata kepada ibu dan keluarga ibu.
Putusan MK dalam "Judicial Review" Pasal 43 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan UU Perkawinan terkait pasal-pasal tersebut, melanggar konstitusi.
Menanggapi sikap Muslimat Nahdlatul Ulama yang menilai putusan tersebut sangat riskan, Mahfud MD menilai apa yang dikemukakan Muslimat tidak salah.
"Saya rasa Muslimat betul, mereka tidak menolak putusan hanya ada masalah-masalah teknis yang harus segera dibicarakan," kata Mahfud.
Mahfud menambahkan, jika ada pihak-pihak yang khawatir putusan ini dapat menjadi pembenaran bagi perzinahan, maka mereka tidak perlu khawatir.
"Intinya, putusan ini untuk membantah seseorang bisa melakukan hubungan gelap dengan mudah, karena siapa pun yang berzina tidak bisa lari dari tanggung jawab karena akan dikejar hukum sesuai konstitusi dan UU kewarganegaraan terbaru," kata dia.
Lebih lanjut Mahfud menjelaskan pelanggaran atas UU Perkawinan yang baru tersebut dapat digugat secara perdata ke pengadilan agama.
(T.E001/A011)